2

2503 Kata
Aku benar-benar muntah. Seperti orang mabuk darat saat berkendara. Muntah yang seperti itu. Respons tenggorokkan dan d**a mendorong cairan meluap keluar melewati mulut. Bluweh! Tidak cantik. Jauh dari kata elegan. Namun, begitulah yang aku lakukan. Muntah. Tidak sempat memikirkan cara berpura-pura muntah seperti bangsawan sebab teror terlebih dahulu menyerang sebelum kemudian aku tumbang di pelukan Caden. Aku yakin sempat memuntahi pakaian Caden. Semoga ada binatu yang bisa membersihkan aroma tengik muntahanku. Gigilan dingin melanda sekujur tubuh. Rasanya amat menyakitkan. Gigi bergemeletuk. Setelahnya aku tidak ingat apa pun. Hanya itu yang aku ingat. Entah berapa malam terbaring di ranjang, menggigil, menahan dingin dan panas yang silih berganti aku rasakan, lalu tenggelam dalam ketidaksadaran. Kadang aku bermimpi kembali ke dunia modern; sibuk menghitung lembaran uang yang tidak seberapa jumlahnya, berusaha berhemat demi membayar tagihan listrik dan air, serta malam menyedihkan ketika hujan melanda. Bahkan dalam mimpi pun terlihat lara. Keterlaluan. “Air....” Seseorang meletakkan tangan di belakang kepalaku, perlahan membimbing diriku agar tegak. Lalu, bibirku menyentuh pinggiran gelas. “Pelan-pelan, Moira.” Aku mengindahkan saran, hati-hati meneguk air. Rasa asam dalam mulutku terbasuh kesejukan. Bibir dan lidah sedikit kebas, tetapi tidak sesakit pening yang aku rasakan. Kelopak mataku membuka secara perlahan, menyesuaikan pencahayaan dalam ruangan. “Kakak?” “Apa kau ingin makan?” Dengan penuh perhatian Caden menyeka bulir-bulir keringat di dahi dan pelipisku. Tatapan matanya terasa teduh dan menenteramkan. “Bawakan sup,” katanya memerintah. Caden membantuku bersandar. Bantal-bantal sengaja ditumpuk di belakang punggung, cukup nyaman bagiku saat beban tubuh terempas ke belakang. “Kamarku?” Sekarang setelah melewati tahap terkejut-sedih-marah-kecewa-pindah-ke-tokoh-antagonis-sinting, aku bisa merasa sedikit tenang. Terlebih menatap wajah Caden. Akhirnya aku bisa menikmati wajah ganteng tanpa perlu mencemaskan seseorang menganggapku kurang ajar. Tapi, oh mengapa dia harus kakakku? Tidak bisakah aku hinggap di tubuh pelayan, bukannya Moira? “Aku sudah menyuruh sekretaris istana menyampaikan pembatalan pertunangan kepada Adrin.” Perasaan lega mekar di hatiku. “Benarkah?” Semoga Adrin hengkang dari ranah hidupku. Pergilah sejauh mungkin dan jangan kembali. Caden mengangguk. “Walau dia berasumsi lain.” Seseorang pernah berkata kepadaku bahwa kesialan itu bisa berkembang biak secepat bintang laut membelah diri. Padahal aku berencana menyelamatkan diri, tetapi tampaknya Adrin ingin menghancurkan bahtera penyelamat milikku. Seorang pelayan datang membawa nampan perak. Di atasnya ada semangkuk sup sayuran. Caden meraih mangkuk dan menyendok isinya. “Makanlah,” katanya. “Kau butuh asupan.” Sup terenak yang pernah aku rasakan seumur hidup. Dulu aku hanya bisa makan masakan biasa, seadanya, yang penting nasinya banyak. Sekarang begitu lidah mengecap rasa gurih semewah hidangan bintang lima, air mata haru menetes tanpa bisa kutahan. “Kenapa kau menangis?” Mana mungkin aku bilang, “Aku terharu bisa makan enak!” Aku menggeleng. “Tidak apa-apa.” Dia menyeka air mata di wajahku. Amat lembut. Rasanya penjahat yang tertulis di novel yang menggambarkan Caden jadi tidak masuk akal. Buktinya dia bisa sebaik ini kepadaku. Koreksi, sebaik ini kepada Moira. Gaun tidurku terasa nyaman. Kasurku empuk. Ruanganku hangat. Nikmat apa lagi yang engkau dustakan, wahai Moira? Kau bahkan punya kakak-seksi-tampan seperti Caden! Sungguh ironis. “Dulu waktu kecil kau selalu mengekoriku.” Tiba-tiba Caden tampak menerawang, seolah ada sesuatu yang membuatnya dilanda nostalgia. “Ingin bersamaku, tidak mau dipisahkan, bahkan berjanji menjadi pengantinku.” UHUK! “Sepertinya kau butuh istirahat total.” Caden menyerahkan mangkuk kepada pelayan yang langsung membawanya pergi. “Selamat tidur, Moira.” Dia mengecup keningku. Amat lembut. Jantungku jumpalitan tidak menentu. Teror lain bangkit dalam diriku. Segalanya jadi amat berat dan aku tidak sanggup hidup sebagai Moira demi apa pun, bahkan uang sekalipun. Bagaimanapun juga Moira harus kembali. Titik. ~♦♦♥♦♦~ Kesehatan tubuhku bergantung pada stresor; semakin sedikit beban mental, semakin baik kondisi kesehatan. Kemungkinan sifat buruk di kehidupan lalu turut memperburuk keadaan. Aku bukan tipikal manusia kompeten. Saat semua orang bisa melakukan apa pun dengan hasil sempurna, maka pekerjaanku hanya sebatas level rata-rata—tidak ada yang spesial. Dalam dunia pergaulan pun diriku terbilang anak buangan; tidak menarik, sering ditunjuk sebagai korban sesembahan saat sekolah mengadakan perlombaan. Intinya perlombaannya sangat tidak menarik dan semua anak tidak ingin berpartisipasi. Ya, kalian mengerti? Aku jenis anak yang akan langsung disodorkan ke perlombaan membosankan dengan ataupun tanpa kesediaanku. Misal, ada lomba baca puisi kemerdekaan. Aha entah setan mana yang berhasil mempersatukan anak sekelas, alias, mereka menunjukku. Padahal tertulis jelas “baca puisi”, tetapi praktik di lapangan berkata lain. Ternyata aku diharuskan “menulis” puisi dan membacanya. Astaga, jangankan menulis puisi bertema kemerdekaan, mengarang puisi cinta saja aku jauh dari kata becus. Lalu, kalau aku menolak, maka salah seorang pemimpin suku akan berkata, “Oke, jadi nanti kalau ada pinalti karena tidak mengikuti salah satu perlombaan, dirimu yang akan disalahkan.” Aku benar-benar tidak mengerti sistem demokrasi versi mereka. Kemakmuran di atas penderitaanku? Haha, menyedihkan, tidak ada yang mengajak berbicara karena jelas aku tidak mengerti topik pembicaraan. Dalam dunia pergaulan keren setidaknya kalian harus memahami topik-topik tertentu yang diminati anak sekelas. Apabila kalian terlalu “unik” dan tidak diterima dalam lingkaran sosial, maka sudah pasti jarang ada yang ingin berbincang lantaran “tidak nyambung”. Hanya dibutuhkan saat ulangan tiba sebagai sapi perah pemberi kunci jawaban. Sekali lagi atas nama solidaritas. Aku bahkan tidak termasuk dalam kelompok yang disejahterakan, tetapi rasanya mereka berpikir berhak memaksaku bersedekah dalam ulangan. Pada akhirnya aku menganggap diriku tidak cukup baik bagi siapa pun, bahkan diriku sendiri. Terlalu kolot bagi orang lain. Terlalu takut mencoba dekat siapa pun. Padahal aku bersikap “tidak ramah” bukan karena ingin seperti itu, melainkan akibat luka di masa lalu. Seperti warna yang tidak bisa membaur dengan warna apa pun; meskipun dicampur dengan zat penyatu, warnaku akan memudar dan terlihat jelek di mana pun. Apakah ini yang menyebabkanku terjebak di tubuh Moira? Karena kami memiliki satu kesamaan, sama-sama merasa tidak berarti bagi siapa pun. Aduh-aduh, sepertinya aku dan Moira jelas berbeda. Dia memiliki fasilitas, kekayaan, dan kakak-super-seksi-ganteng-luar-biasa! Kehidupan miliknya berisi banyak pilihan menyenangkan daripada milikku. Opsi yang aku dapatkan terbatas pada kepentingan orang lain. Aku harus bekerja agar orangtuaku bersedia memandangku dan tidak membandingkan diriku dengan saudaraku. Sepupu dan paman serta bibiku menilai diriku sebagai orang tidak berguna, berbeda dengan Moira yang dicintai Caden. Jelas aku tidak ada apa-apanya! Lantas, mengapa aku bisa berada di tubuh Moira? Setelah menimbang kemungkinan terbaik dan terburuk yang bisa kumiliki saat ini, aku pun memutuskan rencana memanggil Moira. Jangan sampai Caden sadar aku bukan Moira. Berbaring di ranjang, gaun tidur terasa lembut membingkai tubuh, dan aku pun membiarkan siraman sinar matahari membasuh diriku. Sambil memejamkan mata, dalam hati aku berulang kali mengucapkan mantra panggilan ala kadarnya: “Moira. Yuhuuuu, Moira. Kau ada di mana? Cepatlah kembali dan biarkan aku menyeberang ke dunia orang mati.” Tidak ada jawaban. Nyanyian burung silih berganti mendendangkan pujian pada semesta. Aroma ruangan didominasi wangi herba dan bunga. Kelopak mataku masih tertutup dan aku berencana melakukan panggilan, yang tentunya, dalam hati: “Hei, Moira. Aku tidak mau menggantikan posisi matimu. Sudah cukup mati sekali, tidak perlu kedua kali. Kau pikir jadi orang miskin itu menyenangkan, hah? Oh kau tidak peduli? Sini, kemari sebelum tubuhmu kuhancurkan dengan cara makan kue dan daging sebanyak mungkin. Kita lihat, apa kau masih bungkam? Hei, jawab! Moira! Moira! Kembaliiiii!” Gamang. Perlahan membuka mata, aku pun disambut langit-langit yang bernuansa putih tulang. Kandelir kristal memantulkan cahaya mentari. Aku menghela napas dan mengembuskannya melalui mulut. “Ternyata ini bukan mimpi.” Lebih baik inkarnasi dari nol; terlahir mengoek dengan ingatan masa lalu; daripada tiba-tiba muncul sebagai orang lain. Repot. Moira ditakdirkan mati di tangan Adrin, seharusnya aku tidak bisa menempati tubuh Moira. Lantas setelah kematianku seharusnya aku berada di tempat “akhir” bukan di sini. Tidak mungkin Moira bosan kemudian memutuskan menyerahkan tubuhnya kepada sembarang roh. “Oh aku bosan jadi kaya dan cantik. Aku pergi ah.” Kan, tidak mungkin seperti itu! Terlalu lawak. Membayangkan Adrin beserta rentetan plot Be My Lover membuatku mual. Semenjak insiden muntah, Caden sering mengunjungiku di sela kegiatan-yang-menumpuk-dan-menuntut-perhatian. Kadang dia memerintah pelayan mengirimiku setangkai bunga; lili, mawar, tulip, bunga matahari, aster, dan sederet bunga yang namanya tidak aku tahu. Caden mendapatkan takhta setelah menggalang pendukung. Tentu saja dia tidak serta-merta menyerang kaisar tanpa perencanaan. Dia ahli dalam menentukan cara kematian yang tidak mencurigakan. Memikirkan hidup sebagai adik seorang pembunuh membuatku kehilangan harapan hidup. Tapi, dia benar-benar tipeku! Antagonis tampan berkarisma. Percuma aku ada di dekatnya, tetapi tidak bisa mengencaninya. Mubazir. “Seharusnya aku membaca dongeng anak-anak saja,” kataku kepada diri sendiri. Jadi kelinci yang dikalahkan kura-kura dalam adu balap pun aku tidak keberatan. Setidaknya dia hidup damai di hutan bersama para herbivora. Namun, Moira ... dia hidup di tengah-tengah lelaki haus darah. Caden, Adrin, dan mungkin sederet pria yang konon mengejar Ciara. Mana mungkin aku betah hidup di sini? Rencana. Aku membutuhkan rencana. Sambil menggoyangkan telapak kaki ke kanan dan kiri, aku mulai menghitung rencana bertahan hidup sampai Moira asli (mungkin) kembali. Satu, membatalkan pertunangan. Sukses. Aku