Part 8

920 Kata
Part 8 Tidak banyak yang dibicarakan Isna dan Restu di hari kedua mereka menjalani hidup bersama. Peristiwa semalam membuat keduanya canggung. Narsih tersenyum senang, manakala melihat Isna dan Restu berambut basah saat pagi. Berpikir jika anak lelakinya sudah bisa menerima perempuan pilihan mereka. “Aku mau pulang ke rumah,” ucap Isna saat keduanya di kamar. “Kenapa?” “Kita menikah belum ada satu minggu. Seharusnya aku belum ke rumah ini.” “Baiklah, ku antar,” “Tidak usah ….” Isna menolak. “Aku mau ambil sesuatu di rumah Bu Ika,” “Bu Ika bidan desa sebelah?” Isna mengangguk. “Baiklah. Hati-hati! Aku mau ke balai desa. Jangan cerita tentang apa yang kita alami pada orang lain, ya?” “Sementara ini belum, Mas. Karena aku juga menjaga harga diriku. Tidak lucu pastinya, aku yang dulu disukai banyak cowok, harus mengalami pernikahan yang tragis.” Isna langsung pergi keluar kamar. Membuat Restu kembali memikirkan peristiwa semalam. ‘Nanti malam, aku harus bisa melakukannya. Tolong aku, Marwah, ijinkan aku menjalani hidup dengan istriku,’ ucap Restu dalam hati. *** “Keputusan yang sudah kamu ambil, maka harus kamu lakukan dengan penuh tanggung jawab. Itu baru sikap seorang pemimpin.” Harun yang tidak suka dengan cara Restu bersikap terhadap Isna, langsung memberi komentar menohok. Hari ini, ia memang sengaja berkunjung karena penasaran dengan perkembangan hubungan sahabatnya itu. Tidak disangka, Restu malah menceritakan sesuatu yang membuatnya semakin tidak suka. “Marwah selalu menghantuiku ….” “Dia bukan hantu. Dia masih hidup. Kamu saja yang tidak bisa menerima kenyataan. Aku tidak menjamin, Isna akan bertahan di sisi kamu jika kamu seperti ini terus. Lambat laun, dia akan tahu, hanya dijadikan sebagai tameng untuk menutupi harga dirimu dan juga keluarga.” “Keluargaku tidak seperti itu, Mas. Mereka tulus memilih Isna.” “Iya, keluarga kamu tidak. Tapi kamu? Kamu yang sudah membuat Isna menjadi korban. Kamu dulu siap meninggalkan Marwah asalkan orang tuamu mau membiayai pencalonan kepala desamu. Seharusnya konsekuensi itu harus kamu terima. Dan kamu menjauhi Marwah setelah kamu terpilih. Tapi apa? Kamu masih memberikan harapan yang kamu sendiri sebenarnya tahu, jika itu tidak akan pernah terjadi. Jika orang tuamu akan jelas menolak Marwah dan mencarikan jodoh yang lain. Dan kamu sudah tahu, bukan? Syarat untuk kamu menjadi kepala desa dari orang tuamu, adalah menikahi Isna. Kenapa sekarang kamu masih merasa Marwah membayangimu? Hatimu sendiri yang egois!” Lagi-lagi, Harun mengungkit hal yang Restu sesali. “Kenapa kelihatannya kamu peduli sekali dengan Isna, Mas? Apakah kamu mengenal dia sebelum ini? Ah, dia ‘kan tetangga desa denganmu. Apakah sebelumnya Mas Harun pernah ada sesuatu? Mengapa aku merasa sikapmu berlebihan sekali terhadap masalah pernikahanku ….” Restu menatap penuh curiga pada Harun. “Tidak ada yang berlebihan. Sebagai seorang teman, dan aku juga memiliki seorang adik perempuan, aku menempatkan diri sebagai pihak Isna. Iya, aku kasihan sama dia. Dan kamu tahu, aku memang selalu mengasihani orang-orang yang berada di posisi teraniaya,” jawab Harun tegas. ‘Apakah aku seperti orang yang menganiaya Isna?’ tanya Restu dalam hati. “Jika aku saja yang orang lain sangat marah dengan perilaku kamu terhadap Isna. Bagaimana dengan keluarganya jika tahu hal ini? Pikirkan itu, Restu!” Ucapan Harun kali ini benar-benar membuat Restu takut. ‘Aku harus bisa melakukan kewajibanku terhadap Isna nanti malam!’ tekadnya dalam hati. *** Saat perjalanan pulang ke rumah dari balai desa, Restu melihat sesosok lelaki yang tengah kelelahan mencari rumput—beristirahat di bawah sebuah pohon. Sosok yang amat dikenalnya, yang mana, hatinya merasa iba melihat pemandangan tersebut. “Cari rumput, Pak?” tanya Restu. “Iya, Mas Restu,” jawab lelaki tersebut seraya bangkit. “Semoga pernikahannya langgeng,” ucapnya lagi dengan wajah sedih. “Terima kasih, Pak. Semoga Marwah juga menemukan jodohnya,” balas Restu. Terasa sakit hati saat mengucapkan hal demikian. “Dia bisa jadi tidak akan menikah selamanya.” “Jangan begitu, Pak. Marwah harus tetap melanjutkan hidupnya,” “Dia sangat mencintai Pak Lurah. Dia pergi karena tidak ingin melihat kebahagiaan kalian. Kami tidak yakin, dia bisa mencari lelaki lain sebagai penggantinya. Doakan saja dia bisa sehat, Mas Restu. Siapa tahu, jodoh kalian memang tidak saat ini. Siapa tahu, jika anak saya kembali, dia benar-benar bisa berjodoh dengan lelaki yang dia cintai ….” Orang tua Marwah memang benar-benar menunjukkan ambisinya untuk memiliki menantu seorang Restu, pewaris harta dahlan yang terkenal kaya di kampung mereka. Ruslam, ayahanda Marwah tidak malu berucap demikian. Restu ingin sekali bertanya, dimana belahan hatinya berada saat ini. Tapi, ia mengurungkan niatnya. Dalam hati sudah bertekad, jika malam nanti, ia harus bisa meyakinkan dan menjadikan Isna sepenuhnya sebagai istri. Memberikan nafkah batin yang seharusnya diterima. Pria itu memilih pamit dari hadapan Ruslam. Melajukan kendaraan roda duanya menuju desa dimana rumah istrinya berada. *** “Kamu lelah? Seharian kemana saja? Aku pulang kamu tidak ada. Aku hubungi, nomormu tidak aktif? Aku sudah menjadi suami kamu. Kalau mau kemana-mana, setidaknya kasih kabar,” ucap Restu saat mereka bersama kembali dalam kamar Isna. “Aku belum terbiasa dan merasa kalau aku punya suami, Mas. Mungkin besok, kalau kamu sudah bisa mencintaiku,” sahut Isna enteng. “Aku sudah mulai merindukan kamu. Buktinya, aku pulang kesini,” “Gombal! Baru dua hari menikah, tidak mungkin hatimu secepat itu berpaling dari wanita yang menurut kamu sangat spesial itu,” “Kata siapa? Apa kamu seorang dukun? Sampai-sampai kamu tahu isi hatiku? Bukankah ada Dia, Allah yang bisa membolak-balikkan hati dalam sekejap?” tanya restu. Ia mendekatkan tubuh pada Isna yang berdiri di hadapan cermin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN