Jemari lentik milik Alice tengah membuka satu persatu perhiasan yang menempel. Mulai dari anting, kalung, hingga cincin berlian, lalu menggerai rambut yang sebelumnya ia tata untuk pesta. Alice dan Rafael sudah kembali sekitar tiga puluh menit yang lalu dari pesta keluarga Bagaskara. Rafael sendiri tengah membersihkan diri di kamar mandi.
Embusan napas panjang dihela oleh Alice. Pantulan wajah di cermin itu menyiratkan kekosongan, kehampaan. Pikiran wanita tersebut masih mengembara ke masa lalu, saat-saat Nicholas menghujaninya dengan kasih sayang dan perhatian. Bagaimana Nicholas yang selalu melindunginya dari orang-orang jahat. Bagaimana Nicholas menyetujui permintaannya untuk menyembunyikan hubungan mereka pasca karir Alice baru saja melonjak, dan terakhir bagaimana lelaki itu masih mendoakan serta berharap Alice bahagia dengan lelaki yang mampu mencintai serta menjaganya.
Sudah berjalan tiga tahun lebih Alice menikah dengan seorang Sutradara kondang Rafael Prawira, tetapi tidak ada sedikitpun benih-benih cinta yang bertunas di hatinya untuk pria yang sudah sah menjadi suaminya tersebut. Bahkan tanpa sepengetahuan Rafael, Alice selalu mengkonsumsi pil kontrasepsi karena tidka berniat hamil. Ia sendiri tidak mengerti kenapa ia berakhir dengan menikahi orang ini, padahal jelas-jelas dia sudah diperingatkan agar tidak menikahi orang yang tidak ia cintai.
Akan tetapi mau bagaimana lagi, orang yang menasehatinya sekaligus orang yang tidak bisa ia lupakan itu adalah satu-satunya lelaki yang paling baik. Nicholas Arka Bagaskara, yang kini sudah mempunyai anak dan hidup bahagia dengan Celine. Sedangkan dirinya masih tenggelam di telaga bernama masa lalu. Yang mana ia sendiri merasa tidak ingin keluar dari sana.
“Lusa mami akan datang mengunjungi kita.”
Rafael muncul dari balik kamar mandi dengan jubah handuk putih menutupi tubuhnya. Rambut lelaki itu basah. “Katanya ada yang ingin dia bicarakan tentang kita.”
“Apa yang akan menjadi alasanmu kali ini?” Alice balik bertanya.
Alice sudah bisa menebak hal apa yang akan dibahas mertuanya tersebut. Tidak lain dan tidak bukan tentu saja perkara momongan. Setiap kali Martha—ibu Rafael—membahasnya, Alice akan selalu menghindar. Tak jarang keduanya beradu argument. Hebatnya, Rafael selalu menyikapi segala tingkah Alice dengan sabar. Lelaki itu akan menjadi penengah antara dirinya dan ibu mertua.
“Haruskah kita menginap di hotel untuk beberapa hari?”
Rafael mendekati Alice yang masih duduk dengan tenang di depan meja rias, lalu ia mencondongkan tubuhnya untuk berbisik di telinga Alice. “Lalu aku akan membuat beberapa jejak yang bisa Mami lihat.”
Mata cokelat Alice menatap langsung pada netra kelam milik suaminya dengan penuh pertimbangan, lalu mengalungkan kedua lengannya di leher lelaki itu dan turut berbisik, “Kalau begitu kau harus menunggu karena aku perlu membersihkan diri.”
“Tentu,” sahut Rafael.
Di mata orang lain, Rafael mungkin tidak memiliki kekurangan. Tampan, terkenal, kaya, dan Alice tidak menyangkalnya. Namun, satu kekurangan Rafael bagi Alice, dia tidak memiliki hatinya. Rafael tidka memiliki hati Alice. Begitu juga dengan Samuel.
Air hangat mengalir dari pancuran, uap mengepul membasahi sekat kaca. Alice berdiri di bawah sana dengan mata terpejam, meresapi bagaimana rintik-rintik air menimpa kulitnya. Bukan salah Rafael, bukan juga salah Samuel jika mereka tak bisa mendapatkan hatinya. Tetapi memang Alice yang tidak berniat memberikan pada orang lain. Seumur hidupnya, dari sekian banyak lelaki yang Alice kenal. Tidak ada yang sebaik Nicholas dan salahkah jika ia—yang bukan wanita baik-baik tetap menginginkan lelaki yang baik.
*****
Sepuluh tahun lalu….
Seragam putih abu-abu milik Alice terlindas oleh ban motor hingga jejaknya melintang jelas dan hitam. Alice yang kala itu masih berusia lima belas tahun menatap dengan mulut terbuka. Ia menatap sekeliling dan menemukan segerombolan teman sekolahnya sednag terkikik dari kejauhan. Mereka adalah Brenda, Lucy, dan Nita. Entah bagaimana tiga anak itu mengikutinya ke pom bensin. Alice tidak sedang bekerja di sana, usia dan ijazah yang ia miliki belum cukup. Keberadaannya di sana untuk menumpang ke toilet. Setelah pulang sekolah, ia akan mengantar dagangan ibu panti. Alice menggeram kesal, tetapi kemudian hanya berakhir dengan membuang napas. Mencoba merajut sabar sambil memungut kembali seragamnya yang kotor.
Jangan hiraukan mereka.
“Apa tidak apa-apa?” Seorang pengguna motor menghampirinya.
Alice tidak dapat melihat wajah itu dengan jelas karena helm yang menutupi kepala kecuali kaca yang dibuka. Mata orang tersebut berkedip, menunggu jawaban Alice. Jika menilik dari penampilan, motor besar, helm yang mengkilat, tas sekolah dengan logo centang juga sepatu merk yang sama. Belum lagi dari balik jaket off-white Alice bisa melihat sebaris nama dan juga logo sekolah yang tertera di seragamnya, jangan lupakan aroma tubuh yang wangi, membuat Alice menyadari jika lelaki di hadapannya ini merupakan siswa dari sekolah swasta yang Alice tahu biaya bulanannya bisa setara dengan tiga bulan biaya dapur dan makan anak-anak panti.
“Nggak pa-pa.” Alice menggeleng kecil. Jangan berurusan dengannya Alice!
Jangan berurusan dengan orang-orang kaya! kita tidak akan pernah menang sekalipun mereka yang salah. Sebaris kalimat itu selalu dilontarakan Ibu Iis sebagai peringatan.
“Bener, lu nggak apa-apa?” tanya lelaki itu lagi dan Alice kembali menggeleng sebagi jawaban. “Tapi bukannya ini seragam elo kan?”
“Aku bisa cuci di rumah.”
“Gimana kalau gue ganti? Gue beliin seragam baru,” tawarnya.
Alice ingin sekali mengangguk mengingat seragamnya sudah tipis dan beberapa kali ibu Iis juga menawarkan hal yang sama karena menurut Ibu Iis, ia sudah berulang kali memergoki lelaki yang menatap Alice karena seragamnya yang bisa dibilang menerawang. Akan tetapi ia tidak bisa meninggalkan kue jualannya di sini.
“Woy, Nick! Lu lagi ngapain di situ? Buruan!” Alice menoleh dan pemuda yang seumuran dengan mereka yang juga mengenakan seragam yang sama dengan lelaki bernama Nick ini berteriak ujung sana, bersama dengan dua teman lain. Sepertinya mereka baru selesai mengisi bensin dan berniat melanjutkan perjalanan.
“Iya,” sahut Nick. Kemudian beralih pada Alice. “Oke, kalau emang nggak perlu gue jalan lagi. Sekali lagi sorry tentang seragam lu.”
Nick kembali menyalakan motornya.
Begitu saja. Alice memandangi punggung Nick yang semakin menjauh, sedangkan aroma lelaki itu masih tertinggal.
Minyak wangi mahal emang beda, gerutu Alice dalam hati.
Sekarang Alice harus segera mengantarkan pesanan kuenya, lalu secepat mungkin kembali ke panti sebelum noda di seragamnya itu mengering dan semakin sulit dihilangkan.
*****
Biasanya Alice remaja menggunakan sepeda untuk mengantar kue jualan Ibu Iis, tapi dua hari lalu sepedanya rusak. Bannya bocor dan tidak bisa lagi ditambal. Menurut tukang bengkel harus diganti. Begitu juga keranjang depan yang sadah mulai goyang akibat baut yang hilang. Maka Alice memilih untuk berjalan kaki, toh rumah Ibu Mila tidak terlalu jauh dari sekolahnya mungkin sekitar setengah kilometer mungkin.
Ketika ia pulang sekolah tadi, ia bertemu dengan Dian. Salah satu anak panti juga yang lebih muda dari Alice. Usianya sekitar 13 tahun dan ia masih duduk di sekolah menengah pertama. Seharusnya Dian lah yang mengantar kue ini, akan tetapi di jalan mereka bertemu dan Dian berkata ia harus segera kerja kelompok. Untuk itulah Alice menggantikannya.
“Permisi,” teriak Alice dari depan pagar besi berwarna putih dengan matahari sore yang menyorot ke arahnya.
Sekali lagi Alice memeriksa alamat yang tertera dan ia merasa yakin memang ini lah alamat yang benar. Rumah dengan kaca besar hitam, taman kecil yang memiliki ayuan, juga deretan motor yang berjejer di lahan parkir. Bukan rumah mewah bertingkat-tingkat seperti yang sering Alice lihat di televisi, tapi tentu cukup besar dibanding Alice yang tinggal satu atap dengan empat puluhan anak panti.
“Permisi saya da—”
Pintu akhirnya terbuka. Seorang pemuda dengan kaos oblong dan celana pendek colekat bergaris muncul sambil menggaruk rambut. “Siapa ya?”
“Saya mau mengantar kue pesanan Bu Mila,” ujar Alice.
“Oh, masuk sini.” Pemuda itu berjalan lagi ke arah pintu lalu berteriak, “Dit, Radit! Nyokap lu pesen kue katanya nih.”
Lalu kembali menoleh ke arah Alice. “Bentar ya, Bu. Yang punya rumahnya di dalem.”
Alice mengerjap beerapa kali untuk menimbang penampilannya sendiri. Melalui kaca hitam rumah itu, Alice masih mengenakan sepatu sekolah juga menggendong tas ransel buluk, ia juga masih menggunakan rok abu-abu meski kaos yang ia pakai warnanya telah pudar tapi ia yakin dirinya belum termasuk ibu-ibu.
“Radit!”
Melalui kaca jendela yang gelap di depannya Alice bisa melihat ada beberapa orang di luar pagar mengenakan helm juga, satu dari mereka turun lalu melempar batu bata.
“Awas!” jerit Alice disusul bunyi pecahan kaca.
Alice menoleh dan mendapati gereombolan orang di laur sana termasauk pelaku melarikan diri secepat mungkin. Jantung Alice berdebar kencang. Yang tadi itu sangat berbahaya dan hampir saja mengenai pemuda bercelana cokelat itu.
Suara gaduh menghampiri mereka dari dalam rumah.
“Apaan tuh tadi?”
“Raka lu nggak apa-apa?”
“Buset, kaca jendela pecah, abis gue diomelin nyokap gue ini sih.”
“Kampret! Pasti si Bima nih kerjaannya.”
Semua pemuda itu mengkhawatirkan temannya. sementara Alice masih terbengong-bengong oleh karena terkejut lantaran baru kali ini melihat kejadian berbahaya seperti tadi, sampai seseorang menghampirinya.
“Hei, lu nggak pa—tangan lu berdarah.”
Alice menoleh ke tangannya yang tak terasa sakit, tapi memang benar, darah mengalir dari luka gores di sana. Mungkin karena tadi ia terjatuh saa berusaha mendorong pemuda tadi hingga lengannya terkena pecahan kaca.
“Radit lu punya P3K kan?”
Aroma ini. Alice menoleh pada lelaki yang memegangi tangannya.
“Ada, Nick! Bentar-bentar gue ambilin.”
*****
To Be Continue….
Halo Dreamer!
Masih adakah yang menanti kisah ini?
Jika ada, jangan lupa tekan bintang dan tinggalkan komentar. Biar aku tahu, seberapa semangat kalian menantikan kisah ini. terima kasih.