berhasil menghindari Adrin. Dengan demikian akhir buruk bisa dikatakan telah lewat. Biarkan saja dia berpikir “Moira merencanakan hal buruk”. Aku tidak peduli. Dia bebas menganggap Moira sebagai apa pun. Susah berharap pemikiran baik dari seseorang yang cenderung melabel Moira dengan cap buruk. Jadi, terserah dia ingin menilai apa pun. Dua, menghalangi Caden menikahi Ciara. Jangan sampai tokoh utama menjejakkan kaki di istana. Aku akan menghalangi kejatuhan Caden. Pada jalan cerita Be My Lover, Adrin mendengar teriakan Ciara yang kala itu tengah dilecehkan Caden. Mungkin karena merasa senasib, sepenanggungan, dan sependeritaan; dia merasakan kesadaran dalam dirinya sebagai bentuk pemberontakan. Dengan bantuan beberapa keluarga besar yang memang “mengincar” posisi penting, awal pembangkangan pun dimulai. Dia berhasil melengserkan Caden, orang-orang yang dulu patuh kepada Caden mendadak berbalik menggigit, dan akhirnya Moira pun menemui ajal. Jelas aku tidak mungkin diam saja menerima takdir demikian! Tiga, mencari cara keluar dari tubuh Moira. Poin terakhir hanya bisa dilakukan dengan bantuan keajaiban. Haha, seolah keajaiban bisa dipanggil begitu saja. Menyedihkan. Aku mengangguk, puas. “Nah, sekarang saatnya memastikan Caden tidak tertarik dengan Ciara.” ~♦♦♥♦♦~ “Kakak, apa kau tidak keberatan menemaniku jalan-jalan?” Misi pertama: SKSD. Sok kenal sok dekat. Dengan bantuan pelayan, aku sengaja meminta mereka mendandaniku dengan tema “musim semi penyelamat”. Gaun biru yang warnanya serasi dengan mataku. Bunga-bunga mungil tersulam di sepanjang bahu dan pinggang, ada pita putih di bagian lengan, dan kainnya pun amat nyaman saat menyentuh kulit. Rambut Moira yang bergelombang dihias pita biru. Riasan wajah yang kupilih ialah sentuhan ringan—tidak menor karena aku tidak suka kesan “antagonis seksi” versi Moira. Oh sepatu. Aku suka modelnya; warna perak dan ada hiasan bunga biru di ujungnya. Saat bercermin aku hanya bisa terpana menyadari betapa cantik Moira apabila dia tidak berada di level “sinis adalah tema antagonis”. Apakah ada pelayan yang tercengang dengan perubahan sikapku? Ya, mungkin ada. Tapi, aku tidak peduli. “Kau ingin jalan-jalan?” Caden yang tengah membaca laporan pun tampak sedikit terkejut. Tentu saja bisa dimengerti. Moira tidak pernah berinisiatif menghabiskan waktu bersama Caden. Satu-satunya lelaki yang memikat hanyalah Adrin, si jagal edan. “Bersamaku?” Hari ini dia mengenakan busana bernuansa abu-abu. Warna yang sesuai dengan rambut peraknya. “Ayolah,” kataku membujuk. Sengaja aku menggenggam tangannya, memaksa Caden bangkit dari kursi dan mengarahkannya ke pintu. “Aku bosan.” Salah satu alis Caden terangkat. “Kau yakin?” “Apa Kakak tidak ingin menemaniku?” Kali ini aku sengaja memamerkan tampang minta dikasihani agar Caden luluh. Sebagai roh yang terjebak tubuh antagonis, sudah sepatutnya aku menolong Caden menghindari godaan menjadi jahat. (Meskipun dia sudah memiliki bibit menjadi kejam.) “Ayolah, pasti menyenangkan.” Seulas senyum terpeta di wajah Caden. Jenis senyum yang membuatku ingin menari balet. Betapa tidak menguntungkan terjebak di tubuh Moira. Walaupun pernikahan antara saudara kandung di beberapa kerajaan memang lazim, tetapi aku tidak sanggup mengikuti jejak Lanister bersaudara. “Ayo.” Tanpa ragu aku melingkarkan tangan ke lengan Caden. Kami berdua berjalan menuju taman. Beberapa pelayan dan penjaga mengekor di belakang, diam-diam penasaran dengan perubahan suasana hati Moira. Cuaca cerah. Udara terasa sejuk. Langit pun tidak berawan. Benar-benar sempurna. “Dulu kau suka menangkap kupu-kupu,” kata Caden menunjuk rimbun mawar putih. “Kau berkata mereka seperti peri.” Oh, ternyata Moira tidak seburuk dugaanku. “Lalu,” Caden melanjutkan, “suatu hari kau merobek setiap sayap kupu-kupu yang berhasil tertangkap. Katamu, mereka mengingatkanmu kepada ibumu.” Koreksi. Moira memang memiliki tanda-tanda psikopat sejak dini. Aku berdeham, mencoba mengusir rasa gatal di tenggorokkan. “Yah, itu, kan, di masa lalu. Sekarang aku tidak akan menangkap ataupun merobek sayap kupu-kupu.” Kami melewati bagian taman lili dan aster. Saat melihat kumpulan bunga mungil yang tumbuh di dekat lili, aku pun berseru senang. Refleks, aku menjauh dari Caden dan bergegas mendekati rimbun lili. Mengabaikan norma sopan santun ala bangsawan, aku bersimpuh dan menyentuh bunga mungil yang disebut forget-me-not. Bunganya mungil, daunnya sedikit mirip tanaman urang aring, dan kelopaknya berwarna biru dengan lingkaran kuning di pusat bunga. Dulu aku hanya bisa mengamati keindahan forget-me-not melalui layar komputer dan ponsel. Sekarang setelah melihatnya dengan mata kepala, rasanya amat memuaskan. “Apa ada yang istimewa dari bunga ini?” Caden berlutut di dekatku, tampaknya ia tidak peduli bajunya kotor. “Sepertinya kau amat tertarik.” “Kakak, apa kau mau mendengar cerita romantis mengenai bunga ini?” Caden mengangguk. Nah, inilah saatnya aku meracunimu nilai romantisme agar kelak dirimu tidak berbuat maksiat, wahai kakak antagonis. “Dulu ada seorang lady yang terpikat pada sekelompok bunga yang tumbuh di dekat sungai. Bunga itu sebenarnya bunga liar, tidak bernama. ‘Oh betapa aku ingin memetik salah satu dari bunga-bunga tersebut,’ katanya. Lantas seorang kesatria yang memang menaruh hati kepada sang lady pun menawarkan diri. Kesatria itu amat tampan dan gagah. Dia mengenakan zirah besi yang ditempa oleh pandai besi terbaik. Karena medan tempat bunga itu tumbuh di tempat yang lumayan terjal, ia pun berhati-hati memetik segenggam bunga. Namun, lumut dan rumput membuat pijakan sang kesatria menjadi licin. Dia pun tergelincir dan jatuh ke sungai. Namun, sebelum jatuh ia sempat melempar bunga-bunga tersebut kepada lady dan berteriak, ‘Jangan lupakan aku!’ Karena sungai begitu dalam ditambah zirah pun membuat kesatria itu tenggelam. Mati.” Caden memetik sekuntum forget-me-not dan menyelipkannya di rambutku. “Jadi perempuan itu akan selalu mengingat si lelaki,” katanya menyimpulkan. “Mengesankan.” Iya, kau harus terkesan agar tidak tertarik mendalami peran tiran-otoriter-pembantai. “Arti dari bunga tersebut amat sentimental.” Aku memetik sekuntum forget-me-not dan menyelipkannya di telinga Caden. (Demi bulan, bintang, matahari, dan sekalian meteor. Kenapa dia harus semenarik ini? Kenapa aku harus merasuki tubuh adiknya? Ini amat menyedihkan!) “Jangan lupakan aku. Sampai kapan pun. Terus ingatlah aku bahkan di saat paling menyedihkan. Ingatlah aku dalam mimpimu. Ingatlah aku sebagaimana aku mengingatmu.” Kurasakan tatapan mata Caden jatuh di sekuntum forget-me-not yang ia selipkan di telingaku. “Aku tidak mungkin melupakanmu,” katanya. Hei, maksudku bukan aku yang harus kauingat! Tapi, hal-hal yang baik. Bukan aku! Demi menghilangkan kecanggungan aku pun pura-pura batuk. Setelahnya Caden mengantarku kembali ke kamar. Semoga rencanaku benar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN