TIGA

1011 Kata
"Sialan! Selalu aku yang kalah! Selalu Talita, Talita, dan Talita! Kapan kamu milih aku Rayhan? Kapan? Aku udah rela bertahun-tahun jadi selingkuhan kamu! Nurutin semua mau kamu! Tapi apa balasannya? Selalu aku dicampakkan!" Bela menangis sesenggukan di dalam kamarnya. Memukuli guling sekeras-kerasnya untuk melupakan rasa kecewanya pada Rayhan. ***** Sedari tadi Talita masih mendiamkan Rayhan. Ia sama sekali tak menjawab atau menimpali perkataan yang terlontar dari Laki-laki itu. "Ta, jawab dong! Jangan diam seperti ini. Kamu mau dibelikan apa? Tas? Baju? Sepatu? atau yang lain?" "Aku gak butuh itu semua! Aku cuma kamu luangin waktu buat aku. Udah, itu aja!" "Maaf, Sayang, aku akhir-akhir ini emang sibuk banget. Kamu ngertiin aku dong." "Sesibuk apa sih? Balas chat aku, angkat telepon aku aja sampai gak bisa. Kita mau nikah, Ray. Kenapa sikap kamu berubah?" "Oke, oke. Aku salah, aku minta maaf. Aku janji bakal luangin waktu aku buat kamu." Rayhan memeluk Talita. Mencoba mendapatkan maaf darinya. "Sekarang, sebagai permintaan maaf aku, gimana kalau kita makan malam di luar? Kamu pilih tempatnya. Gimana?" "Ya udah, makan di ka ef ci ya. Aku penegan makan ayam crispy yang banyak di sana. Kamu yang bayar." "Iya, Sayang. Apapun buat kamu. Ayo." "Aku ganti baju dulu." "Aku tunggu di kamar kamu ya?" "Jangan! Di ruang tamu aja." "Kenapa sih? Bentar lagi juga kita bakal nikah." "Gak, Ray. Kita belum sah. Aku gak mau ya kamu macem-macem sebelum kita nikah." Rayhan berdecak kesal. Apa salahnya coba, cuma nunggu di kamar, Talita melarangnya sampai seperti itu. Kalau dengan Bela pasti wanita itu akan mempersilakan dengan senang hati. Ah, Bela, pasti dia sedang marah padanya sekarang. Sambil menunggu Talita, ia mengirimkan pesan untuk Bela. To: Bela Sayang, maaf, aku harus menemani Talita sebentar. Nanti malam aku akan datang ke rumahmu. "Ck! Dia marah. Kenapa lama sekali balasannya," gerutu Rayhan. "Kenapa?" Talita mendudukkan dirinya di samping Rayhan. Laki-laki itu gelagapan dan segera mematikan ponselnya. "Oh, gak papa, Sayang. Udah siap? Ayo. Aku udah lapar." Talita berdiri diikuti Rayhan di belakangnya. Laki-laki itu mencuri kesempatan untuk menghilangkan jejak pesan yang baru saja dia kirimkan pada Bela. Keceriaan Talita telah kembali. Senandung dengan suara lirih keluar dari bibir indahnya mengikuti alunan lagu yang menemani perjalanan mereka. Rayhan terlihat lega sekali. Ia tak perlu bersusah payah untuk meminta maaf pada tunangannya itu. Kalau urusan Bela, bisa ia pikirkan nanti. Yang terpenting Talita sudah bisa percaya lagi padanya. Karena jika tidak, ia takut wanita itu akan berkata yang tidak-tidak dan mengadu pada kedua orang tuanya yang sangat dekat dengan Talita. Kalau saja dulu dirinya tidak terburu-buru menuruti perintah kedua orang tuanya untuk melamar Talita, pasti yang dipilihnya adalah Bela. "Ray! Jangan ngelamun! Kamu lagi nyetir!" pekik Talita. "Iya, aku lihat jalan kok." "Lihat jalan apa? Aku dari tadi manggil-manggil kamu! Kamu mikirin apa sih?" "Cuma kerjaan. Maaf ya." Rayhan membelokan mobilnya ke halaman parkir restoran cepat saji yang diinginkan Talita. Mereka berdua turun bersama dan memasuki restoran itu yang ramai pengunjung. "Kamu pesen gih. Aku nitip chicken burger, kentang sama teh botol." "Oke." Rayhan memberikan dua lembar uang seratus ribuan pada Talita. Ia meninggalkan wanita itu di depan meja kasir untuk memesan makanan. Sementara dirinya mencari tempat yang nyaman untuk makan. Meja dekat jendela adalah pilihan Rayhan. Ia menunggu Talita di sana sambil mengecek ponselnya. Satu nampan penuh berisi beberapa potong ayam crispy pesanan Talita, dua botol minuman, dan cheese burger serta kentang goreng pesanan Rayhan sudah tersaji di meja. "Kamu gak takut gendut makan sebanyak ini?" Talita sama sekali tak mengindahkan apa yang dikatakan Rayhan. Dirinya sama sekali tidak peduli kalau nantinya berat badannya akan semakin naik. "Emangnya kalau aku gendutan kamu jadi gak cinta lagi sama aku?" ucap Talita, tapi, pandangannya fokus tertuju pada ayam crispy yang sangat menggodanya. "Ya bukan gitu, Ta. Kan juga gak baik buat kesehatan." Talita hanya mengedikkan bahu acuh dan melanjutkan kegiatannya melahap ayam crispy. ***** "Bel, Bela." Ketukan dan panggilan tak henti-henti Rayhan lakukan di depan rumah Bela. Lelah berdiri, Rayhan duduk di kursi rotan yang ada di halaman rumah minimalis itu. Ia mengambil ponselnya dan mencoba lagi untuk menghubungi Bela. "Kamu ke mana sih, Bel? Kenapa gak diangkat? Semarah ini kamu, Bel?" Di dalam rumahnya. Bela dengan sengaja tidak membukakan pintu rumahnya. Ia ingin memberi pelajaran pada laki-laki itu. Bela tidak mau menjadi yang kedua selamanya. Ia ingin diakui. Pengorbanan dirinya untuk Rayhan sudah sangat banyak. Ia ingin diperjuangkan. Ia ingin melihat seberapa tahan Rayhan berada di sana menunggunya. Sekarang pukul sepuluh malam. Sudah tiga puluh menit Rayhan di sana. Sebenarnya ada rasa kasihan pada pria itu. Tetapi, rasa kecewanya terlalu besar hingga ia enggan untuk membuka pintu. Bela berdiam diri di ruang tamu. Melihat samar bayangan Rayhan yang terlihat dari dalam rumah. Bela tahu betul, Rayhan pasti sangat lelah. Seharian bekerja, saat pulang masih harus membujuk Talita untuk mendapatkan maafnya, dan sekarang, ia masih berada di depan rumahannya untuk menemuinya. Akhirnya logika Bela kalah dengan hatinya. Ia membukakan pintu rumahnya untuk Rayhan. Pria itu berdiri dan menubruk Bela dengan pelukannya. "Akhirnya kamu mau bukain pintu. Makasih, Sayang," bisik Rayhan. "Pulanglah. Aku lelah,* usir Bela. Tak menghiraukan pengusiran Bela. Rayhan justru mendorong Bela masuk dan ia mengunci pintu rumah. "Apa yang kamu lakukan? Pulanglah! Aku gak ingin melihatmu." "Aku minta maaf, Bel. Maafin aku." Bela memalingkan wajahnya. Ia enggan untuk melihat wajah memelas Rayhan. Selalu saja dirinya akan luluh dengan tatapan intens dari pria yang telah merenggut hatinya. "Bela, jangan diam seperti ini. Hey, lihat aku." Sedikit memaksa, Rayhan memegang kedua sisi kepala Bela agar mau menatapnya. "Kamu tempatku pulang, Bel. Kamu cintanya aku. Kamu tahu itu," bisik Rayhan lembut. Getaran panjang di ponsel Rayhan menghancurkan momen itu. Bela menggunakan kesempatan itu untuk meninggalkan Rayhan. Ia yakin pasti Talita yang menghubungi Rayhan. "Ya, Ta? Iya, aku udah sampai rumah. Iya. Istirahatlah. Bukannya kamu bilang besok masuk pagi lagi? Iya. Love you to, Ta." Setelah menjawab telepon itu, Rayhan menyusul Bela ke kamarnya. Sayangnya, pintu kamar wanita itu sudah terkunci. Rayhan tak pantang menyerah. Ia kembali membujuk Bela dengan rayuannya yang selama ini tak pernah gagal untuk merayu wanita yang sedang marah padanya. Bersambung .... --------
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN