bab. 1 Pernikahan Yang Gak Di Inginkan
Bab 1 – Pernikahan yang Tidak Diinginkan
Langit sore itu seolah ikut berduka. Awan kelabu menggantung berat di atas gedung mewah milik keluarga Mauria, sementara angin berhembus lembut membawa aroma bunga lili yang memenuhi aula besar. Semua orang berdiri dalam diam, menyaksikan momen yang seharusnya menjadi bahagia, namun di balik senyum dan gaun putih yang sederhana, tersimpan luka yang terlalu dalam untuk diucapkan.
Devandra Mauria, pria berusia tiga puluh dua tahun, berdiri tegap di depan altar dengan wajah dingin yang bahkan tak bisa ditembus oleh cahaya. Jas hitam mahal membalut tubuhnya dengan sempurna, mencerminkan sosok seorang CEO yang dikenal kejam, disiplin, dan arogan di mata publik. Namun hari itu, ketegasannya tampak rapuh di balik pandangan matanya yang tajam, karena di sampingnya berdiri seorang gadis muda dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca.
Ellysa Wicaksono.
Gadis itu hanya berusia delapan belas tahun. Tubuhnya mungil, jemarinya gemetar memegang buket bunga mawar putih yang tampak terlalu besar di tangannya. Gaun yang ia kenakan sederhana, tampak kontras dengan kemewahan ruangan tempat ia berdiri. Pandangannya sesekali mencuri arah ke pria di sampingnya, pria yang kini resmi menjadi suaminya, meski tidak dengan keinginan sendiri.
Suara pendeta bergema pelan.
“Dengan ini, aku nyatakan kalian suami dan istri. Apa pun yang terjadi, jagalah satu sama lain, dalam suka dan duka…” ucap sang pendeta dengan tegas
Suara itu lenyap di telinga Devan. Yang ia rasakan hanyalah perih yang menghantam dadanya. Di kepalanya masih terngiang wajah kekasihnya, Aveline, wanita dewasa yang selama ini menemaninya meniti karier, yang seharusnya menjadi pengantinnya hari ini. Tapi takdir mengubah segalanya.
Tiga minggu lalu, dunia Devandra Mauria hampir runtuh.
Malam itu, ia diserang oleh sekelompok orang bersenjata di area proyek perusahaannya di pinggiran kota. Mobilnya dihujani peluru, dan dalam kepanikan itu, dua orang yang paling ia percayai datang menyelamatkannya, Pak Wicaksono dan Ibu Mirna, pasangan yang telah lama bekerja untuk keluarga Mauria, Mereka membawa Devan keluar dari lokasi, melindunginya dengan tubuh mereka sendiri.
Namun, mereka tak selamat.
Pak Wicaksono tewas seketika akibat tembakan di d**a, sementara Ibu Mirna meninggal di rumah sakit beberapa jam kemudian. Keduanya meninggalkan seorang anak tunggal, Ellysa.
Ketika Devan sadar dari pingsannya di rumah sakit, yang pertama ia lihat adalah wajah pucat Ellysa yang duduk di samping ranjangnya, menatapnya dengan mata sembab.
“Papa dan Mama… meninggal karena melindungimu, Tuan Devan…” katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Kalimat itu menghantam Devan lebih keras dari peluru mana pun.
Ia berhutang nyawa, bukan hanya kepada mereka yang sudah tiada, tapi juga kepada gadis yang kini sendirian di dunia.
Beberapa hari kemudian, ayah Devan, Tuan Mauria, memutuskan sesuatu yang mengejutkan.
“Devan, kau akan menikahi Ellysa,” ucapnya tegas di ruang kerja besar keluarga mereka.
Devan menatap ayahnya tak percaya. “Apa? dady, itu gila! Dia masih… anak-anak!” sengak Devan tidak percaya dengan apa yang harus saja iamfitriana dengar
“Dia sudah delapan belas.tahun, Dan dia anak dari orang yang menyelamatkan hidupmu. Kau berhutang, Devandra.” ucap tuan Mauria dengan tegas
“Berhutang bukan berarti harus menikah!” Devan membalas, suaranya meninggi.
“Aku punya Aveline! Kami berencana menikah bulan depan!” ucap Devan frustasi
Namun sang ayah menatapnya tajam. “Kalau begitu, batalkan. Aku tidak ingin keluarga Wicaksono meninggal tanpa meninggalkan warisan yang layak untuk anak mereka. Kau satu-satunya yang bisa memastikan dia hidup layak dan terlindungi.” ucap tuan besar Mauria
Devan mengepalkan tangan, rahangnya menegang. Ia ingin melawan, tapi di sisi lain, rasa bersalah menghantamnya berkali-kali setiap kali ia mengingat malam berdarah itu.
Dan begitulah, tanpa cinta, tanpa restu hatinya sendiri, ia berdiri di hadapan altar hari ini, menikahi Ellysa Wicaksono, gadis yatim piatu yang tak pernah memintanya untuk menebus apa pun.
Beberapa jam setelah upacara usai, kediaman Mauria, kembali sunyi. Ellysa duduk di tepi ranjang besar di kamar pengantin, menatap jendela yang menampakkan hujan turun perlahan. Gaunnya masih ia kenakan, ia tak tahu harus berbuat apa. Hatinya penuh dengan ketakutan.
Pintu kamar terbuka, dan Devan masuk dengan langkah berat. Jasnya sudah dilepas, dasinya longgar, namun tatapannya tetap tajam seperti biasanya. Ia berhenti beberapa meter di depan gadis itu.
“Kau tidak perlu takut,” katanya pelan, tapi nada suaranya datar.
“Aku tidak akan menyentuhmu.” ucap Devan dengan datar
Ellysa menunduk, jemarinya menggenggam kain roknya erat.
“Terima kasih, Tuan Devan…” ucap Elisa dengan pelan
“Dan satu hal lagi,” lanjut pria itu, kali ini lebih dingin. “Pernikahan ini hanya formalitas. Aku tidak akan memaksakan hubungan apa pun. Kau akan tinggal di sini, dapat fasilitas seperti anggota keluarga, tapi… jangan berharap lebih.”
Kata-kata itu menusuk hati Ellysa. Tapi ia menelan semuanya dalam diam.
“Aku mengerti, Tuan…”
Devan mengalihkan pandangannya, berusaha menekan rasa bersalah yang terus menghantui. Bagi dunia luar, ia tampak sebagai suami dingin yang menikah karena belas kasihan, tapi hanya dia yang tahu betapa hancurnya hatinya sendiri.
Aveline pergi tanpa pesan. Begitu berita pernikahannya tersebar di media, wanita itu memblokir semua kontaknya. Devan kehilangan cinta dan kebebasan dalam waktu bersamaan.
Namun, malam itu, saat ia hendak keluar dari kamar, suara lembut Ellysa menghentikannya.
“Tuan Devan…”
Ia menoleh... namun tanpa menatap gadis itu
“Terima kasih… karena tidak membiarkan aku sendirian,” ucap gadis itu dengan mata yang berkaca.
“Papa dan Mama selalu bilang… kau orang baik, hanya saja terlalu keras pada dirimu sendiri.” ucap Ellisa dengan pelanggan dan menunduk
Devan terdiam lama. Kata-kata itu menyentuh sesuatu di dalam dirinya, sebuah luka lama yang nyaris ia lupakan. Ia menatap gadis itu sejenak, kemudian menghela napas panjang.
“Tidurlah. Mulai besok, kau akan ikut pelatihan etika keluarga Mauria. Aku tidak ingin ada yang menilai kita lemah.” ucapnya datar
Ellysa hanya mengangguk, meski hatinya terasa perih.
Ketika pintu tertutup kembali, ia membiarkan air matanya jatuh untuk pertama kalinya sejak hari kematian orang tuanya. Di luar sana, hujan turun semakin deras, seperti ikut menangisi nasib dua jiwa yang kini terikat dalam pernikahan tanpa cinta.
Namun takdir baru saja menulis bab pertamanya.
Dan tanpa mereka sadari, pernikahan yang lahir dari hutang nyawa itu akan mengubah segalanya, antara rasa benci, penyesalan, dan cinta yang perlahan tumbuh di tempat paling tak terduga.