Hanya Menjadi Beban

1206 Kata
Kedua wanita itu menoleh ke arah Satria yang berkata begitu pedas pada Amara. Satria sudah membawa koper akan keluar dari rumah. “Satria, apa yang kamu katakan!” bentak Maria, dia sudah berkata baik-baik pada Satria untuk menjaga perasaan Amara. “Benar ‘kan, Ma, kalau Amara sudah menikah, kita tidak akan terbebani lagi, Ma.” “Satria jangan banyak bicara, cepat kamu pergi.” Maria mendorong tubuh anaknya untuk segera pergi, semakin anaknya itu bicara akan semakin menyakiti hati Amara. Amara menghela napasnya, apa mungkin dia telah membuat beban keluarga Atmaja, dan entah apa salahnya pada Satria, lelaki itu selalu berkata ketus padanya. Bahkan sejak lima tahun menjadi adik iparnya hanya sesekali bertanya pada Amara itupun terlalu ketus. “Sudah, jangan dengarkan Satria, dia memang seperti itu kalau bicara. Anak laki-laki ngomongnya pedes, heran Mama.” Maria menggerutu melihat ulah putranya. “Ma, Satria benar, aku hanya menjadi beban di sini, aku tidak apa-apa tinggal di rumah ayah, lagi pula rumah itu kosong, sayang kalau tidak ditempati.” “Tidak Amara, kamu ini anak perempuan, kamu tidak punya siapa-siapa, saudara orang tuamu juga semuanya jauh. Kamu harus tetap di sini sebelum nanti kamu ada yang menjaga. Satria dan Abi itu laki-laki, jadi mereka bisa tinggal sendiri.” “Tapi, Ma, aku tidak enak sama mereka.” “Sudah jangan pikirkan, mereka itu bukan anak kecil, mereka bisa mengurus dirinya sendiri.” “Tapi Mama akan jauh dari anak-anak Mama.” “Tidak, Sayang, mereka masih dekat, mereka masih bisa ke sini kapan saja. Jangan pernah berpikir untuk pergi dari sini.” Berat sebenarnya bagi Amara untuk tetap tinggal di rumah itu, lima tahun itu tidak sebentar, pasti ada kenangan yang nantinya akan menyesakkannya. Meskipun Abian tidak pernah menganggapnya istri, tapi pernah ada satu momen yang begitu manis dan pastinya hatinya akan sesak saat mengingatnya. Cintanya memang sudah hilang, tapi kenangan itu masih tersimpan dalah hatinya. “Tolong untuk sementara kamu di sini dulu, jangan ke mana-mana.” Amara mengangguk, mungkin untuk sementara dia tinggal di rumah itu sebelum dia mendapatkan pekerjaan. Amara akan mencari pekerjaan dan segera meninggalkan rumah itu, dia akan pergi dari rumah itu meskipun mantan mertuanya itu melarang. Dia masih memikirkan terus ucapan pedas Satria. *** “Jangan pernah bertemu sebelum kalian menikah, sekali lagi kalian bertemu, Papa tidak akan pernah merestui pernikahan kalian.” Atmaja sangat marah saat mendapati Felicia berada di perumahan yang ditempati Abian. Memang mereka tidak berdua, ada dua asisten rumah tangga di sana yang Atmaja tugaskan mengawasi Abian. “Kami tidak melakukan apa-apa, Pa,” kilah Abian dan memang demikan adanya. Abian masih punya iman dan dia juga sudah memastikan tidak akan melakukan hal terlarang sebelum menikah. Tapi apa dia bisa menolak ketika setan terus saja mengodanya, itu mungkin sangat sulit. “Sekarang tidak, apa kamu bisa menjamin kalau kalian nantinya tidak akan melakukannya. “Kamu itu sebagai wanita seharusnya menjaga kehormatanmu, bukan malah mendatangi laki-laki,” ketus Atmaja pada Felicia, sungguh jika putranya tidak terjerat cinta Felicia, sudah dipastikan dia akan memisahkan keduanya, dia hanya tidak ingin mengulang masa lima tahun itu lagi. Entah apa yang dilakukan wanita itu sampai membuat Abian begitu tunduk. “Maaf, Pa, saya ke sini hanya menjenguk Abi saja, katanya dia sedang tidak enak badan.” Felicia berusaha membela diri, dia tahu kalau calon mertuanya itu tidak suka padanya. “Kamu bukan dokter dan kamu tidak akan bisa mengobati Abi. Sekarang pulanglah dan tunggu kami datang saat pernikahan kalian. Felicia akhirnya meninggalkan rumah itu dengan kesal, dia bahkan tidak pamit atau berusaha mengambil hati calon mertuanya. Sunggung tidak sopan. “Ternyata wanita seperti itu yang kamu pilih,” sinis Atmaja selepas Felicia pergi. “Pa, aku mencintainya.” Ya, mungkin itu yang dirasakan Abian, dalam hatinya hanya mencintai Felicia, itu sudah dia tekankan sejak dia bertemu dengan Felicia, cinta pertamanya. “Mudah-mudahan kamu tidak menyesal nanti.” Sebenarnya ucapan Atmaja sebagia tanda bahwa dia keberatan kalau Abian memilih Felicia, seandainya yang dipilih Abian wanita yang lebih baik dari Amara, mungkin dia bisa mempertimbangkan, tapi wanita itu … Atmaja tidak tahu seperti apa sebenarnya dia. Abian sendiri masih bingung dengan perasaannya, dia juga tidak tahu sebesar apa cintanya pada Felicia sekarang. Empat tahun tidak pernah bertemu langsung dengan Felicia membuat hatinya hambar saat didekat Felicia. Apalagi sejak mentalak Amara, dia justru merasa menyesal, entah kenapa dia sendiri bingung dengan perasaannya. Semua yang tidak halal itu akan terlihat indah, mungkin begitu yang dirasakan Abian saat ini. Entah kenapa sejak ikrar talak, ia merasa kalau Amara berbeda dari biasanya. Wanita itu terlihat semakin cantik. *** Tiga bulan sudah setelah penantian, pernikahan Abian dan Felicia akhirnya digelar juga. Acara resepsi dilakukan di gedung mewah. Felicia meminta pesta pernikahan mewah dan mengundang artis ternama di kota itu sebagai pengisi acaranya. Bahkan pernikahan ini termasuk salah satu pernikahan termewah di kota itu. Felicia termasuk penguna media social yang sangat terkenal, dia sering mendapatkan endors dari beberapa produk kecantikan, dari sana lah dia meraup uang ratusan juga. Felicia salah satu orang yang beruntung dengan adanya media social dan pernikahannya juga didatangi wartawan intertainment. Atmaja dan Maria sebenarnya sangat keberatan, bagi mereka pesta pernikahan mewah itu hanya menghamburkan uang saja, mereka sangat menyayangkan hal itu, tapi Abian sudah seperti kerbau yang dicocok hidungnya, dia selalu menuruti apa yang diinginkan Felicia. Saat pernikahan Abian dan Amara dulu mereka mengadakan pesta sederhana dan uang anggaran pesta mereka berikan pada Abian sebagai modal usaha. Pola pikir mereka memang berbeda, meski mereka termasuk pengusaha sukses, tapi mereka tidak suka bermewah-mewah. “Fel, kita ke perumahan saja, Mama pasti tidak suka kalau kita ke rumah.” Abian berusaha menolak ajakan Felicia untuk datang ke rumah, dia sudah diwanti-wanit ibunya untuk tidak datang ke rumah setelah menikah, ibunya tidak mau Amara sakit hati. “Kenapa? aku ‘kan ingin tinggal bersama mereka, aku juga ingin dekat dengan mereka.” Dan sekali lagi Abian tidak bisa menolak istrinya. “Atau karena mantan istrimu itu, kenapa dia tidak tahu malu, sih, sudah dicerai juga tetap tinggal di sana.” Felicia sudah ratusan kali mengatakan keberatannya jika Amara tetap tinggal di rumah mertuanya, dengan adanya Amara tetap tingal di sana, dia tidak bisa mendekati mertuanya. “Amara itu tidak punya siapa-siapa.” “Memang itu urusan kita.” Abian tidak bisa membantah dan akhirnya menuruti istrinya yang keras kepala itu, permintaan istrinya tidak bisa ditolak. Rumah sudah sepi, lampu rumah juga sudah dipadamkan.Saat itu memang sudah lebih dari tengah malam. Teman-teman Felicia tadi mengajak mereka minum-minum di rumah Felicia sebagai ucapan selamat, dan untuk pertama kalinya Abian meminum minuman haram itu karena terpaksa untuk menghormati mereka. Sedikit, sih. Beberapa kali Felicia memencet bel, tapi tidak ada yang kelauar, dia menghentakkan kakinya karena memang sudah sangat lelah. Hingga beberapa saat kemudian pintu pun terbuka. “Oh, ternyata mantan istri masih di sini.” Felicia melingkarkan tangannya di pinggang Abiyan. Sengaja sepertinya. “Pasti kamu iri, ya, karena aku yang dicintai Abi. Lagian, jadi wanita itu sadar diri, mana pantas kamu jadi istri Abi, disentuh saja tidak.” Felicia tertawa melihat wajah memerah Amara, ini sangat menyenangkan bagi Felicia Amara masih mematung melihat kedatangan Abian dan Felicia. Sebenarnya dia akan keluar dari rumah itu esok hari, dia sudah mendapatkan izin untuk meninggalkan rumah itu, tapi kenapa Abian justru datang sekarang?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN