Kokokan ayam beradu keras dengan alarm yang berbunyi diatas nakas. Membuatku yang masih berada jauh dalam mimpi mau tak mau harus bangun.
Tahun ajaran baru, hari baru, sekolah baru, juga teman baru. Huhh payah, hampir setiap tahun aku menghadapi tahun ajaran baru dengan keadaan datar. Di awal tahun seperti ini, aku sudah bisa menebak kisahku selama setahun ini akan seperti apa. Pasti akan tetap saja datar.
Kata orang, masa SMA adalah masa yang paling ditungg-tunggu, masa yang penuh dengan cinta, juga masa dimana remaja mulai beranjak dewasa. Namun bagiku, masa sekolah adalah masa masa datar yang selalu menyebalkan. Setiap harinya hanya ada belajar, istirahat, juga tugas yang sungguh membosankan.
Aku segera bergegas untuk bersiap-siap menyambut hari. Menyambut datangnya mentari pagi, sekalipun ia tak pernah mengharapkan untuk disambut. Teriakan ibu terdengar menggema dari arah dapur, membuatku harus cepat-cepat bersiap. Alunan musik penyambut hari terdengar menggema dalam telingaku. Sebuah lagu dari Bruno Mars berjudul the lazy song. Satu satunya suara yang dapat mengalahkan suara penggorengan ibu, juga suara teriakan-teriakan dari arah dapur. Terlebih suara mbak Cici dan mbak Uyik yang sedang membantu ibu. Kedua kakakku itu memang lebih rajin dibandingkan denganku yang pemalas ini. Lihatlah, sebentar lagi mereka pasti akan meneriakiku. Menyuruhku untuk sarapan padahal aku sedang tidak ingin.
Aku adalah anak ke-enam dari enam bersaudara. Aku memiliki tiga abang, ketiganya memiliki sifat yang sama. Entahlah, entah aku yang tak terlalu dekat dengan mereka atau aku yang tak ingin tau tentang mereka, yang aku tau hanyalah abangku seseorang yang cuek. Namun, dibalik sifat cuek itu aku tau ada rasa sayang yang besar untukku. Mereka memang bukan tipe seorang abang seperti dalam cerita novel yang sering k****a, namun aku sangat bersyukur memiliki mereka. Aku juga memiliki dua kakak yang sungguh cerewet. Namun mereka sangat sering mengatakan “cerewetnya mbak itu karena mbak sayang ke kamu Syaa,” memang benar mereka menyayangiku, mereka selalu mendukung semua mimpiku. Memberikan aku banyak dukungan disaat aku hampir putus asa. Aku mungkin tak pernah cerita segala masalahku kepada saudaraku, namun mereka seolah tau ketika aku sedang berada dalam kesedihan.
Ayah dan ibuku sama-sama berasal dari jawa, maka jangan terkejut ketika aku memanggil saudara saudaraku dengan sebutan mas juga mbak. Aku memang terlahir di daerah ibu kota, namun tetap saja, adat dan istiadat jawa, tak pernah hilang di dalam keluargaku.
Jam menunjukkan pukul 06.00 membuatku segera turun kebawah, menemui seluruh keluargaku. “Mas, udah jam 6 pas ayo buruan berangkat,” Kataku sembari menyambar roti di meja makan, lalu meminum segelas s**u, juga mengambil bekalku.
Aku segera pamit ke ibuku ketika kulihat mas Anto berdiri meraih kunci mobil. Udara pagi ini berhembus pelan. Rasa sejuk yang ada seakan membawa sebuah ketenangan. Jejak tetesan embun masih terlihat dalam pot bunga didepan rumahku. Membuat bunga terlihat basah oleh tetesannya.
Alunan lagu flashlight dari Jessie J terdengar menggema dalam mobil. Memecahkan sebuah keheningan diantaranya.
Memang seperti ini ketika aku pergi bersama saudara lelakiku. Jalan bersamanya senantiasa menciptakan keheningan. Untungnya, aku sangat jarang jalan bersama mereka. Hanya ketika berangkat sekolah saja mereka bergantian mengantarku.
Mobil berhenti tepat didepan gerbang sekolahku. Membuatku segera pamit ke mas Anto. Lalu bergegas memasuki kelas. Sekolah masih belum terlalu ramai, lantas aku bergegas pergi ke hall, sembari memasang headset dalam telingaku, serta membuka ponsel pintarku. Membaca sebuah cerita dalam aplikasi oranye, seakan mengukir sebuah dunia yang hanya terlintas dalam kepalaku. Ya, aku memang menyukainya, membuat sebuah dunia yang tak pernah terlihat oleh mata, hanya terukir dalam kepala.
Kalau kalian mengira aku adalah murid SMA, maka jawabannya sungguh salah besar. Karena aku adalah murid SMK. Aku mengambil sebuah jurusan Desain Grafis. Jurusan yang aku tak pernah mengerti apa isinya. Yang pasti, adalah jurusan yang berkutat dengan sebuah gambaran. Lihatlah, saudaraku memang sungguh menyebalkan. Mereka menyuruhku mengmbil jurusan ini padahal aku tidak pandai dalam urusan menggambar. Memang ya, tidak semua impian harus di kabulkan, tidak semua hal yang menurut kita tak dapat kita lakukan, benar benar tidak bisa, karena nyatanya aku sudah membuktikan bahwa, tiada hal yang mustahil untuk dilakukan selama kita berusaha terlebih dahulu. Sisanya kita hanya perlu menyerahkan pada sang dalang dari cerita.
Tok tok tok.
Seseorang mengetuk meja dihadapanku membuatku mau tak mau harus menoleh. “Hm?” Kataku. “Boleh gue duduk disini?” Kata nya padaku. “Silahkan,” Jawabku sembari bergeser kesamping menciptakan sebuah jarak dengannya. Lalu aku kembali fokus pada cerita yang tadi k****a, berterbangan dalam imajinasi yang diciptakan oleh penulis hingga suara bel terdengar membuatku mau tak mau harus mengakhiri imajinasiku.
Peserta MPLS, segera menuju ke LABANA (Lapangan Serba Guna). Sekolah ini memang memiliki 2 lapangan, lapangan Outdoor juga lapangan Indoor yang juga di sebut sebagai labana.
Aku segera berbaris dilapangan bercampur dengan seluruh murid yang mengambil jurusan desain grafis. Seorang lelaki yang ku duga sebagai ketua osis membuka acara. Lalu dilanjut dengan pemilihan kelas. Aku masuk di kelas Desain Grafis E. Bukan berarti aku anak yang bodoh, kelas dipilih secara acak dan kebetulan aku terpilih untuk masuk dalam kelas ini.
Semua murid menuju kelas masing masing bersama dengan dua pembimbing. Aku duduk di bangku paling depan, didepan meja guru. Lalu seorang duduk disebelahku. Aku tetap menatap ke depan enggan untuk menoleh. Mungkin kalau dia seorang perempuan aku akan menoleh lalu mengulurkan sebuah senyum tipis kepadanya. Nyatanya, dia adalah seorang lelaki.
“Hai, gue veron,” Kalimatnya membuatku menoleh kesamping, menatapnya sebentar lalu mengatakan “ngomong sama gue?” Dengan santai dia menjawab “nggak, sama cicak tuh diatas,” Jawabnya sambil memperhatikan seekor cicak yang sedang hinggap didinding. Aku kembali menatap kedepan, masih enggan berbicara dengannya, namun lagi-lagi dia seakan mencoba untuk mengajakku bicara “iyalah, gue ngomong sama lo yakali sama cicak,” Katanya. “Oh, gue Syara Zidny, panggil aja Sya,” Aku berbicara dengan nada yang datar khasku.
Kelas dimulai, dua senior pembimbing didepan sedang menjelaskan apa saja yang perlu dibawa untuk esok hari. Aku segera mencatat semuanya agar nanti tidak lupa membeli semua perlengkapannya.
bel berbunyi, menandakan semua murid harus kembali ke lapangan. Semua bergegas untuk melanjutkan acara selanjutnya.
Acara demi acara segera dilakukan, dimulai semua murid yang diminta mencari tanda tangan hingga yang lainnya.
Jam istirahat telah dimulai, murid-murid berlarian dari labana untuk pergi kekantin. Terkecuali aku. Mana mungkin gadis sepertiku mau berdesakan ditengah keramaian. Hanya buku satu satunya keramaian yang dapat kuterima. Yang lain? Jangankan bisa kuterima, untuk mengunjunginya saja perutku sudah mual.
Aku menikmati bekalku. Memakannya ditengah lapangan. Bodoamat dengan orang lain, yang aku inginkan hanyalah makan dengan tenang tanpa ada gangguan apapun. Tak lama, seseorang menyapaku “Hai, Sya kan?” Katanya. “hah? Iya” Jawabku dengan mimik wajah yang terlihat bingung. “gue Vella, cewek yang duduk dibelakang lo,” Katanya. “oh gitu, makan Vel, sini barengan sama gue,” Kataku mencoba sedikit mengakrabkan diri dengan Vella. Aku memang tak terbiasa membuka obrolan terlebih dahulu.
“Oh iya Sya, gue juga bawa bekal kok, boleh kan gue makan disini bareng sama lo,” Kata Vella
“Silahkan, lo mau makan di atas panggung depan sana juga boleh kok vel hehe,” Balasku sedikit bercanda.
“Ahahah anjir receh ni anak, padahal gue kira lo tadi jutek njirr,” Vella tertawa sedikit, memecahkan kecanggungan yang kini mendominasi.
“Ah elah udah biasa juga gue Vel dikata jutek,” Jelasku.
Makan berlangsung tanpa percakapan. Hingga akhirnya Vella membuka kembali suaranya “Ekhm, Sya gue duluan ya, ditunggu cowok gue soalnya,” Kata Vella. “Oh iya vel, hati-hati,” kataku kepada Vella sebelum akhirnya, dia pergi keluar labana. Aku duduk sendiri lagi, melanjutkan membaca sebuah cerita dalam ponsel pintarku. Lagi-lagi, bermain dengan imajinasi sebelum akhirnya, seseorang mengganggu. “Hai Sya,”Uucapnya. Sabar Sya sabar batinku bersuara dalam hati mencoba meredamkan emosiku yang hampir saja membuncah. “apa?” Kataku sedikit emosi “weh anjir santai dong Sya, gue Veron nih,” Jelas Veron dengan muka tengil yang sangat menyebalkan. “hm, kenapa?” Tanyaku kembali. “Kaga kenapa sih,” Jawabnya lalu duduk disebelahku.
“Weh bro, sape ni,” Kata seseorang, wajahnya terlihat familiar, aku seperti pernah bertemu dengan mereka namun entahlah dimana.
“Temen kelas, cewek yang tadi duduk disebelah gue,” Veron menjelaskan.
“Oh, kenalin gue Aldo, ini yang disebelah kanan gue ada Wavi, terus sebelah kiri gue ada Delvan, terus sebelahnya lagi ada Aksa,” Kata Aldo mengenalkan teman nya satu persatu. Aku hanya membalas dengan “gue Sya,”.
“Yaelah Sya, lo jangan jutek jutek napa anjir nanti mereka takut lagi,” Veron mengingatkanku, padahal menurutk jawabanku tidak terlalu jutek.
“Nih ye lagian pasti lo belom tau kan sama mereka, mereka itu temen sekelas kita, gue sama mereka udah kenal lama sih dari SMP,” Kata Veron kembali.
“Oh,” Kataku.
“Buset, si veron ngomong panjang-panjang gitu lo jawab gitu doang Sya?” Kata Aldo.
“Ya terus gue harus jawab gimana,” Ucapku.
“Iyadah Sya, terserah lo,” Kata Aldo lalu mereka duduk berkumpul didekatku. Ini pertama kalinya bagiku duduk dengan lawan jenis sedekat ini. Biasanya, ketika ada seorang lelaki yang duduk didekatku aku segera menjauh, namun kini entahlah ingin pergi saja rasanya enggan. Jantungku berdetak dengan kencang setiap kali berdekatan dengan lawan jenis. Tunggu, ini bukan cinta namun hanya rasa tak nyaman yang terus saja hinggap. Yaa dari awal sudah ku katakan kan kalau aku tak pernah berdekatan dengan seorang pria? Pengecualian untuk ketiga mas ku. Bahkan dengan sepupuku saja terkadang aku masih enggan untuk duduk bersama.
Mereka bersenda gurau bersama, entahlah apa yang di bicarakan hingga akhirnya Aksa mengajakku berbicara “lo cewek yang tadi pagi di hall itu kan?” Tanya nya padaku. “Iya, kok lo tau?” Kataku. “Wah anjir si Aksa gercep njir,” Ucap Delvan. “Yee dodol, orang gue tadi pagi duduk disebelahnya pas tungguin lo pada, eh tau taunya sekelas sekarang sama dia,” Kata Aksa.
“Oh lo yang tadi pagi,”Kataku.
Perkenalan itu memulai segala cerita yang ada. Cerita yang tak pernah kusangka akan terjadi. Ini merupakan keajaiban. Seorang Syara yang tidak pernah dekat dengan lelaki tiba tiba dekat dengan 5 lelaki sekaligus. Dan mereka adalah yang pertama bagiku. Setidak nya setelah kejadian itu.