Menjaga Perasaan Amara

1310 Kata
“Apa yang kalian lakukan?” “Satria menfitahku, Pa.” Abian masih mengepalkan tangannya, apalagi melihat adiknya tersenyum sinis padanya. Atmaja menatap Satria. Apa yang terjadi pada kedua putranya itu, memang mereka berdua jarang akur, tapi tidak pernah sampai berkelahi seperti ini. “Ini kenyataan, Pa. Anak kesayangan Papa ini menyewa kamar hotel bersama wanita.” “Astagfirullah.” Plak! Maria langsung menampar putra sulungnya mendengar ucapan Satria, dia sudah terpukul dengan masalah pernikahan Abian masih ditambah kenyataan tentang kelakuan buruk Abian, “Ini tidak benar, Ma, dia menfitnahku.” “Lali-laki dan perempuan dalam kamar hotel apa yang mereka lakukan?” Satria masih mengatakan apa yang dia lihat, dia sangat jijik mengingat kelakuan kakaknya. Kakak yang selama ini dia lihat sebagai lelaki baik-baik, tapi ternyata berani berzina. “Kami tidak melakukan apa-apa, kami hanya ….” “Sudah diam, sekarang juga bawa wanita itu ke sini, Papa tidak mau kalian melakukan hal kotor lagi.” “Tapi, Pa ….” “Panggil wanita itu dan segera nikahi dia, papa tidak mau ikut menanggung dosa yang kalian perbuat.” Abian tidak bisa mengelak dari tuduhan itu, siapa yang akan percaya dengan apa yang dia katakan nanti sedangkan kenayataannya dia memang berada di kamar hotel meskipun tidak melakukan apa-apa. “Apa Papa mau menikahkan Abi lagi, lalu Amara?” Satria tampak bingung dengan kelakuan orang tuanya, bagaimana bisa orang tuanya malah menyakiti hati Amara. “Abi sudah menatalak Amara,” kata Maria. Satria kaget, dia tidak menyangka Abian malah mentalak Amara setelah orang tua Amara meninggal, ini sangat keterlaluan. Maria dan Atmaja mengikuti Abian untuk segera menghubungi wanita itu, mereka berdua sudah terlalu malu dengan kelakuan anaknya. “Jadi kamu sudak ditalak Abi?” tanya Satria, dia masih tidak percaya dengan kabar itu, setahunya Amara begitu mencintai Abian. Dia tidak punya maksud apa-apa pada Amara, dia hanya iba saja pada Amara. Amara hanya menunduk, ada rasa nyeri di dadanya. Mungkin cintanya telah hilang pada Abian, tapi mendengar Abian telah bersama wanita saat mereka masih dalam ikatan pernikahan, hatinya sakit. “Kalau sudah ditalak, kenapa masih di sini, apa kamu mau sakit hati melihat mantan suamimu menikahi selingkuhannya?” Satria berkata sinis lalu meningalkan wanita malang itu. Amara langsung terduduk lemas, dia tidak menyangka keputusannya tetap tinggal di rumah itu tidak baik, dia harus segera keluar dari rumah itu secepatnya. *** Felicia datang ke rumah Atmaja setelah Abian menyuruhnya datang, wanita itu sangat bahagia karena apa yang dia inginkan begitu mudah tercapai. Dia pikir dirinya akan bekerja keras lagi untuk segera menikah dengan Abian, tapi nyatanyanya dia tidak perlu melakukan apa-apa semua telah berjalan sesuai rencanya. Sungguh keberuntungan ada dipihaknya kali ini. “Sejak kapan kalian berhubungan?” tanya Atmaja dengan sorot tajam pada Felicia. “Kami berpacarang sudah enam tahun,” jawab Felicia sambil menunduk, tatapan tajam Atmaja membuatnya sedikit tidak percaya diri. “Apa selama Abi menikah kalian masih berhubungan?” “Kami baru bertemu dua hari yang lalu, saya baru pulang dari luar negeri,” jawab Felicia. “Apa yang kalian di kamar hotel malam itu?” Kali ini Satria bertanya mencoba mendengar klarifikasi dari wanita itu. Felicia menoleh pada Abian yang masih saja menunduk, dia lalu tersenyum. “Apa yang kamu pikirkan itulah yang kami lakukan,” jawabnya tanpa merasa malu. “Fel,” panggil Abian sambil menggelengkan kepalanya, sungguh dia tidak mau keluarganya salah paham dengan jawaban Felicia. “Katakan pada orang tuamu, besok kami ke sana, kalian harus segera menikah, kami tidak mau kalau kalian berhubungan lagi terlalu jauh.” Sungguh ini hal diluar prediksinya, Felicia hampir saja melonjak kegirangan, tapi dia harus menahan diri untuk menjaga harga dirinya. “Iya, Paman,” jawab Felicia mantap. “Fel, kita tidak ….” Saat Abian ingin menjelaskan kejadian malam itu, Felicia langsung menggeleng, jelas ini yang diharapkan Felicia. Akhirnya Abian menuruti rencana orang tuanya untuk melamar Felicia. Hanya melamar saja karena Atmaja ingin menikahkan Abian dan Felicia setelah Amara mendapatkan surat cerai. Atmaja masih ingat betul lima tahun yang lalu saat sebulan sebelum pernikahan Abian, dia pernah melihat Abian bersama wanita itu, dia pikir mereka sudah tidak berhubungan lagi, ternyata dia salah. Abian bertahan tidak menyentuh Amara hanya karena wanita seperti Felicia, ini sangat menggelikan, lagi pula Felicia bukan wanita istimewa yang harus diperjuangkan, sangat banyak wanita seperti Felicia. Mereka pun melakukan lamaran setelah pembicaraan itu. Atmaja meminta waktu tiga bulan untuk menikahkan mereka. “Kenapa harus menunggu tiga bulan?” protes Felicia pada Abian saat mereka membahas rencana pernikahannya. “Papa ingin menjaga perasaan Amara,” jawab Abian. “Kenapa, sih, masih memikirkan dia.” “Sudahlah jangan protes agar kita bisa menikah, kamu mau papa berubah pikiran.” Akhirnya dengan berat hati Felicia menerima syarat dari Atmaja untuk menunggu tiga bulan lagi, dia sebenarnya ingin segera menikah dalam waktu dekat, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menerima keputusan itu. *** Satria mengemasi barang-baranganya dengan dibantu bibik. Seperti yang dikatakan ibunya kalau dia harus pergi dari rumah itu untuk sementara sampai Amara menikah lagi. “Pergilah untuk sementara, setelah Amara mendaptkan surat cerai, Mama akan segera carikan dia suami, tidak lama, Amara itu cantik pasti banyak yang mau. Mama akan mencarikan laki-laki yang baik yang mau menerimanya, tidak seperti kakakmu. “Dasar anak tidak tahu barang bagus, sudah untung dapat istri yang baik, taat dan rajin malah tidak mau. Apa bagusnya dari Felicia, cuma modal cantik saja.” Maria menggerutu panjang lebar pada anak bungsunya, dia begitu kecewa dengan Abian, mungkin kini harapannya hanya pada Satria, menikah dengan wanita baik-baik tidak seperti Abian yang malah memilih wanita seperti Felicia. Sebenarnya Atmaja dan Maria tidak suka dengan keluarga Felicia, mereka tahu kalau keluarga Felicia mempunyai bisnis kotor, Felicia bukan dari keluarga baik-baik, Atmaja sudah mencari tahu tentang keluarga Felcia. Tapi mau bagaimana lagi, Abian sangat mencintai wanita itu sampai menzalimi Amara, dia tidak ingin putranya semakin salah jalan. “Nanti kamu cari istri yang baik, yang shalihah. Jangan seperti seperti kakakmu,” ujar sang ibu. Satria tidak menjawab gerutuan panjang lebar ibunya tentang kakaknya, dia sudah tidak peduli lagi dengan kehidupan kakaknya, yang dia pikirkan saat ini adalah pekerjaannya, dia sedang merintis usaha baru, dia ingin menunjukkan pada orang tuanya kalau dia bisa mandiri tanpa bantuan orang tuanya. “Kamu jangan iri sama kakakmu, dia hanya bisa menjalankan bisnis Papa, kamu ‘kan sudah bisa mandiri,” kata Maria kala itu. Satria mau menuruti mamanya meninggalkan rumah itu tanpa memprotes, dia juga sebenarnya lebih senang tinggal di luar, berada di rumah akan sering bertemu kakaknya. Memang dari dulu dia sering berselisih paham dengan kakaknya. *** Amara sudah memikirkan apa yang dikatakan Satria, dia akhirnya mengambil keputusan untuk keluar dari rumah itu, dia sadar dengan tinggal di rumah itu akan ada masalah yang timbul, dia juga tidak bisa bertemu dengan Abian setiap hari, bagaimanapun juga dia pernah menjadi istri Abian meski hanya istri yang tidak dianggap. “Ma, aku minta izin untuk pulang.” Amara meminta izin pada mertuanya. “Pulang ke mana, di sini rumahmu, kamu putri Mama,” tegas Maria. “Tapi, Ma, aku dan Mas Abi mantan suami istri, tidak baik tetap tinggal satu rumah.” “Bukan kamu yang pergi dari sini, tapi Abi.” “Anak mama itu Mas Abi, aku tidak mau hanya karena masalah ini Mama akan menyuruh Mas Abi meninggalkan rumah ini.” Maria dan Atmaja memang sudah menyuruh Abian untuk tinggal di perumahan, mereka ingin menjaga perasaan keduanya, setidaknya sampai Amara menikah lagi. Mereka berdua telah menjadi orang tua wali Amara sampai Amara menikah. “Tolong, jangan biarkan kami merasa bersalah pada ayahmu, setidaknya tinggalah di sini sampai kamu menemukan jodohmu, Nak.” Maria mengusap lembut kepala Amara, perasaan bersalahnya masih saja dia rasakan, sampai kapan pun dia tidak bisa menebus kesalahannya. “Tapi, Ma ….” “Sudahlah turuti apa kata Mama dan cepatlah cari suami biar kami bisa hidup tenang tanpa memikirkanmu lagi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN