Part 2

1289 Kata
Malam ini aku sedang berbaring dikamar sembari memainkan ponsel pintarku. Setelah pulang tadi, aku bergegas untuk mandi lalu menyiapkan peralatan yang dibawa ke sekolah untuk hari esok. Tiba-tiba sebuah notifikasi membuatku mengernyitkan dahi.   You are invited by Vella to join X DG E. (20:00) Dengan cepat aku segera menekan tombol persetujuan untuk bergabung. Hi, salken semua. Kata seseorang dengan username Cece. Iy, Slkn jg. Sent! Aku memberanikan diri untuk mengirimkan pesan. Cara mengetikku memang sesingkat itu, bahkan saudaraku tidak jarang juga bertanya apa maksud dari kalimatku ketika sedang berbalas pesan denganku. Hai Sya, salken, ini anak tadi diem aja njir udah gitu mukanya jutek juga wkwkwk. Aku tersenyum membaca pesan dari Dira tentang bagaimana penilaiannya padaku. Ahahahah mka w emg gn Dir. Kataku, hingga tak lama sebuah balasan datang. Hah? Lu ngetik apaan Sya. Itu bukan Dira melainkan Vino. Muka gue emang gini, sorry ye daritadi diem aja soalnya gue gabiasa buka topik obrolan kalo ngmong lngsung. Kataku menjelaskan.     Oyy Sya, Addbck. Akun dengan uname @Alienxxd itu mencoba mengirimiku pesan. Aku bisa menebak dia siapa. Veron, lelaki tengil itu yang mengirimiku pesan. Hingga dia juga memasukkan aku kedalam grup khusus yang isinya aku, Veron, Aksa, Delvan, Aldo, juga Wavi. Malam itu rasanya malam terbaik yang aku lalui. Malam yang membuatku sadar bahwa  ternyata berteman dengan lawan jenis tidak semenyeramkan itu. Tidak semua lelaki sama buruknya, namun entahlah kita tidak pernah tau hari esok kan? Sekali lagi, keraguan hinggap dalam benakku, membuatku kembali memikirkan banyak hal yang belum tentu akan terjadi.   Aku berjalan menuju Labana seorang diri. Melewati koridor sekolah yang belum terlalu ramai, sembari mendengarkan musik pagi. Setidaknya untuk merelaksasikan fikiranku sebelum memulai hari ini. “Oyy Sya,” Kata Delvan mengagetkanku. Masih pagi dia sudah membuatku sebal? Oh ayolah jangan biarkan pagiku berantakan tuhan. “gimana semalam? Mimpiin gue nggak?,” Kata Delvan diiringi dengan tawanya. Ini akibat percakapan semalam, ketika beberapa dari mereka terus saja menggodaku. ‘Sya, nikah yuk’, ‘aku masih sekolah kak,’ ‘yaudah nanti aja kalau udah pulang,’. Salah satu candaan yang mereka buat, membuat ku menyunggingkan sebuah tawa. Entahlah apa yang lucu, namun rasanya baru kali ini aku tersenyum kembali. “Apasih ih nyebelin,” Kata ku diiringi dengan sebal. “Ahahah, udahlah Sya, lo itu gak cocok jadi cuek, apalagi kalem, lo itu cocoknya jadi calon makmum gue,” Tuhkan lihat saja, ini bahkan masih pagi tetapi Delvan sudah mengeluarkan kerecehannya. “Ih anjir yang dibahas apa, nyampenya kemana, masih pagi Van, dasar,” Ucapku pada delvan “Gapapa kali Sya, ketawa pagi-pagi bikin sehat,” Jawab Delvan. “Eh jangan deh Sya, jangan ketawa, soalnya, tawamu canduku,” Lanjutnya, diiringi dengan tawa membuatku ingin muntah. “delvann masih pagi anjir udah ih capek ketawa ini,” Kataku, dengan nada sebal, namun tawa tidak pernah luput dari wajahku.   Aku bersyukur saudaraku menyuruhku mengambil jurusan ini karena nyatanya, teman teman baruku sangat asik. Ternyata benar, tidak semua ekspetasi menyeramkan yang ada dalam kepalaku benar-benar terjadi, itu hanyalah sebuah ketakutan yang mencoba menggangguku, membuatku lebih takut untuk melangkah maju. Aku terlalu nyaman dalam duniaku sehingga takut untuk mencoba circle baru yang lebih menantang. Karena ketidak inginan ‘ribet’ itu lah yang membuatku stuck, tanpa ada perubahan apapun. Aku terlalu takut menanggung hal-hal buruk yang ada dalam ekspetasiku. Padahal, mbak Cici sering mengatakan “itu hanyalah mimpi buruk yang perlu kamu lupakan Sya,” Ya namun, aku tetaplah aku, seorang perempuan cuek yang jarang mendengarkan omongan orang. Hemm istilahnya, masuk telinga kanan, dan keluar telinga kiri. Tak jarang saudara-saudaraku memarahiku karena terlalu bodo amat dengan keadaan. Jangan ditiru untuk sifatku yang satu ini ya, karena yang terlalu bodo amat bisa jadi awal untuk sebuah luka kan?.   Kesalahanku bermula dari sifat bodo amatku, sifat yang terlalu baik juga terlalu cuek, membiarkan banyak orang semena-mena terhadapku. Aku memang perempuan yang tidak bisa meluapkan emosi, sifat inilah yang membuat orang seringkali berbuat seenaknya, padahal kalau perlu diingat aku juga masih manusia yang memiliki hati nurani. Tak ada yang mau bukan, dimanfaatkan orang lain? Ya, itu adalah hal yang paling sering orang lain lakukan. Mereka tidak ingin di manfaatkan namun senantiasa memanfaatkan. Itulah manusia, senantiasa memberi kaca, namun lupa untuk berkaca, padahal memberi kaca kepada diri sendiri juga perlu di lakukan agar kita bisa memposisikan diri kita pula sebagai orang lain.       Kala itu adalah hari jum’at. Hari ini akan di adakan acara demo ekskul. Entahlah aku ingin mengikuti apa, aku bingung. Rasanya, tak ada minat dan bakat yang ada dalam diriku. Yaa aku memang gadis pemalas ketika ada acara seperti ini. “Sya, dipanggil tuh,” Kata Vella membuyarkan lamunanku. “hah, oh iya kenapa?” Kataku menoleh kesamping. Terlihat seorang senior membagikan sebuah brosur, aku menatapnya, sekarang aku tau aku akan mengikuti ekstrakulikuler apa.   “Jadi ikut ekskul apa Sya?” tanya Dira ketika kita akan pergi untuk makan. “Pustakawan Remaja,” jawabku. Pustakawan remaja memang jenis ekskul yang cocok untuk ku ikuti. Selain hobi membaca, aku juga bukan orang yang suka dengan keramaian, sebab pustakawan remaja hanya berada di perpustakaan. Tempat ternyaman yang paling aku sukai.   “Aww,” teriakku ketika seseorang tiba tiba menabrakku. Aku jatuh terduduk dilantai. Entahlah aku tidak mengenal dia siapa, namun sebuah tangan tiba-tiba terulur, ingin membantuku berdiri, namun aku segera menolaknya. “Gausah caper bisa?” Katanya, membuatku mengernyitkan dahi. Aku mengabaikan perkataannya, bergegas untuk pergi, sebelum akhirnya “lo, cewe yang deket sama Veron itu kan?” Kata seorang cewek dengan gaya yang sedikit menyebalkan. “Iya, kenapa?” Kataku padanya. “Nggakpapa, kenalin gue Naysilla, lu bisa panggil gue Nay” Entahlah untuk apa tiba-tiba dia mengatakan itu padaku, namun aku hanya menanggapinya dengan “Ohh oke, gue Sya,”. “Hey, bisa nggak sih lo nggak usah caper?” Lelaki itu mengatakan dengan ekspresi yang terlihat begitu menyebalkan. Aku tidak menggubrisnya, jangankan menggubrisnya, untuk sekedar menoleh saja aku enggan. “Kalau di ajak ngomong itu nyaut, jangan bisa nya Cuma diem aja, lo bisu?” Katanya kembali. Aku menatapnya sebentar sebelum akhirnya “Udah?” Lantas aku ingin pergi meninggalkannya, namun dia menggenggam lenganku dengan erat. Tanpa terduga, dia menarik tubuhku kuat, membuat tubuhku terbentur dadanya. “Aww, d**a lo keras amat deh, makan apaan lo?” Tanyaku spontan, membuat beberapa orang tertawa kecil oleh kalimatku. “Kalo di ajak ngomong itu dibales, bukan seenaknya ditinggal pergi,” Kalimatnya membuatku menatapnya dengan tatapan sengit “harus banget emang gue ladenin?” ucapku sambil menarik lenganku yang sedari tadi di genggam olehnya. Aku berjalan dengan diam, mencoba mengendalikan segala emosi yang ingin ku keluarkan. Aku tau dia mencoba mengejarku, namun aku menghiraukannya memilih untuk menuju kelas dengan perasaan yang begitu sebal. “Sya, kenapa tadi nggak lo lawan aja?” Kata Disa, yang entah sejak kapan berada di sebelahku. “Buang-buang waktu, buang-buang tenaga,” Jawabku. “Anjir ih, lo tuh ya, gue heran deh Sya sama lo, lo dikatain caper tadi sama dia, tapi sabar aja sih Sya, Axel emang gitu omongannya pedes, tapi tetep ganteng sih,” lihat, bahkan setelah perlakuannya padaku, Disa masih saja memuji lelaki itu. “Axel siapa?” kataku kembali. “Axel, cowok tadi yang nabrak lo, nih ya bahkan dia aja nggak pernah ngajak ngobrol cewek lain selain Nay, most wantednya angkatan kita,” aku menghentikan langkahku, lantas menoleh menghadap Disa. “Udah Dis?” Disa mengangguk pertanda dia sudah selesai bicara. Lantas aku pergi meninggalkan dia, terlalu risih mendengar ocehan Disa tentang lelaki menyebalkan itu. “Ih, Syaa, kok lo ninggalin gue sih,” teriakan Disa masih terdengar, namun aku enggan menghentikan langkahku. Aku bergegas menuju kelas, ingin merileks kan fikiranku, yaa mungkin dengan sebuah musik, atau bisa juga satu cerita yang membuatku terbang dalam dunia imajinasi. Namun naas bel berbunyi, membuat niatku untuk merelaksasikan fikiran gagal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN