Part 9
Tanpa sadar, keduanya saling berhadapan, saling memandang. Dan tak lama, Restu menarik wanita yang kini memakai piyama panjang naik ke peraduan. Agak ragu buat Isna untuk menyambut kemesraan dari lelaki yang kini hanya berjarak beberapa senti saja dari tubuhnya. Ia masih teringat peristiwa semalam. Namun, melihat Restu yang begitu gigih, akhirnya ia luluh.
“Siapa tahu, saat anak saya kembali, dia bisa berjodoh dengan lelaki yang dicintainya ….” Kata-kata yang disampaikan Ruslam, terngiang kembali di telinga Restu. Terus menerus, seolah menjadi sebuah bisikan yang menghantui.
Bayangan Marwah yang sedang menangis meratapi nasib, hadir kembali dalam pikiran Restu. Hingga membuat hasrat yang sudah membuncah, kembali surut. Dan dia, lagi-lagi harus membuat Isna yang sudah bersiap menutup mata--kecewa.
Restu duduk kebingungan. Dipandangnya wanita cantik yang sudah siap untuk menyerahkan raga untuknya tengah menunggu. Hingga satu menit berlalu, Isna membuka mata dan menyadari, kejadian yang sama terulang kembali. “Kenapa, Mas? Kamu gagal lagi?” tanyanya kecewa. Kali ini, ia terlihat sedih. Seperti sadar bahwa lelaki yang berada satu ranjang bersamanya, tidak menginginkan tubuhnya.
“Isna, aku hanya ….” Restu mencoba membela diri, tapi tidak menemukan jawaban yang pas.
“Belum siap? Atau memang kamu memang tidak menginginkan aku, Mas? Akui saja!” sahut Isna sinis. “Aku tidak pernah memaksamu untuk menyentuhku,” lanjutnya lagi. Lalu bangun, menarik selimut dan menutupi tubuh polosnya.
Dengan perasaan tercabik-cabik, wanita itu bangkit, memunguti baju yang sudah jatuh di atas lantai. Memakainya dengan menahan isakan. Terhina. Kata itulah yang patut untuk menggambarkan keadaannya saat ini. Merasa menjadi wanita paling buruk di dunia. Karena harus menelan pil pahit, sang suami gagal melakukan sesuatu di malam pengantin, bahkan berulang kali hal itu terjadi.
“Isna, kita bisa mencobanya lagi,” hibur Restu. Satu tangannya memegang tangan isna, mencoba menghentikan aktivitas wanita itu.
“Hanya wanita bodoh yang mau dipermalukan berkali-kali, Mas. Malam ini, saat ini dan detik ini aku sadar, jika aku memang tidak bisa singgah dalam benak kamu sedetikpun.” Dengan suara bergetar, Isna berucap.
“Isna, jangan berkata seperti itu. Kita baru menikah dua hari. Masih banyak waktu dan kesempatan untuk ….”
“Yakinkan dulu hati kamu, Mas. Apakah kamu siap menerimaku atau tidak. Atau, kamu akan hidup dengan bayangan masa lalumu. Dan malam ini, aku seorang Isna telah kehilangan harga diri di hadapan kamu, juga tentang sebuah kesucian pernikahan. Aku tidak lebih hanyalah seorang wanita yang tidak memiliki harga diri. Maaf, jika aku yang hina dina ini telah menjadi wanita yang hadir mengacaukan kebahagiaan kalian. ” Ucapan terakhir Isna sukses membuat Restu tidak bisa berkata apapun lagi. Ia merutuki diri yang tidak bisa menjauh dari bayangan Marwah.
Pintu kamar tertutup rapat. Sang pemilik sudah meninggalkan ruang pribadinya, meninggalkan Restu yang terpaku dengan hati yang berkecamuk. Ia sadar, sudah membuat Isna merasa menjadi wanita yang rendah.
Menyesal? Nyatanya, hasratnya selalu hilang kala wajah cantik Marwah hadir. Menyalahkan Ruslam yang lancang menyatakan harapan? Nyatanya, lelaki itu memang telah berharap sejak dulu.
Suara binatang malam berbunyi keras dari luar rumah. Hawa dingin yang menyusup melalui lubang ventilasi, tak juga mampu membuat Restu terlelap. Entah esok hari akan datang dengan keadaan yang bagaimana, ia tidak bisa membayangkan.
Isna tersedu menahan isakan agar tidak ada yang mendengar. Saat ini, ia berada di salah satu kamar yang kosong di rumahnya. Ia hanya memiliki satu adik yang saat ini tengah menempuh kuliah di kota besar. Dan sudah berangkat sehari setelah dirinya menikah. Sehingga, keadaan rumah sangat sepi.
‘Adakah yang lebih menyakitkan dari ini? Berulang kali, ia seperti menolak tubuhku. Apa aku begitu hina dan tidak pantas di matanya?’ jeritnya dalam hati. ‘Wanita seperti apa yang kamu cintai sehingga merasa aku tidak layak menggantikan posisinya?’ Hatinya terus berteriak.
Tubuhnya luluh di atas lantai yang dingin dengan kedua telapak tangan yang menopang. Rambutnya terurai, menyapu pipi yang basah. Tak dihiraukan, esok hari matanya akan terlihat sembab. Yang dipikirkan saat ini hanya rasa sakit dan bagaimana caranya untuk menenangkan diri sendiri.
Setelah dirasa agak tenang, Isna bangkit dan membaringkan diri di atas kasur untuk mengusir hawa dingin. Meski hati tetap saja membeku, setidaknya, tubuh merasa hangat dengan balutan selimut tebal. Entah berapa jam ia merasa lupa dan terlelap, hingga akhirnya terbangun saat merasa hatinya dicambuk oleh rasa sakit yang tengah dirasa.
Ia lalu keluar dengan berjinjit dan menyelinap kembali ke dalam kamarnya, berniat untuk mandi dan segera menemui rabb-nya. Meski belum sempat terjadi apa-apa antara dirinya dengan Restu, tapi Isna merasa harus membersihkan badan. Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Cukup lama ternyata dirinya berada di kamar lain seorang diri. Berpikir kalau Restu pasti sudah tertidur di jam menjelang pagi itu.
Dengan gerakan yang sangat pelan, tangannya membuka gagang pintu dan menutup kembali. Lampu kamar masih menyala sehingga ia bisa melihat tubuh sang suami yang sudah terlelap. Kakinya melangkah menuju kamar mandi. Mata enggan menatap sosok yang terbungkus selimut. Namun, sebuah nama yang diucapkan berkali-kali oleh Restu, membuatnya harus menghentikan langkah itu.
“Marwah, Marwah, aaah …”
Panas dan sakit hati. itu yang dirasakan Isna, tatkala berkali-kali nama yang sama didengarnya. Wajahnya kini menoleh, menatap Restu yang terpejam dengan gerakan menggeliat.
“Marwaaah, Marwaaaah, jangan nakal. Mas tidak kuat, Marwah ….” Lagi, lelaki bergelar suami itu mend*sah.
Semakin teriris belati rasanya hati Isna. Dengan gontai, ia kembali meneruskan langkah.
Hawa dingin langsung menyergap, tatkala semburan air mengguyur tubuh. Di bawah derasnya tetes-tetes air, ia menangis seorang diri. Terngiang saat Restu berulang kali menyebut nama Marwah. Teringat pula, manakala hasrat lelaki itu seketika sirna saat berhadapan dengannya.
Untuk sementara waktu, ia bisa mendamaikan diri dengan tangisan. Namun, hari esok dan seterusnya, entah sikap seperti apa yang akan diambilnya.
Meluluhkan dan mencoba membuat Restu jatuh cinta? Ia sudah terlanjur lara.
Mengajak berpisah dalam hitungan hari menikah? Itu hal yang dapat mencoreng harga dirinya.