Part 10

1377 Kata
Part 10 Kokok ayam berbunyi sahut menyahut, menandakan sang surya hendak turun dari peraduan, memberikan hangat pada seluruh makhluk yang ada di bumi. Isna masih terpaku dengan berbalut selimut. Matanya terpejam, tapi hati masih terjaga. Hendak bangun, rasanya enggan. Semalam, ia urung sholat, karena merasa tidak mampu berdiri. “Isna, bangunlah!” Restu selalu memperlakukannya dengan lembut. Pun saat ini, tangan kekarnya menepuk bahu Isna. Tak ada jawaban atau respon apapun dari pemilik tubuh yang tengah merasakan lara hati itu. Saat ternyaman bagi mereka yang terluka batinnya adalah dengan diam dan memeluk semua seorang diri. Percuma pun mengadu, tidak ada satupun orang yang bisa menyembuhkan sakit yang dirasa. “Ayo, bangun! Kita mandi dan sholat,” ajak restu lagi. “Jangan ganggu aku!” sahut Isna pelan, tetapi tegas. “Kamu masih marah dengan kejadian tadi malam? Aku janji, nanti malam, tidak akan lagi ada kegagalan---“ “Jauhkan dagumu dari tubuhku! Jangan bersikap manis lagi. Aku benci sandiwaramu itu. Menjauhlah, atau aku akan berteriak!” ancam Isna manakala merasa dagu Restu bertumpu pada pundaknya. “Isna, apa kamu benar-benar sakit hati?” tanya Restu bod*h. Seketika Isna bangun dan menatap pemilik hidung mancung yang terlihat risau. “Apa kamu berpikir aku baik-baik saja, Pak Kepala Desa? Apa kamu kira, yang aku alami ini sebagai lelucon? Apa kamu pikir kalau aku hanya sebuah batu yang tidak berperasaan? Kamu coba bayangkan! Jika Tyas adikmu yang mengalami semua ini? Apa yang kamu rasakan? Masihkah kamu bisa memaafkan seorang yang mempermainkan pernikahan dan perasaan adikmu?” Restu diam tidak berkutik. Sementara Isna sudah bangun dan menatapnya tajam dengan mata yang sembab. “Isna, aku ….” “Bangun dan mandilah! Tugasmu sebagai kepala desa sudah menanti banyak, bukan? Tidak perlu ada acara cuti. Biarkan aku tidur di kamarku, meski mungkin perasaanmu enggan, bahkan bisa jadi merasa jijik. Tapi, ini untuk menghindari kecurigaan kedua orang tuaku. Aku pindah ke sini selepas Subuh. Jadi, jangan khawatir berada lama denganku dalam satu ranjang.” Isna langsung berbaring kembali dan menutup tubuhnya rapat menggunakan selimut. Jika menuruti keinginan hati, tentu saja, ia tidak nyaman berada dalam satu kamar dengan restu. Dengan langkah gontai, Restu masuk ke kamar mandi. Sedari bangun, ia sudah menyadari jika celananya basah. Dan ketika menutup pintu kamar yang berbau sabun itu, ia mengingat sesuatu hal, tentang mimpinya bersama Marwah. “Astaghfirullah,” keluhnya sambil menutup wajah yang sudah basah karena guyuran air dari shower. Celananya ia gantung di kapstok dan ketika hendak mencuci pintu digedor keras dari luar. “Hp nya berisik,” ujar Isna seraya mengulurkan benda pipih melewati pintu terbuka. Setelah menerima telepon, Restu lupa dengan niat mencuci celananya. *** Isna, sosok yang sangat mencintai kebersihan. Melihat kaos dan celana yang tergantung di tembok--meski sedang marah pada pemiliknya—ia tetap mengambil untuk dicuci. Seketika, melempar benda itu begitu saja ke lantai kamar mandi. Teringat desahan yang keluar dari mulut sambil menyebut nama seseorang yang kini, ia begitu tidak menyukainya. Sementara itu, Restu yang baru sampai di balai desa, langsung memutar balik kendaraannya. Teringat akan sesuatu yang ditinggalkan. Dengan tergesa, ia memasuki kamar Isna, hendak mengambil celana yang basah karena mimpinya semalam masih tergantung di kapstok kamar mandi. "Celanaku ...," ucapnya lirih penuh penyesalan saat melihat benda yang ia cari tidak ada di sana. "Isna seorang bidan. Dia pasti tahu, mengapa celanaku basah. Marwah, kenapa kamu terus menghantui hidupku. Jika kamu pergi, kenapa harus hadir dalam mimpi dan ...." Ingatan Restu kembali pada mimpi semalam. Dimana ia dan Marwah berada di sebuah kebun teh yang sangat indah. Saling memandang dan berpelukan hingga akhirnya mereka melakukan hubungan. Entah dalam mimpi itu, Restu serasa sudah menikahi mantan kekasihnya itu atau tidak, yang jelas, ia melakukan semuanya dengan penuh gairah. Hingga tanpa sadar, mulutnya menyebut nama Marwah. Malam pengantin yang dilakukannya di alam mimpi bersama kekasih hati. Hal yang akan melukai perasaan Isna jika ia tahu. “Ya Allah, kenapa jadi sekacau ini? Apa Isna tahu? Tadi malam dia tidur di kamar lain. Apa saat aku bermimpi, aku terlihat bergerak-gerak? Apa Isna melihatnya? Jangan-jangan, dia tahu aku bermimpi semalam,” racaunya seorang diri. Dengan kasar, membuka pintu kamar mandi. Dan melihat sosok yang sangat ditakuti saat ini "Kamu dari mana?" tanya Restu kaget saat melihat Isna masuk ke kamar. "Habis dari laundry ...." jawab Isna tanpa memandang suaminya. "Seharusnya tidak perlu kau cuci bajuku ...." "Aku harusnya yang mencuci, Mas. Seharusnya. Aku istrimu. Tapi maaf, aku memilih membawanya ke tempat laundry karena ...." Suara Isna memelan. Tenggorokannya terasa sakit karena harus menahan air mata, juga lara hatinya. Meski masih gadis, ia paham, basah yang ada di celana Restu berasal dari mana. "Karena itu bukan milikku. Bukan milik kita." Dengan sebuah bahasa kiasan, ia melanjutkan. “Isna, apa kamu tahu sesuatu hal?” tanya Restu terlihat bodoh. “Menurut kamu?” Isna balik bertanya. “Aku kira kamu impotent, ternyata kamu bisa mendesah dan gerakan kamu itu, terlihat menikmati meski hanya sekadar mimpi.” Wajah Restu bak kepiting rebus. Merah menahan malu. "Isna maafkan aku ... semuanya terjadi begitu saja ...." “Tidak ada sesuatu yang tiba-tiba terjadi tanpa sebuah sebab. Itu lebih baik sepertinya, daripada kamu melakukan denganku, tapi membayangkan wajah orang lain. Akan terasa lebih menyakitkan. “ “Aku minta maaf ….” "Kau tidak perlu minta maaf, Mas. Aku yang seharusnya minta maaf pada kamu, juga Marwah, wanita spesial yang sangat kamu cintai itu. Karena aku telah masuk ke dalam hubungan kalian dan menghancurkan mimpi-mimpimu. Dan aku harus sadar diri, dan menerima untuk hidup berdampingan dengan bayangan Marwah dalam pikiranmu. Dan satu lagi, aku harus membiasakan diri juga mendengarkanmu b*********a dengan bayangan Marwah.” Restu seperti kehilangan akal untuk dapat menyangkal semua ucapan Isna. Ia sepenuhnya paham, wanita yang telah menjadi istrinya itu sangat pantas meluapkan semua kemarahannya. “Isna, apa yang dapat aku lakukan untuk menebus semua kesalahanku itu?” tanyanya lirih. Matanya sudah berembun. “Tidak usah melakukan apapun. Karena apapun yang kamu lakukan, hanya menambah goresan luka dalam hatiku. Aku tahu, perasaan itu tidak bisa dipaksakan. Jika harus ada yang disalahkan, itu adalah aku. Karena dengan bahagia menerima kamu yang aku sama sekali tidak tahu, jika kamu tidak menginginkanku, Pak Lurah.” “Isna, aku tahu, aku yang salah ….” “Aku bahkan saat ini entah seperti apa dan kamu anggap aku dalam hatimu. Menjadi wanita kedua atau bahkan wanita yang tidak dianggap bahkan sejak hari pernikahan kita. Aku tidak bisa melarangmu, Mas, karena aku sadar, sekali lagi, perasaan itu tidak akan pernah bisa dipaksakan. Namun, biarkanlah hubungan ini berjalan, setidaknya untuk beberapa bulan saja. Tidak mungkin bila aku mengambil jalan berpisah saat ini. Harga diri aku dan keluarga akan hancur. Biarkan aku bertahan menjadi istri di atas kertasmu, demi kehormatan aku, keluargaku, juga keluargamu." Susah patah Isna membendung air matanya, kini tumpah. Isakanya terdengar memilukan di telinga Restu. Sementara ia tak bisa berkutik dengan perasaan yang berbaur, antara malu dan iba melihat Isna. Mulutnya menganga hendak berucap, tapi mengatup kembali. Kamar pengantin yang seharusnya dihiasi dengan kemesraan, kini berubah menjadi beku. Dingin seakan lebih tinggi dari cuaca yang sesungguhnya. "Makanlah! Aku sudah menyiapkan semuanya. Jangan khawatir! Aku akan bersikap seolah kita pasangan pengantin yang bahagia di depan banyak orang. Ini demi perasaan orang tuaku." Hanya Isna yang berbicara banyak hal di kamar itu. "Aku tunggu di meja makan, Suamiku," lanjutnya dengan suara bergetar. Bagai disiram kotoran di hadapan umum. Restu benar-benar tidak mampu untuk hanya sekadar bergerak mengikuti ajakan Isna. Degup jantung bertalu-talu. Rasa takut menguasai hati Restu, kala melihat Isna yang tertawa dan tengah berbincang dengan ibunya, alias ibu mertuanya di meja makan. "Sudah ditunggu dari tadi," ujar wanita bernama Lastri sumringah. "Betah sekali di kamar. Syukurlah kalau menantuku yang lurah ini betah di sini." "Ayo, duduklah, Mas! Kita makan. Sudah lewat lama, kamu pasti lapar," ajak Isna seolah tidak terjadi suatu apapun diantara mereka. "Aku ambil sendiri saja," ucapnya, membuat sepasang mata indah sang istri yang tertuju pada makanan di meja--beralih menatapnya. “Tidak apa-apa, Mas, ini tidak menyusahkan aku," sahut Isna santai. Sepanjang makan bersama, Isna terlihat santai sekali. Meski gemuruh dalam hatinya mendorong untuk menangis, ia mampu menahan segalanya agar tidak dicurigai oleh anggota keluarga. Dan sejak pagi, ia mengenakan kacamata anti radiasi yang dimiliki, demi menutupi mata yang sembab. Sekalipun, tetap saja akan terlihat jika ada orang yang memperhatikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN