“Ola, aku pergi ya, teman-teman bilang banyak bunga bermekaran.” Diane meninggalkan Maniola yang masih menikmati padang rumputnya.
Maniola menatap bukit di kejauhan, Poine berada di sana. Di tempatnya bersembunyi. Tak banyak yang mengunjungi Poine karena dia sangat tertutup.
“Haruskah aku menemuimu, Pak Tua?” desis Maniola pada dirinya sendiri.
Pada akhirnya, rasa penasaran itu membawanya ke bukit yang menghijau di sana. Kepak sayapnya cepat, dia tak sabar untuk mengetahui rumor itu.
Gua Poine selalu senyap, hanya banyak kupu-kupu di pintunya. Kepak mereka menimbulkan dengung yang mengganggu telinga Maniola.
“Ola kembali, Ola kembali!” sorak mereka berisik.
“Kalian selalu ribut. Apa Poine ada?” tanya Maniola setelah mengubah dirinya.
“Siapa lagi yang akan membuat mereka berisik, kalau bukan dirimu,” desis seseorang keluar dari kegelapan gua.
Sosok tampan keluar dari sana, usianya yang sudah ratusan tahun, tak terlihat, guratan wajahnya masih halus.
“Ah, Poine, aku merindukanmu,” seru Maniola menghambur ke tubuh Poine yang berwajah datar.
“Jika rindu, kenapa tak pernah datang mengunjungiku?” sergah Poine sambil menjauhkan tubuh Maniola.
“Hades sangat merepotkan,” desis Maniola kesal.
Mereka duduk di pintu gua. Menikmati hamparan padang rumput dan hutan di kejauhan.
“Kamu yang memilih mengikutinya, daripada berada di sisiku,” desis Poine lebih kesal.
“Pershepone yang memintaku,” elak Maniola mengingat masa lalu.
Dia sedang bersama Pershepone saat Hades menculik dan mengurungnya di dunia bawah. Hanya Maniola yang boleh menemani Pershepone dengan banyak syarat. Hingga dia berakhir menjadi anak buah Hades.
“Tapi kamu menikmatinya,” sergah Poine berterus terang.
Maniola terkekeh dengan respons dari orang tua itu.
“Apa yang telah kamu lakukan, dua puluh lima tahun yang lalu?” tanya Maniola membuat laki-laki itu menoleh.
“Apakah rumor sudah jauh sampai ke utara?”
“Aku, melihatnya. Tanda yang kau berikan itu. Aku penasaran, sudah lama tak melihat tanda itu, lebih dari satu abad?” Maniola menatap tajam ke arah Poine yang kini memandang langit biru.
“Apa aku, tak setampan Zeus? Tak seberwibawa Poseidon? Atau aku, tak segarang Hades?” Poine melempar eleginya.
“Apa wanita ini begitu memesona?” Pertanyaan balik yang membuat Poine menghela napasnya berat.
“Aku tak sengaja melihatnya, dia sedang mencari kayu di hutan. Aku kebetulan lewat karena harus mencari jamur. Dia sangat menawan. Senyumnya tak bisa kuungkapkan,” tutur Poine.
“Setelah sekian lama?”
“Ya, aku melihatnya di dalam diri wanita itu. Lalu bagaimana aku bisa mengingkari keinginanku?”
“Lalu?”
“Dia menolakku, dia sudah mempunyai suami, dan dia sedang mengandung anak laki-laki itu. Aku murka, keinginanku sebagai dewa bahkan tak terpenuhi.”
“Kamu melempar kutukanmu hanya karena patah hati?”
“Aku tak berpikir panjang saat itu. Aku melampiaskan rasa sakitku dengan mengutuknya. Sial, Zeus sedang melempar petirnya. Anak itu lahir, wanita itu mati.”
“Aku menyesal, Ola. Anak laki-laki itu tak bersalah. Tapi semuanya sudah terjadi. Aku hanya bisa memberinya penangkal,” kata Poine sambil mengusap wajahnya.
“Macarie bilang, saat dia tertawa, umurnya bertambah panjang, saat dia bersedih, umurnya berkurang? Penangkal apa yang kau berikan?”
“Kamu melihat anak laki-laki itu?” Poine menatap Maniola tajam.
“Itu yang membawaku ke sini,” desis Maniola.
“Ya, aku hanya bisa memberinya penangkal, kebahagiaan akan membuatnya terbebas dari kutukanku. Tapi sayang, nasib membuatnya tak bahagia. Ayahnya mati karena menentang manusia yang membuka lahan di sebelah sana. Dia harus hidup sebatang kara, kini aku bahkan tak tahu di mana dia,” kata Poine penuh penyesalan.
“Kamu tak bisa mencabut sepenuhnya kutukmu?”
“Kutukan, saat dibarengi dengan petir Zeus, kekuatannya akan berlipat, akan terlepas saat penangkal yang aku berikan, menjadi kebahagiaan yang sesungguhnya,” papar Poine.
“Apa anak itu baik-baik saja?” tanya Poine selanjutnya.
“Dia baik-baik saja. Hidupnya berat. Bahkan, para roh sangat menyukainya,” gumam Maniola.
“Pasti dia sangat menderita.” Poine menerawang.
“Kebahagiaan macam apa yang akan membuatnya lepas dari kutuk sialanmu?” tanya Maniola membuat Poine tak suka.
“Aku bukan sialan,” geramnya.
“Tak usah dendam kepadaku, kamu tahu sifatku,” desis Maniola tak gentar.
“Itulah mengapa Hades diam saat kamu memanggilnya dengan nama secara kurang ajar,” gumam Poine.
“Aku tak tahu kebahagiaan macam apa yang dia inginkan. Jika kamu ingin membantunya, cari tahu saja,” lanjut Poine membuat Maniola menghembuskan napasnya.
“Jadi tak ada petunjuk?”
“Jangan pernah libatkan perasaanmu, itu saja. Kamu tahu larangan Hades untuk anak buahnya?”
“Roh tak boleh jatuh cinta pada manusia. Aku tahu itu, dan apakah aku sebodoh itu hingga jatuh cinta pada manusia ini?” ucap Maniola yakin.
“Kamu, bukan sepenuhnya roh,” gumam Poine lirih. Maniola tak mendengarnya dengan pasti, karena pikirannya sedang melayang memikirkan Maki.
“Ola, aku sangat menyesal melempar kutukku tanpa bisa menahan diri. Jika kamu bertemu lagi dengannya, sampaikan maafku.” Poine meraih tangan Maniola dan memunculkan sebuah benang merah berbatu pertama biru.
“Apa ini?”
“Tanda permintaan maafku. Selama dia memakainya, kutukku akan melemah. Hanya ini yang bisa kulakukan. Aku begitu pengecut untuk menemuinya,” jawab Poine sembari berdiri dan masuk ke guanya.
Maniola masih duduk di tempatnya, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Kepak kupu-kupu di belakangnya, masih seribut tadi. Tapi, kini hatinya lebih ribut dengan segala isinya.
“Ola pergi lagi!” teriak mereka menggema saat Maniola kembali mengubah dirinya dan terbang kembali ke utara.
Maki, sedang duduk di flatnya. Meneliti surat kabar, mencari lowongan kerja lain yang bisa dia lakukan selepas bekerja di reservatori.
Ponselnya berdering.
“Ya, halo, Maki di sini,” katanya dengan enggan.
“Akan ada penyewa baru di sebelahmu, tolong bantu aku untuk membereskan flat sebelah dan bantu aku jika dia membutuhkan sesuatu. Dia akan masuk besok,” jawab seseorang dari seberang saluran.
“Apa maksudnya?”
“Aku akan mengupahmu untuk menjaga keamanan dan menerima keluhan ataupun permintaan penghuni flat di lantai lima belas.”
“Iya, aku mempercayaimu, semua kegiatan itu bisa kamu lakukan selepas kerjamu di reservatori.” Kata-kata yang membuat Maki lega. Dia tak perlu lagi mencari kerja.
“Baiklah, terima kasih untuk semuanya,” kata Maki pada akhirnya.
“Aku akan meninggalkan kota untuk beberapa lama, itulah kenapa aku menghubungimu. Kunci akan kuserahkan besok. Uang sewamu kugratiskan. Gajimu akan kutransfer setiap bulannya.” Sekali lagi, membuat Maki menyunggingkan senyumnya.
Maniola, sedang hinggap di jendela flat Maki. Mengawasi sulur Maki yang menyusut menjadi garis halus di punggungnya.
“Bahagia, apa bahagiamu? Dari mana aku harus mencarinya? Bagaimana aku mengetahuinya?” desis Maniola.
Fokusnya berubah saat ada roh yang mendekati Maki. Roh ini sedikit kuat. Membuat d**a Maki terasa sesak. Maniola menggeram. Tak bisakah hari liburnya tenang?