Hamil

1205 Kata
Malam itu malam pertama mereka, Abian sudah menahan mendekati Amara selama lima tahun, jelas dia ingin sekali merasakannya, semua laki-laki pasti begitu menginginkan itu setelah menikah. “Sayang, apa kamu sudah siap?” tanya Felicia manja dengan mulai nakal mengoda Abiyan. Sudah pasti Abiyan sangat siap lahir batin, dia sudah menunggu masa itu, apalagi selama lima tahun harus menahannya. Ah, sungguh bodoh dirinya. “Fel, kenapa perutmu agak besar gini?” Abian bertanya pada istrinya itu, dia pernah tanpa sengaja melihat Amara membuka bajunya dan perut Amara itu rata dan indah sampai tiga hari dia tidak bisa melupakan bentuk tubuh indah Amara, tapi kenapa tubuh Felicia beda dengan perut sedikit membesar. Felicia tampak gugup lalu dia memeluk Abian, mungkin dia malu. “Aku banyak makan tadi,” jawabnya lalu dia tidak membiarkan suaminya memperhatikan tubuhnya lagi, dia memberikan apa yang suaminya inginkan dan ingin memberikan pengalaman pertama suaminya hingga suaminya tidak pernah bisa berpaling darinya. Malam itu, Abian merasakan menjadi lelaki paling bahagia karena akhirnya bisa merasakan apa yang selama ini sangat ingin dia rasakan. Amara menangis dalam kamarnya, sungguh ternyata sangat sulit untuk tidak sakit hati, seandainya dia bisa seberuntung Felicia menjadi istri yang diharapkan, mungkin dia akan merasakan indahnya pernikahan, dia hanya menjadi pajangan tanpa disentuh. Sudahlah, semua sudah terjadi dan mungkin itu sudah jalannya. Malam itu juga Amara menyiapkan pakaiannya, dia ingin keluar pagi-pagi sekali saat pasangan suami istri itu belum bangun, dia tidak bisa melihat mereka lagi, itu terlalu menyakitkan. Dan malam itu hingga pagi Amara tidak bisa tidur. “Non, apa mau berangkat pagi begini, ini masih gelap,” kata bibik saat Amara pamit pada asisten rumah tangga itu. “Mas Abi sudah datang semalam, Bik, saya tidak enak tinggal di sini,” kata Amara. “Memang sebaiknya begitu, Non. Tidak baik tinggal bersama mantan suami.” “Seharusnya saya pergi sejak kemarin, ternyata melihat Mas Abi bersama istrinya sakit.” Amara menunjuk dadanya lalu tersenyum, mungkin dia terlalu b*doh saja. “Apa tidak pamit dulu sama ibu?” “Saya takut mengganggu Mama, mungkin Mama kecapekan mengurus pernikahan Mas Abi, semalam juga pulang malam. Tolong nanti sampaikan sama Mama, ya, Bik, kalau saya pulang.” Amara lalu menyalami bibik, dan segera membawa kopernya keluar agar mertuanya tidak bangun, dia tidak mau dicegah lagi untuk pergi dari rumah itu. “Hati-hati, Non.” “Hei, kenapa pagi-pagi sekali pergi? Tidak minta izin dulu sama mantan suami, kali aja dikasih uang saku, tapi jangan banyak-banyak,” kata Felicia sambil memperlihatkan rambut basahnya, sengaja mungkin. “Maaf, Mbak, saya harus pergi sekarang.” Amara bergegas meninggakan rumah itu, dia tidak mau ada keributan pagi ini. Sudah cukup dia bertahan tiga bulan di rumah itu setelah diceraikan Abiyan. *** “Amara.” Maria memanggil Amara, biasanya Amara akan menemaninya tiap pagi berjalan-jalan keliling komplek. “Non Amara sudah pulang, Buk.” Bibik tergopoh memberi tahukan pada Maria, dia takut Maria akan bertemu dengan Felicia dan wanita itu akan menfitnah Amara karena setelah Amara pergi Felicia memintanya untuk memeriksa barang berharga yang mungkin saja akan dibawa Amara. “Pulang, kenapa tidak pamit.” “Non Amara takut mengganggu Ibuk.” “Mantan menantu Mama itu tidak tahu diri, sudah numpang malah pergi tidak pamit, apa sih yang membuat Mama begitu menyayanginya.” Felicia yang entah dari mana tiba-tiba datang ikut menimpali pembicaraan itu. “Kenapa kamu di sini, jangan-jangan kamu mengusirnya,” kata Maria dengan tatapan menyelidik. “Buat apa aku mengusirnya, mungkin dia pergi sambil bawa barang berharga rumah ini, jangan sampai Mama menyesal kalau barang Mama tidak ada, jangan samapi Mama menuduhku.” “Felic, apa yang kamu katakan. Kalau pun barangku ada yang hilang, sudah pasti aku akan menuduhmu bukan Amara. Lima tahun dia tinggal di sini, aku sudah sangat mengenalnya.” “Mama, uangku itu banyak, aku bekerja buka benalu seperti Amara.” “Astagfirullah.” Maria memegang dadanya, ternyata apa yang dia takutkan benar terjadi Felicia tidak lebih dari waniat picik, dia tidak tahu harus bagaimana menghadapi menantunya itu. Ah, apakah ini hukuman buatnya karena Abian telah berbuat zalim pada Amara? “Ada apa, Ma?” Atmaja kaget melihat Felicia berada di sana duduk dengan angkuh di rumahnya. “Kenapa kamu di sini, seharusnya kamu tinggal di perumahan,” kata Atmaja pada Felicia. “Saya ini menantu kalian, kenapa Papa dan Mama tidak suka saya di sini.” Felicia dengan tenangnya duduk angkuh di sofa besar itu, dia bahkan tidak peduli dengan perasaan kedua mertuanya . Atmaja hanya mengelus d**a, ini masih beberapa jam saja Felicia berada di rumah itu, bagaimana kalau beberapa hari, sebulan, setahun, apa yang akan dilakukan wanita itu. “Ada apa, Sayang?” Abian menghampiri istrinya yang sedang berbicara dengan orang tuanya. “Mama sama Papa masih saja tidak mau menerimaku,” keluh Felicia sambil menghampiri suaminya lalu bergelayut di legan Abian. Maria dan Atmaja hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan menantu barunya, sungguh menjijikkan. “Kalau Mama dan Papa tidak suka kami di sini, kami akan pergi.” Abiyan lalu menggenggam tangan istrinya dan mengajaknya bersiap untuk kembali ke perumahan. “Tidak perlu, Amara sudah pergi,” cegah Maria. Maria berusaha menerima Felicia di rumahnya, mereka juga sudah menikah dan Amara sudah tidak ada di rumah itu, dia berusaha mengalah demi kebahagiaan Abiyan. Mungkin kepergian Amara itu yang terbaik untuk semuanya, Abian juga tidak ingin melihat Amara sakit hati melihat kebersamaannya dengan Felicia, semalam saja dia tidak tega melihat Amara. Dia memang sudah menyakiti hati Amara, tapi tidak mau semakin membuat Amara sakit hati. “Kalau kamu ingin tinggal bersama kami, bersikaplah yang baik dan sopan pada kami,” tegas Atmaja. “Papa dan Mama juga harus mau menerimaku dan tidak membicarakan Amara lagi.” “Ayo kita ke atas, aku butuh bantuanmu.” Abiyan menarik lembut tangan istrinya kembali ke kamar, dia tidka mau Felicia akan bersikap tidak baik pada ornag tuanya karena dia ignin Felicia bisa mengambil hati orang tuanya. Mereka berdua kembali ke lantai atas, sedangkan Maria dan Atmaja menatap mereka berdua. Ada rasa nyeri di d**a mereka melihat adegan itu. “Pa, lihat, deh, perut Felicia itu sepertinya besar dan dilihat dari bentuk tubuhnya sepertinya anak itu hamil,” terka Maria. Sebagai seorang wanita dan seorang ibu, dia sedikit mengetahui bentuk tubuh wanita hamil, mungkin apa yang dikatakan Satria benar kalau Felicia dan Abian sudah berhubungan sebelum menikah. “Kalau Felicia hamil sudah pasti itu ulah anak kesayanganmu.” “Pa, bukankah wanita hamil itu tidak boleh dinikahi?” Satu hal yang mereka lupa dan kadang memang diabaikan banyak orang bahwa wanita hamil tidak boleh dinikahi. Mereka melupakan itu, seharusnya memastikan dulu apakah Felicia hamil atau tidak sebelum menikah. “Coba nanti Mama tanyakan pada Abi, aku tidak mau Abi melakukan kesalahan lagi.” Sebagai orang tua, mereka merasa telah gagal mendidik anaknya. Maria memanggil putranya untuk ke kamarnya, sepertinya dia harus bicara dengan Abian terlebih dahulu, masalah ini bukan main-main. “Abi, apa Felicia hamil?” tanya Amara. “Hamil? Kami tidak pernah melakukannya sebelum kami menikah, Ma.” “Mudah-mudahan Mama salah, tapi bentuk tubuh Felicia seperti orang hamil.” “Dia hanya banyak makan saja, Ma. Aku bersumpah, saat di kamar hotel itu aku dan Felicia tidak berzina.” “Bagaimana kalau dia hamil dengan laki-laki lain?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN