BAB 6

1583 Kata
Entah mengapa, setiap kali berjumpa dengan Andre dan berdebat. Aku selalu kehilangan konsentrasi dalam memperhatikan mata ajar. Yah! Usai bertemu dan saling bersih kukuh pada ucapan masing-masing, kami memutuskan tak saling berbincang. Beralih pergi tanpa berpamitan. Dan, Di dalam kelas. Percuma saja, aku memperhatikan bahan ajar. Tak ada satu pun penjelasan dari dosen yang masuk ke dalam memori ingatan. Andre benar-benar duplikat dari Bagas. Aku bersimpul. Meletakkan pulpen pada atas meja. Membenturkan kepala pada sisi bidang datar. ****** Tak terasa, bahan ajar perkuliahan berakhir. Aku bergegas menuju parkiran motor. Menggunakan helm. Dan, berkendara tanpa ragu menuju kos Tania, usai meminta ijin melalui pesan pada ibu. Pada saat jalanan menuju arah kos semakin dekat, aku memutuskan menepikan kendaraan roda dua. Menghampiri seorang penjual bubur ayam, yang buka delapan jam; hampir sama dengan jadwal kerja para pegawai di perkantoran. “Bu, saya pesan bubur ayam satu, ya. Dibungkus saja.” “Neng Nadine, kan?” Hehe, Aku menyengir. Menyahut, “Iya nih, Bu. Saya kira Ibu lupa sama saya.” “Nggak dong, Neng. Orang saya saja ingat selalu sama Neng Tania. Masa, lupa sama Neng Nadine?” Si ibu berbicara sembari menyiapkan pesanan ke dalam sebuah wadah sterofoam. “Ngomong-ngomong, Tania sedang sakit, Bu,” Aku mengabarkan. Mengingat, Tania cukup dekat dengan si Ibu penjual bubur. “Oh, ya? Sakit apa, Neng?” “Semoga saja hanya demam, Bu. Ini, saya mau jenguk dia.” “Kalau begitu, bubur ini gratis saja, Neng. Ibu sengaja kasih untuk Neng Tania. Sampaikan salam Ibu, semoga dia lekas sembuh.” “Tapi, Bu?” Aku menolak sodoran bubur yang telah terbungkus. Merasa sungkan, saat si Ibu berkata jika makanan tersebut ia gratiskan. “Sudah, Neng. Nggak apa. Neng Tania sudah Ibu anggap seperti anak sendiri.” “Gi-gitu ya, Bu?” Si Ibu mengangguk meyakinkan. Akhirnya, bubur tersebut berhasil kubawa; tanpa membayar. ****** Setibanya di kos milik Tania. Aku mengetuk daun pintu kamar. Membawa serta beberapa barang yang kubeli sebelum tiba di sana. Selain bubur, juga ada roti beserta s**u vanilla. Tak lupa, beberapa buah. Ceklek! Daun pintu terbuka. “Nad? Kok kamu ke sini?” “Pertanyaan macam apa itu, Tan? Tentu saja, aku harus ke mari,” Aku berujar. Beralih menyentuh dahi Tania dengan tangan yang terbebas dari barang bawaan. “Nggak ke dokter aja?” Aku bertanya. Usai memastikan suhu tubuh Tania dalam keadaan demam. “Nggak perlu, Nad. Sehari dua hari, bakal sembuh kok.” Aku menganggukkan kepala. Meletakkan barang yang kubawa. Menyodorkan bubur yang kudapat dari seorang ibu penjual berhati baik. “Buru di makan, gih. Dikasih gratis tahu, nggak? Sama si Ibu,” Aku menginformasikan. “Oh, ya?” “Karena itu, buruan kamu habisin,” Aku mengingatkan. Sesaat usai mengambil sendok untuk Tania. “Kamu bawa motor, Nad?” Tania bertanya sembari mengunyah. “Iya.” “Nggak sama Andre?” Aku menggeleng. Berkata, “Dia pasti sibuk.” Ehm, Tania berdehem. Sementara, aku beranjak menyiapkan obat demam untuk Tania. Jika, aku berasal dari Surabaya. Maka, Tania dari Semarang. Di Jakarta, kami berdua sama-sama mahasiswa rantauan. Bedanya, aku tinggal bersama orang tua. Sedangkan, Tania seorang diri di Jakarta. Sehingga, keputusan untuk selalu ada untuk Tania, kubuat sendiri. Dan, yah! Harus kutepati. Terlebih, saat Tania sedang dalam keadaan tak sehat. ****** Usai menghabiskan bubur dan meminum obat, Tania beralih tidur. Aku sengaja mengecilkan volume suara pada televisi yang menyala. Sembari menunggu hari menjadi larut, aku memutuskan menjejalkan retina pada sebuah acara di dalam layar berbentuk flat di sana. Di sela menonton televisi, aku teringat suatu hal. Astaga! Ponselku sedang kehabisan daya. Aku beralih mengambil ponsel dari dalam tas. Meminjam alat pengisi daya milik Tania. ****** Senja berganti malam. “Tan, aku balik dulu, ya. Makan malam kamu udah aku siapin di atas meja,” Nadine berbisik lirih. Berpamitan pada sang teman perempuan. Sebenarnya, aku tak tega meninggalkan Tania seorang diri. Namun, hari yang tak lagi cerah memaksaku untuk pulang. Ibu sudah pasti menunggu kedatangan putri semata wayangnya di rumah. Usai mendapat anggukan kepala, aku meraih kunci pada sisi dalam pintu kamar Tania. Membuka pintu dan menutup kembali. Mengunci pintu tersebut dari sisi luar. Kemudian, kulempar benda berukuran kecil tersebut ke dalam ruang; melalui sela jendela yang sedikit terbuka. Sesaat sebelum aku mengendarai motor. Sebuah benda tak henti bergetar. Dengan peka, aku membuka tas jinjing, yang kini sudah aku selempangkan pada sebelah tubuh. Pasti, makhluk yang satu itu. Aku membatin. Bersimpul dengan penuh kepastian. Benar saja, beragam pesan menghujam ponsel. Salah satu dari pesan itu, berasal dari nomor telepon genggam Andre. Tak hanya beberapa pesan, melainkan puluhan. Hal kasat mata tersebut, membuat jemari tangan ini enggan membalas. Namun, justru segera melakukan panggilan keluar. Tut.. tut.. *Andre* Tak ada sahutan. Hingga, pada panggilan ketiga. Suara seorang perempuan terdengar. “Halo?” Dia menyapa dari seberang. “I-ini siapa? Andre ke mana?” Aku terheran. Dan, “Sabar deh, Mbak. Ini sepupunya Andre,” Perempuan itu membalas pertanyaan dengan ketus. Aku hingga mengerutkan dahi karena tercengang. Aku masih tak percaya; masih menaruh curiga. Bahkan, mulai berpikiran yang tidak-tidak. Yah! Seperti adegan di sinetron, ketika pemeran pria sedang berselingkuh. Sementara, sang wanita selingkuhan, meraih ponsel untuk memastikan dengan siapa ia berbicara saat itu. Alih-alih melanjutkan pertanyaan dengan nada penasaran. Kuputuskan berkata, “Baiklah, Mbak. Nanti minta tolong sampaikan pada Andre, jika Nadine menelepon.” “Iya,” Dia menyahut singkat. Setelah itu, kami mengakhiri panggilan. ****** Sebelum menuju rumah. Tepatnya, kutepikan kendaraan pada sebuah toserba di dekat area perumahan. Aku sengaja tak langsung pulang. Melainkan, mampir untuk membeli beberapa camilan. Sembari melihat-lihat berbagai makanan ringan, manik pada mata tak sengaja mendapati sosok seorang laki-laki yang kukenal. Tanpa pikir panjang, kulajukan langkah untuk mendekat. “Malam, Kak,” Aku menyapa. Tak lupa, sembari membawa keranjang belanja. “Eh, Nadine?” Rendy menyahut. Tak menyangka, jika kami akan bertemu di toserba yang sama. “Rumah Kakak di dekat sini?” “Iya, di pertengahan perumahan; blok AC.” Hm, Aku berdehem. Lalu, “Siapa, Nak?” Seorang wanita cantik; seusia Ibu, menyapa Rendy. Dapat kusimpulkan jika wanita itu, adalah ibu Kak Rendy. “Teman Rendy, Ma. Namanya Nadine.” Pada akhirnya, kami berdua saling menyapa dan berkenalan. ****** Malam itu, usai berbelanja bekal camilan, aku tidak langsung pulang. Rendy dan ibunya mengajakku untuk berbincang. Sembari menyesap kopi mau pun teh pada sebuah café di seberang toserba. Selagi Rendy memesankan minuman untuk kami, aku beralih mengobrol dengan seorang wanita dewasa di sana. Meski, baru mengenal, kami terbilang cukup akrab untuk dua orang yang terpaut usia cukup jauh. Namun, kehangatan yang diberi oleh Ibu Kak Rendy melalui bahan obrolan, membuatku seperti mengobrol akrab dengan sosok ibu kandung di rumah. Baik Kak Rendy atau pun ibunya, mereka berdua sama-sama orang yang baik dan hangat. Tiba-tiba, pujian itu terselip ke dalam benak pikiran. Sontak, kuketuk puncak kepala agar tersadar. Bahan obrolan terus berlanjut. Bahkan, kami mulai tertawa kecil bersama. Tawa Kak Rendy, ternyata mampu mengalihkan dunia. Aku membatin di sela obrolan bersama. Astaga! Apa yang sedang kau pikirkan, Nad? Lagi-lagi, aku tersentak dalam bayangan yang kutujukan tanpa alasan. ****** Setengah jam kemudian. Aku berpamitan pulang. Bagaimana tidak, jarum pada jam telah menunjuk angka setengah sembilan malam. “Baik, Nak Nadine. Lain kali, kita harus bertemu kembali. Banyak hal yang ingin Tante ceritakan padamu soal sifat-sifat Rendy, yang sering kali tak terlihat.” Issh! “Mama,” Rendy berdecak. Aku terbahak. “Baik, Tante. Terima kasih untuk malam ini. Cerita Tante perihal sosok Kak Rendy semasa kecil, menghibur Nadine sekali,” Aku berujar. Lalu, bergegas berpamitan. Kini, aku hanya bisa melihat bayangan Rendy yang tersisa dari balik spion. Bayangan yang semakin mengecil dan terpaksa menghilang. Namun, teruntuk kali pertama; aku mulai merasakan keanehan di dalam jantung. Sebuah perasaan yang tak pernah kurasa sekali pun sedang bersama dengan Andre. Sial! Tak mungkin, aku mulai menyukai Kak Rendy, bukan? Aku membuyarkan pemikiran. Meski begitu, Setiba di rumah. Ibu bertindak peka akan perubahan pada garis wajah putrinya. Kemudian, bertanya tanpa ragu, “Habis kencan, ya?” Ih, “Ibu?” Aku berdecak. Sesaat usai melepas pergerakan mencium tangan kanan ibu. Namun, tak dapat kupungkiri. Jika, perasaan itu masih tersisa di dalam hati. Meski, berpacaran dengan Andre. Tapi, aku tak pernah merasakan hati sesemerbak bunga di taman ini. Benar-benar, merasa bahagia meski hanya sekedar duduk sembari menyesap kopi. Duh! Nadine, apaan sih? Aku berdecak teruntuk kesekian. Menyugar puncak kepala. Berusaha meredakan sebuah rasa yang tertinggal. Bukan! Maksudku, melunturkan rasa sebelum terpatri pada bagian yang lebih dalam. Lebih baik, aku mandi saja. Aku memutuskan. ****** Setelah mandi. Kuhampiri posisi tas jinjing di atas meja belajar. Meraih ponsel. Mengecek pesan yang bertengger di dalam sana. Namun, Tak lagi ada pesan yang Andre tujukan. Aku bukan berharap. Melainkan, kembali merasa heran. Tak berpikir panjang, Tut.. tut.. *Andre* Kuputuskan melakukan panggilan ulang. Kemudian, “Ada apa, Nad?” What? Hanya, ada apa? Apakah dia tak mendapat pesan yang kutujukan melalui perempuan itu? “Kamu lagi di mana?” Aku bertanya. “Di rumah.” “Rumah sepupu kamu?” “Sepupu?” Hening sepersekian detik. “Ah, iya. Aku lagi di rumah sepupu aku. Ada apa?” “Ada acara keluarga di rumah sepupu kamu, Ndre?” “Iya.” Kemudian, “Andre?” Suara itu kembali terdengar. “Nad, udah dulu ya. Nanti, aku telepon lagi,” Andre berujar. Mengakhiri panggilan. Tut – tut – tut ! Sambungan telepon terputus. Spontan, aku mengerutkan dahi. Merasa ada yang aneh dengan sahutan dan suasana pada latar belakang panggilan telepon barusan. Mereka seperti tak sedang berada di dalam acara keluarga. Melainkan—        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN