Part 7

873 Kata
Part 7 Meski saat ini, tangannya memeluk dan membelai Isna, meski bibirnya sesekali mencium mesra wajah serta anggota tubuh lain Isna, tapi itu hanyalah sebuah kepalsuan belaka. Bohong! Ia telah membohongi Isna juga hatinya sendiri. Batinnya seolah berontak untuk tidak melakukan semua itu. Setiap gerakan yang ia sentuhkan terhadap sang istri, di sana seolah ada seulas senyum Marwah yang mencegahnya melakukan semuanya. Sementara wanita yang berada dalam belaiannya justru berpikir lain. Isna merasa jika saat ini, Restu benar-benar sedang menikmati malam kemesraan mereka dan mulai menerimanya sebagai seorang istri. Imajinasi yang berbeda dirasakan oleh kedua insan yang kini sudah saling menyatu. Isna memejamkan mata sembari mengucapkan sebuah doa dalam hati. ‘Bismillah ya Allah, aku lepaskan sesuatu yang berharga untuk dia suamiku, lelaki yang sudah halal, dan insya Allah akan menjadi imamku seumur hidup.’ Sedangkan Restu pun ikut memejamkan mata, tapi di hatinya tidak terucap doa apapun, melainkan ucapan yang seolah ingin ia teriakkan untuk kekasih hati yang kini telah jauh pergi. ‘Marwah, maafkan aku. Ijinkan aku melakukan ini dengan istriku,’ Dan, wajah Restu mendadak berubah serta menghentikan aktivitas yang ia lakukan. “Kenapa, Mas?” tanya Isna heran. Ada sebuah rasa kecewa saat tiba-tiba suaminya menutup tubuh dengan selimut. Reflex, tangannya terulur untuk menyentuh sesuatu yang seumur hidup baru kali ini ia lakukan. Seketika pula, tangan Isna bergetar. “Apakah kamu punya penyakit im ….” Ia ragu untuk melanjutkan ucapannya. “Tidak, Isna! Aku normal. Aku pernah bermimpi itu saat remaja. Aku normal,” lirih Restu. “Lalu kenapa seperti ini, Mas?” tanya Isna kecewa. Sejenak ia lupa akan sosok Marwah yang bertahta dalam hati Restu. Ketakutan lainnya timbul, suaminya memiliki penyakit yang berkaitan dengan gairahnya tersebut. “Aku, aku hanya gugup sepertinya. Ini pertama kalinya aku melakukan dengan seorang wanita. Aku berdebar-debar sekali. Maafkan aku, Isna. Aku benar-benar merasa malu melakukannya,” ucap Restu berbohong. Isna menghembuskan napas kasar di balik selimut. “Baiklah. Mungkin memang kamu belum siap melakukan semua ini,” ucapnya bijak. Teringat cerita salah seorang temannya yang memang gagal bermalam pertama karena sang lelaki begitu gugup. “Kamu tidurlah! Kita coba nanti, beberapa jam lagi. Aku akan membangunkanmu,” ujar Restu lembut. Ia mengecup rambut Isna. “Tidak usah. Kita bisa mencobanya besok,” sahut Isna dengan menyunggingkan senyum kecewa. Memeluk kecewa, Isna berbaring dan menghadap tembok. Menatap dinding berwarna putih kebiruan. Mencoba menghibur hati, jika itu hanya soal waktu. Matanya terasa berat, hingga tak ingat apapun lagi. Restu menatap punggung sang istri. Rasa bersalah menguasai hati, tapi ia benar-benar tidak bisa menggantikan sosok Marwah dengan Isna. Terlebih lagi, hasratnya untuk melakukan itu dengan Isna benar-benar sirna. Tangannya memeluk sang istri dari belakang. Kelopak matanya menutup. Dan seolah, wanita yang ia cintai hadir sambil tersenyum. Senyum yang seakan menyiratkan ucapan terima kasih, karena ia telah gagal melakukan malam pertama dengan wanita lain. “Kenapa kamu begitu nakal? Kamu sudah pergi meninggalkan aku. Tapi sekarang malah seolah datang dalam bayangku melarang agar aku tidak melakukan itu dengan istriku,” ucap Restu. Marwah hanya tersenyum manja di hadapannya. Memainkan dagunya yang mulai tumbuh jambang tipis. Jari lentik Marwah langsung dipegangnya. “Aku sudah memiliki istri, jadi, biarkan aku melakukan kewajibanku,” ujarnya lembut. Marwah menggeleng dan menunjukkan wajah sedih lalu menangis sesenggukan. Hati Restu begitu sakit melihatnya. Hingga tak sadar menangis. Air mata yang keluar semakin deras. Lalu, ia terbangun. “Hanya mimpi.” Restu mengusap pipinya yang basah. “Sampai kapan kamu akan selalu menghantuiku?” gumamnya lirih. Matanya menatap sosok perempuan yang sudah terlelap sambil memeluk bantal guling. Dahlan menyesap kopi kental yang dibuatkan sang istri, Narsih. Matanya menatap kebun di hadapan yang terletak di belakang rumah. Namun, ia mendengarkan seluruh cerita yang istrinya sampaikan. Sesekali meletakkan rokok di asbak yang ada di atas meja. “Apa Marwah pergi karena bapak yang mengancam?” tanya Narsih lirih. Takut jika Restu ataupun Isna yang berada di kamar mendengarnya. Padahal rumahnya sangat besar. Teras belakang berjarak jauh dengan kamar anak tengahnya itu. Narsih memiliki tiga anak. Yang pertama perempuan sudah hidup bersama suaminya di kota dan memiliki usaha konveksi. Anak kedua Restu, sedangkan anak terakhirnya Tyas, masih duduk di kelas dua SMP. “Buat apa bapak mengancam?” sahut Dahlan santai. “Ya kali saja. Karena tiba-tiba Marwah menghilang. Awalnya ibu bersyukur tapi kenapa sampai saat ini, Restu masih saja mengingatnya. Kasihan Isna,” ujar Narsih. Wajahnya penuh kesenduan. “Orang tua Marwah sangat berharap Restu menjadi menantunya. Mereka sudah mengatakan itu kepada banyak warga. Sudah koar-koar kalau Marwah akan menjadi bu lurah. Mungkin saja malu, setelah kita menjodohkan dengan Isna yang seorang perempuan terhormat dan terpandang. Jadi, anak perempuannya disuruh pergi agar tidak menanggung rasa malu itu,” jelas Dahlan. “Bapak tahu kata siapa, ah? Jangan ngaco gitu. Apa iya, orang tua Marwah berani bilang seperti itu? Ibu tidak pernah mendengarnya ….” “Kamu ‘kan kerjanya hanya di rumah saja. Jadi tidak tahu,” “Lha ‘kan memang Marwah itu bukan warga RT sini. Jadi, ibu tidak tahu. Hanya tahu kalau Restu suka sama dia. Sudah gitu saja.” Dahlan diam. Ia memang tidak pernah bercerita terhadap istrinya, jika keluarga Marwah sudah bersikap di hadapan masyarakat seolah anak gadis mereka akan menjadi pendamping kepala desa. Takut, jika Narsih akan marah besar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN