Brandon, Aaron dan Melody.
"Kok, ceritanya hampir sama dengan novel yang gue baca?" gumamnya tanpa sadar.
"Hah?" tanya Maya bingung.
"Ada Kak Chika?" tanya Della lagi.
"Cih, dia mah Queen of Bullying, gak ada yang gak tau ..." jawab Maya membuat Della semakin shock.
"Cantik dan seksi, udah gitu dia itu anak orang kaya juga. Kalau aja kelakuannya gak kayak lampir bisa tuh jadi saingannya Kak Melody," ujar Maya kemudian menunjuk ke arah segerombolan siswi berpenampilan nyentrik. "Noh liat, tuh yang paling cantik namanya Chika Jaslin Prambudi. Hot banget kan?"
Della hanya mengangguk seadanya, bagaimana tidak, pakaian mereka itu tidak bisa disebut seragam sekolah. Rok abu-abu di atas lutut yang ketat memperlihatkan kaki dan p****t yang seksi. Sudah begitu baju mereka juga ketat pres body, membuat d**a mereka tercetak jelas dan ditambah belahan d**a yang sengaja dibuka kancingnya. Tiba-tiba Della merasa kalau ia tidak sedang di Indonesia.
"Gue bukan lagi treveling ke Amerika kan?" tanya Della pada Maya.
"Heh, bukanlah ...tapi wajar sih, gue juga kalo liat mereka berasa kayak bukan di bumi pertiwi. Gue heran deh, sebenernya mereka mau sekolah atau *ngelotek? Udah kayak Tante-tante girang tau gak," ucap Maya geleng-geleng.
Della setuju sih, tetapi ia tak memusingkan hal itu, yang ia pikirkan adalah mengapa mereka para genk populer itu seperti tokoh dalam novel, semuanya sama persis seperti yang ada di novel. Semuanya jelas sama dan terdengar tidak masuk akal.
Della dan Maya melanjutkan jalannya ke arah kelas mereka, hari ini Della membawa sekotak tahu isi dan mendoan. Sampai di depan kelas mereka berpisah karena Della harus ke kantin terlebih dahulu, ia membawa sekotak dagangannya itu ke kantin Bu Rus.
"Assalamu'allaikum Bu Rus, pagi!" sapa Della.
"Wa'allaikumsalam, pagi Del. Tumben siang datengnya," ujar Bu Rus heran.
Della menyodorkan dagangannya dan diterima oleh Bu Rus.
"Iya Bu, tadi malem saya baca novel sampe jam dua, kebablasan deh hehe ..." jawab Della nyengir.
"Ada-ada aja kamu, inget kata Roma Irama 'jangan begadang kalo tiada artinya' haha!"
"Yeu, si Ibu malah nyanyi pagi-pagi ahaha ..." tawa Della.
"Biar semangat Neng," balas Bu Rus.
"Yoi dong Bu!" balas Della semangat. "Em, ya udah deh Bu, karena udah hampir bell ...saya ke kelas dulu yah. Assalamu'allaikum," pamit Della.
"Wa'allaikumsalam, semangat sekolahnya," ujar Bu Rus.
Della mengacungkan jempol sembari melangkah pergi. Di koridor ia bertemu dengan Melody and the genk yang sedang berdebat dengan genk Chika.
Melihat kejadian itu Della mengelurakan buku novel itu dan memastikan ulang nama-nama yang ada di sana serta pola ceritanya.
"Jadi beneran, sama kayak yang di sini?" gumamnya terkejut.
Di tengah keterkejutannya, bell masuk berbunyi membuat Della kalang kabut. Ia tak sempat memasukkan buku itu ke dalam tas, ia segera berlari menuju kelasnya. Namun, bukannya cepat sampai, ia malah jatuh tersungkur karena tersandung tali sepatunya yang lepas. Bukunya terpental entah kemana, sementara ia sudah ditertawai para siswa yang melihatnya.
Della merasa sangat malu, tetapi kemudian ia terngat dengan buku yang ia bawa. Buku itu bukan miliknya, terlebih lagi buku itu sangat mistis sehingga akan berbahaya jika ditemukan oleh orang jahat.
Della lekas berdiri dan mencari buku tersebut ke segala arah, para siswa sudah mulai memasuki kelas termasuk genk Melody dan genk Chika. Keadaan koridor kian sepi dan tidka ada tanda-tanda buku tersebut aad di sekitar sana. Namun, sebuah suara mengintrupsinya.
"Cari ini?" tanya suara bariton itu membuat Della berbalik dan terkejut berat.
Della terkejut melihat siapa pemilik suara itu adalah Aaron, ia tengah tersenyum miring dan mengangkat buku tanpa judul itu. Della terbengong dalam beberapa saat sebelum ia berjalan ke arah Aaron hampir mendapatkan buku itu.
Aaron yang tau apa yang difikirkan gadis pendek itu, dengan sigap mengangkat bukunya tinggi-tinggi agar tak bisa dijangkau Della.
"Kenapa?" tanya Aaron dengan nada menggoda.
"I--itu, punya saya Kak ..." ujar Della gagap. "Tolong Kak, kembalikan ...tolong yah Kak," ujarnya lagi panik.
Aaron menggeleng dan tersenyum miring, "Novel ini luar biasa, novel pertama yang berhasil buat gue tertarik meski cuma baca blurbnya dan prolognya doang. Gue gak bisa balikin sebelum gue nyelesein ceritanya," ujarnya membuat Della tambah panik.
"Tapi Kak itu ..." protes Della terpotong oleh Aaron.
"Tuh ada Pak Jono, cepet ke kelas."
Aaron segera kabur membawa buku itu, sementara Della terbengong sampai suara Pak Jono menggelegar di seliruh koridor.
"Hey, kamu masuk kelas sekarang!" teriaknya sambil mengacungkan tongkat kesayangannya ke arah Della.
Della akhirnya ngibrit lari ke arah kelas 10 dengan kecepatan tinggi.
•••
Di dalam kelas Della tidak fokus karena memikirkan buku yang dibawa kabur oleh Aaron. Beberapa kali Della mengusap wajahnya merasa gelisah.
"Del, ngapa lu dari tadi ngelamun, galau lu?" tanya Maya berbisik.
"Buku gue ilang," jawab Della cemberut.
"Buku apa?" tanya Maya lagi.
"Buku novel," jawab Della.
"Novel doang, kirain buku pelajaran," ujar Maya santai.
"Masalahnya itu bukan punya gue, gue cuma minjem," jawab Della menekankan.
"Lah gimana dong?" tanya Maya ikut bingung.
"Gak tau, bingung ...nanti gue cari lagi," ujar Della.
Maya meringis prihatin, ia mengelus punggung Della agar sabar.
Di sisi lain Aaron serius membaca buku yang berhasil ia rampas dari adik kelasnya itu. Ia pernasaran dengan buku itu karena ia membaca sekilas namanya. Ketika ia membaca blurb dan prolognya, di sana sangat nyata dengan kisahnya. Meskipun ada satu yang tidak benar, Aaron tidak mencintai Melody lagi.
Kemudian ia membalik bab satu, bab dua dan sampai bab tujuh. Sampai Pandu yang duduk di sampingnya menegurnya karena Aaron dipanggil oleh Pak Wisnu--guru matematika.
Aaron langsung menoleh ke arah Pandu kesal karena keseriusannya diganggu.
"Paan sih?" tanyanya.
Pandu menunjuk dengan dagunya, membuat Aaron melihat ke depan dan Pak Wisnu tengah menatapnya tajam.
"Sudah pintar kamu, Aaron?" tanya Pak Wisnu dengan tatapan galak.
Aaron tersenyum manis, kalau untuk akting ia jagonya.
"Belum Pak, makanya saya sekolah biar pintar," jawabnya sok polos.
"Lalu kenapa kamu malah baca buku lain ketika saya menjelaskan?" tanya Aaron.
"Saya tidak membaca buku lain Pak, saya membaca buku mata pelajaran Matematika," jawab Aaron masih dengan senyum sok polosnya.
"Alasan kamu! Daripada banyak omong gak jelas, mending kamu gantiin Bapak menerangkan materi yang tadi Bapak bahas!" perintah Pak Wisnu galak.
Aaron menghela nafas, tetapi ia tetap maju melaksanakan tugas dari Pak Wisnu untuk menerangkan materi matematika. Hal yang membuat orang lain iri dengan Aaron, selain tampan, artis, otaknya juga plus-plus. Mau belajar atau tidak ia tetap bisa memahami materi dalam hitungan menit, bahkan detik.
Kalau ia tidak sibuk, pasti ia bisa menyaingi Pandu dan Melody dalam peringkat pararel. Sayangnya ia selalu bertahan di peringkat tiga atau empat pararel.
Semua penghuni SMA Barnes tau kelebihan tersebut, kualitas otak Aaron tak main-main. Makanya ia juga masuk dalam jajaran artis jenius yang tak pernah absen dari list.
"Ada pertanyaan?" tanya Aaron setelah selesai menjelaskan.
Seperti dugaan, para gadis langsung bertanya dan menghujani Aaron dengan banyak pertanyaan yang sebenarnya sudah mereka ketahui jawabannya.
"Liat noh si idola, dimana-mana pada nempel. Tuh orang kalo jadi guru, bisa-bisa para murid jadi bucin bukannya pinter," ujar Revan pada Brandon yang ada di sampingnya.
"Haha setuju gue," tanggap Brandon yang sedari tadi menikmati pemandangan di depan kelas. "Bay the way, lo gak nanya juga, Rev?" tanyanya balik.
"Kagaklah, biarkan para ciwi-ciwi yang nanya. Nanti gue tanya jawaban aja kalo dikasih soal," jawab Revan enteng.
"Yeu, kapan pinternya lo kalo kayak gitu mulu ..." ujar Brandon heran dengan temannya yang satu itu.
•••
Sepulang sekolah, Della merasa sangat lesu. Rasanya ia ingin menangis saat itu juga jika ia tak ingat tempat. Buku yang bukan miliknya, yang dengan tidak sopannya ia membuka buku itu dan membacanya, malah hilang dibawa kabur siswa populer di sekolahnya.
Di kejauhan Aaron yang berdiri di samping pos satpam menunggu gadis pemilik buku yang membuatnya kepikiran itu, langsung berdiri tatkala melihat gadis yang ia cari.
Gadis berbadan kecil itu membawa kotak gorengan dengan lesu, tak mengindahkan ocehan kedua temannya yang ada di samping kanan dan kirinya.
"Woy, mau kemana lo?!" tanya Revan yang sedari tadi menemani Aaron di pos satpam.
"Udah ketemu," jawab Aaron sambil menunjuk gadis kecil yang semakin dekat itu.
Di tengah kerumunan anak sekolah yang akan pulang melewati gerbang utama, Revan bisa melihat gadis yang dimaksud Aaron adalah gadis yang jauh dari level mereka. Revan heran, apalagi ketika Aaron yang justru bersikap agresif pada gadi itu, bukan sebaliknya.
"Hey!" panggil Aaron membuat Della, Maya dan Linda menoleh ke arah samping kiri mereka.
Tak hanya mereka, beberapa siswa juga kaget mendengar Aaron memanggil seseorang.
Maya, Linda dan para siswi sudah klepek-klepek melihat sosok Aaron yang menjulang itu. Namun, beda dengan Della yang justru menatapnya dengan tatapan horror, seolah Aaron adalah pria tampan bertanduk iblis seperti Lucifer tetapi bisa memakan manusia.
"Lo, hey!" ulang Aaron melihat Della yang melamun.
"Kakak manggil saya?" tanya Linda kepedean.
Aaron meringis, ia memaksa senyum meski tak berhasil. "Saya manggil temen kamu, itu ..." ujarnya sambil menunjuk Della yang tengah memeluk kotak gorengan miliknya.
Della terkejut, begitupun kedua sahabatnya dan para siswa yang menonton.
"Dell ..."
Maya hampir menanyakan sesuatu ketika tiba-tiba Aaron meraih tas Della dan membawa si empunya ke arah parkiran mobil.
"Kak, tolong!" teriak Della panik, ia terus meronta dan berteriak minta tolong, "Maya, Linda tolongiiiin!"