“Gue bayar, tapi gue anterin lu juga sampe rumah,” ujarnya kekeh.
“Nggak perlu. Gue bisa jalan sendiri. Yang luka tangan gue.”
“Kalau begitu jangan harap gue bayar.” Nicholas melipat tangan di d**a, lalu bersandara pada sofa dengan gerakan santai tetapi sorot mata itu menegaskan ia tidak akan mengubah ucapannya.
Namun, Alice juga tidak mau kalah. Ia kembali duduk. “Gue juga nggak akan pergi kalau begitu,”
Alice bertekad akan menunggu di sini hingga pemilik rumah pulang dan memberikan bayaran. Alice mungkin akan terkena omel oleh ibu panti karena pulang terlambat, itu lebih mudah karena Alice bisa beralasan jika dirinya tersesat atau apapun itu. Omelan ibu panti tidak akan bertahan dua hari dari pada ia harus pulang dengan seorang lelaki. Itu akan menjadi lebih dari sekedar omelan. Melainkan teguran keras karena berani membawa seorang lelaki ke panti.
Dan hari itu menjadi tidak terlupakan karena pada akhirnya Alice dan Nicholas yang sama-sama keras kepala itu berakhir dengan Nicholas yang mengantarkannya cukup sampai di Pom Bensin tempat mereka pertama kali bertemu. Alice remaja berjalan dengan tangan terluka menuju ke rumah atau lebih tepatnya ke panti asuhan sambil terus menggumamkan kata bodoh untuk diri sendiri karena telah menolak tawaran Nicholas.
Seharusnya ia meminta Nicholas untuk mengantarnya lebih jauh lagi, meski memang kakinya yang berjalan tapi kini tangannya mulai terasa sakit.
“Bu Amira pasti bakal kaget liat luka ini.” Alice menatap luka di tangannya.
Sekarang ia harus memikirkan bagaimana cara menyembunyikan luka tersebut agar tidak terlihat oleh ibu panti. Akan tetapi sepanjang perjalanan pulang itu lah benaknya terus mengingat sosok lelaki tadi, Nicholas. Nama lelaki itu terdengar keren, wajahnya juga tampan, belum lagi aroma yang seolah masih tertinggal diujung hidung Alice, begitu harum.
Secepat itu bayangan Nicholas hadir, secepat itu pula lah Alice sadar diri. Tidak sepatutnya ia berdebar hanya karena perlakuan lelaki itu. Akan tetapi jujur … ia memang tidak pernah bertemu dengan lelaki tampan dan juga sebaik Nicholas sebelumnya. Semua lelaki yang ia kenal jauh dari kata tersebut. Tidak dengan ayah kandungnya, tidak pula ayah tirinya, dan tidak juga kakak tiri lelakinya.
Bagi Alice, semua lelaki itu b******k, setidaknya sampai hari. Sampai ia bertemu dengan Nicholas. Namun, hal itu juga membuat hatinya ragu. Benarkah masih ada lelaki baik di dunia ini? atau sesungguhnya ia hanya belum mengenal Nicholas saja. Bukan kah ayah tirinya juga begitu baik sebelum resmi menikahi ibunya?
Alice memukul kepalanya sendiri. Ia sadar tidak memiliki waktu untuk memikirkah hal-hal tidak berguna. Keinginannya saat ini hanya lah menjadi kaya raya. Setelah kembali ke panti tempat ia tinggal, Alice bersyukur karena Bu Amira tidak berada di tempat. Sehingga Alice hanya perlu untuk segera mandi lalu masuk kamar sampai waktu menejlang makan malam tiba.
Di kamar yang mungkin hanya berukuran lima kali empat meter persegi itu, tentu bukan hanya kamar miliknya sendiri. Tidak ada yang mempunyai kamar tidur pribadi di sini. ruangan yang Alice sebut sebagai kamar itu juga di tempati oleh Dian yang tadi menitipkan kue pesanana padanya, Mika—anak perempuan berusia tujuh tahun, dan Citra—si manis yang kini tertidur pulas di ranjangnya.
“Alice….”
“Alice, bangun sayang.” Sebuah goncangan lembut mengusik tidur Alice.
“Alice.” Kemudian disusul sebuah elusan pada kakinya.
Alice segera membuka mata, duduk tegak lalu berdiri menjauh dari ranjang. Napasnya berderu cepat dengan kedua tangan memeluk diri sendiri. Sorot matanya jelas menyiratkan rasa takut yang mendalam. Sementara Bu Amira yang membangunkannya menatap Alice dengan tatapan bingung.
“Alice, kamu kenapa? Kamu nggak apa-apa?”
Keringat dingin merembes keluar dari seluruh tubuh gadis itu, kepalanya menggeleng cepat dan panik. Sampai kemudian dia melihat ruangan sekitar dan menyadari bahwa ia berada di kamar panti. Napasnya mulai tenang, tapi degupan jantungnya masih tidak beraturan mengingat mimpi itu lagi. Alice yang semula berdiri kemudian merosot duduk di sudut kamar, memeluk lututnya yang lemas dan membenamkan wajahnya di sana.
Sementara Amira yang sudah tidak asing dengan trauma yang dimiliki Alice pun akhirnya hanya menghela napas pasrah, kasihan terhadap gadis muda itu tapi ia sendiri tidak memiliki kemampuan untuk mengobatinya. Hingga akhirnya Amira memilih menghampiri untuk memeluk Alice, berharap sedikit hal yang bisa ia lakukan ini bisa menenangkannya.
“Nggak apa-apa. Ada Ibu di sini. Kamu aman,” bisik Amira. Hatinya ikut tersayat mendengar isak tangis Alice yang berusaha diredamnya sendiri.
“Kalau kamu masih lelah, tidur lagi saja. Tidak perlu masuk sekolah hari ini, kamu boleh seharian di kamar.”
Kemudian Bu Amira pun menutup pintu, sedangkan adik-adiknya yang lain telah bangun lebih dulu entah sejak kapan. Memberikan waktu bagi Alice untuk menangkan diri.
*****
Alice dewasa membuka mata, ia masih berada di ruangannya di atas sofabed yang sama. Kini ia tidak sepanik dulu meski terkadang rasa takut itu masih membuatnya berdebar gelisah. Namun, hidup dan tumbuh bersama dengan trauma membuat Alice semakin kuat. Wanita tersebut membuka pintu, melapisi nightrobe-nya dengan jubah untuk kemudian berjalan menuju dapur. Didapatinya Rafael telah menyiapkan sarapan dengan wajah sumringah.
“Selamat pagi,” sapa sang suami.
Rafael telah mengenakan kemeja dengan lengan tergulung, celana hitam yang licin sementara dasi dan jas miliknya masih terlampir rapi di sofa.
“Aku bangun kesiangan, jadi aku hanya menyiapkan sarapan ini.” Rafael menyodorkan sepiring roti lapis yang telah terpanggang dan diisi telor, keju dan beberapa lembar selada pada Alice yang baru saja duduk. “Aku senang kau sudah bangun, jadi rotinya masih hangat.”
Kemudian sutradara kondang tersebut ikut mengambil tempat duduk di ujung sebagaimana tempat biasanya. “Aku tidak sampai hati ingin membangunkanmu. Ayo dimakan!”
Alice tidak menjawab atau mengatakan apapun, tapi ia mematuhi perintah tersebut dan melahap sarapan yang telah disiapkan Rafael.
“Hari ini aku ada meeting dengan penulis Fransisca Dara Vincent. Cerita dia yang berjudul Alvida mendapat banyak perhatian hingga banyak juga yang meminta untuk difilmkan. Akhir-akhir ini banyak sekali penulis-penulis baru yang mendapat perhatian karena karya mereka memiliki jutaan viewer, tapi kalau boleh jujur sedikit sekali cerita viral yang berkualitas. Belum lagi harus ada pembaruan plot agar penonton tidak bosan karena telah mengetahui jalan ceritanya.” Rafael bercerita tentang rencananya hari ini. Sementara Alice mendengarkan dalam diam sambil mengunyah roti isi dan diakhiri dengan menimun jus buah yang juga dibuatkan oleh Rafael.
“Mungkin beberapa minggu ke depan aku juga akan lebih sibuk karena katanya si penulis sendiri memiliki kriteria khusus untuk pemeran dalam project ini.” Rafael telah menyelesaikan sarapannya. Ia berjalan menuju sofa, mengambil jas dan mengenakannya untuk kemudian kembali ke meja makan memberikan satu kecupan di kening Alice. “Aku berangkat dulu.”
Ketika Rafael baru berjalan beberapa langkah, lelaki itu berbalik masih dengan senyuman manis. “Oh iya, aku juga sudah bilang pada mami untuk tidak datang dalam waktu dekat karena garapan film terbaru ini. Kau bisa menambahkan alasan lain jika memang perlu. Aku pergi.”
Alice menyadari jika yang dilakukan Rafael karena memang Alice masih tidak nyaman dengan keberadaan ibunya saat berkunjung. Namun Alice tidak terlalu peduli. Wanita tersebut mencari ponselnya untuk melihat banyak pesan yang masuk. Salah satunya dari nomor tidak dikenal. Akan tetapi Alice tidak berniat membuka pesan dari orang yang ia tidak kenal. Alih-alih penasaran, wanita itu justru langsung menghapus pesan tersebut dan beralih menghubungi salah seorang penjaga butik yang biasa ia datangi untuk meminta waktu agar mengosongkan tempat seperti biasa setiap kali Alice datang untuk membeli pakaian di sana sebagai pelanggan vvip.
*****
Mobil matic milik Alice telah berhenti dengan sempurna di depan butik langganannya. Hari ini cuaca begitu terik. Alice hanya mengenakan setelan tanpa lengan berwarna jingga dengan rok celana cokolat muda dan sabuk kecil hitam yang semakin mempertegas pinggang rampingnya. Tidak ketinggalan stiletto hitam setinggi 13cm. Alice mendorog pintu kaca utama, kaki jenjangnya melenggang masuk, menimbulkan bunyi ketukan pada lantai yang dilapisi granit.
Udara dingin dari air conditioner menerpa Alice seketika, rambut yang diikat satu dan dicurly ujungnya bergerak mengikuti kepala Alice menengok kanan kiri untuk mencari karyawan butik.
“Nit—” panggilan Alice tersendat ketika sebuah tangan dari arah tak terduga membekap mulutnya dan menarik Alice.
Wanita itu nyaris menjerit terlebih saat ia merasakan tubuhnya terdorong ke dinding sampai pemilik tangan yang menyeretnya itu menampakan wajah yang tak asing.
“Selamat siang, my sweetheart.”
“Sam,” ujar Alice tatkala mulutnya tak lagi ditutup. “Kenapa kau ada di sini?”
“Aku harus kemana lagi?” Samuel mengerang frustasi. “Kau memblokir pesan dan panggilanku. Sementara aku merasa tidak tenang karena merindukanmu.”
“Jangan bercanda, kita baru bertemu kemarin.”
“Tapi kau tahu bukan aku tidak bisa jauh darimu terlalu lama. Terlebih….” Samuel menghimpit tubuh Alice, tangannya mulai hinggap dipinggang Alice dan merangkul secara posesif. “Pertemuan terakhir kita membuatku tidak tenang.”
Napas Samuel berembus ke wajah Alice. Bibir lelaki itu mulai menelusuri lehernya. “Aku suka aroma parfummu.”
Tangan kekar Samuel dengan mudah mengangkat tubuh mungil Alice ke atas meja kecil di sudut ruangan. Telapaknya yang besar mengelus paha lembut Alice yang terbuka. Sementara bibir keduanya telah bertaut. Tidak sulit bagi Alice untuk mengetahui betapa cepat hasrat Samuel bangkit dengan cumbuan lelaki itu yang semakin liar dan menuntut. Alice memejamkan mata, harus ia akui Samuel adalah pemain paling handal. Caranya membuai Alice begitu intim dan seringnya membuat ia lupa akan kondisi dan lokasi mereka saat ini hingga sebuah suara membuat Alice yang nyaris tenggelam oleh pemujaan Samuel kembali tersadar.
“Ibu Alice.”
*****
To Be Continue....
Komen dong!