BAB 5

1714 Kata
Akibat kesal dengan ancaman yang Andre beri, aku memilih tak membalas pesan dari dia. Jemari tangan kanan, spontan menekan tombol non aktif pada layar ponsel. Kemudian, Aku menuju sisi balkon kamar. Meski, rumah yang kami huni saat ini hanyalah rumah kontrakan. Namun, terbilang cukup bagus. Mengingat, ayah ingin aku dan ibu tetap mendapat hunian yang nyaman. ****** Di balkon kamar. Udara senja dipenuhi dengan semerbak bau bunga lavender. Ibu selalu menanam bunga tersebut. Baik saat kami tinggal di Surabaya, mau pun kini di Jakarta. Beberapa pepohonan terlihat mengayun teduh. Terpaan angin juga berhasil menghempas rambut yang sedang kugerai. Hhh! Hembusan napas terdengar amat lega. Tak seperti biasa, saat aku menyalakan daya pada ponsel. ****** Tak terasa, senja hendak berganti malam. Petang yang dibersamai dengan suara adzan, mengharuskan aku kembali masuk ke dalam kamar. Kubersihkan tubuh dengan guyuran angin dingin. Lalu, kujalankan perintah agama; sholat maghrib. Dan, Hm? Aku berdehem. Sesaat usai mencium aroma masakan ibu yang merasuk ke dalam indera. ****** Di ruang makan. Kami bertiga berkumpul seperti biasa. Menyantap setiap masakan ibu yang selalu beraroma dan menggugah selera. Kami mengobrol. Sesekali, membahas perihal pekerjaan yang sedang ayah tekuni setelah menjadi pensiunan PNS. “Lalu, bagaimana dengan perkuliahanmu, Nak? Apa berjalan dengan lancar?” Ayah bertanya. Uhuk! Aku tersedak. Pertanyaan itu sedikit membingungkan untuk kujawab. Bagaimana tidak, tak semua mata ajar berhasil kuperhatikan dengan benar. Mengingat, beberapa kali aku justru sibuk berbalas pesan. “La-lancar, ayah,” Aku berkilah. ****** Seusai makan malam. Aku berjalan menuju ke kamar. Melirik pada ponsel yang sedang menghitam; tak ada suara getaran. Syukurlah. Kemudian, aku beralih mengerjakan tugas untuk esok hari. Mengulang beberapa materi ajar pada pagi itu. Jarum pada jam terus berdentang. Malam itu, kurasakan kenyamanan tanpa ada sedikit pun gangguan. Seharusnya, kumatikan saja ponselku setiap hari. Aku bergumam. Berniat sembari menimang-nimang. Yah! Andre sudah jelas tak dapat menghubungiku jika ponsel sengaja kumatikan. Namun, sembari beristirahat usai merasa lelah dalam belajar. Aku kembali menyalakan ponsel. Sesaat usai teringat, jika aku belum mengirim pesan yang seharusnya kuteruskan pada Tania. Tak lain, pesan yang kemarin malam Rendy tujukan padaku. Anehnya, Malam itu, tak ada satu pun pesan yang Andre kirim. Tak ada notifikasi panggilan tak terjawab dari dia. Lampiran terkirim! Baru saja, aku meneruskan pesan berisi file pada Tania. Layar ponsel masih kudiamkan dalam posisi menyala. Sedangkan, aku berpindah menuju ruang keluarga. Menonton serial drama korea. Satu jam Dua jam Hingga, jarum pada jam menunjuk angka sebelas malam. Kumatikan layar televisi. Lalu, beranjak untuk mengistirahatkan diri. Ceklek! Pintu kamar terbuka. Kuhampiri letak ponsel berada. Yakni, di atas meja belajar. Bertumpuk dengan banyak buku dan tugas-tugas kuliah. Hanya ada pesan dari Tania. Dan, **Kak Rendy : “Hai, Nad? Udah tidur?” **Nadine : “Belum nih, Kak.” Pesan itu kubalas segera usai terbaca. Drrt drrt! **Kak Rendy : “Sebelum acara kemah berlangsung, kita masih ada satu kali pertemuan untuk membahas perihal persiapan.” Rendy menginfokan. Sementara, aku? Terlanjur ke GR-an. Bagaimana tidak, siapa menyangka jika semalam itu seorang laki-laki hanya akan mengirim pesan; untuk memberi pengingat perihal sebuah acara? Kukira? Nyaliku mencelos begitu saja. Duh! Nadine, apa yang sedang kau pikirkan? Aku mengacak puncak rambut. Sesaat usai berpikiran yang tidak-tidak. Jika dibanding Andre, Rendy adalah seorang kakak tingkat yang cukup menarik. Meski, tak berparas tampan seperti seorang kekasih yang sedang kupacari. Namun, hubungan tak mulus yang sedang kujalani dengan Andre, membuat hatiku merasakan getaran berbeda saat Rendy mengirim pesan, menyapaku di kampus, dan bahkan saat ia mengajakku mengobrol. Senyum tipis yang Rendy tujukan, membuat jantung ini mendadak berdetak tak beraturan. Bukankah, hal tersebut merupakan pertanda awal dari perasaan suka pada seseorang? Haish! Sadar dong, Nad. Kalau ketahuan Andre, bisa habis kau nanti. Aku berdecak. Menyadarkan diri. Pada akhirnya, kuputuskan untuk beranjak tidur. Menyudahi pemikiran melantur. ****** Keesokan hari. Aku baru menuntaskan mandi dan sarapan pagi. Beralih bersiap karena akan menghadiri jadwal SKS pada pukul delapan. Seusai menyisir dan merapikan rambut berwarna hitam, aku menggapai ponsel. Berniat memasukkan telepon genggam ke dalam tas jinjing. Namun, Ini aneh! Tumben sekali, semalaman Andre tak menghubungi. Pada saat bersamaan, “Nak?” Suara ibu terdengar. Seketika, aku menyimpulkan. Pasti Andre sudah muncul secara tiba-tiba di depan rumah. Lalu, Ceklek! “Ada apa, Bu?” “Nggak apa-apa, Nak. Ibu cuma mau memastikan saja, kamu kuliah pagi atau siang?” “Andre sudah di depan ya, Bu?” Hum? “Nak Andre?” Ibu menyahut lirih. “Nggak ada, tuh. Justru karena itu, ibu kira kamu masuk siang lagi. Tapi, ternyata anak Ibu sudah berdandan rapi begini. Ya sudah kalau begitu, buru berangkat, Nak. Jangan sampai telat,” Ibu mengingatkan. Sedangkan, aku? Masih melongo heran. Dan, Kuputuskan mengirim pesan pada Andre. **Nadine : “Ndre, hari ini kamu kuliah siang?” Satu menit kemudian. **Andre : “Iya.” Balasan itu terbaca amat singkat. Tak biasa, Andre tak mengomel padaku. Menghujam dengan banyak pesan. Sementara itu, aku hanya bisa mengangguk pelan. Menyudahi rasa penasaran. Lalu, beranjak keluar kamar. Berpamitan untuk berangkat seorang diri dengan mengendarai motor, yang sedang terparkir di depan halaman. “Bu, Nadine berangkat.” “Iya, Nak. Hati-hati di jalan.” ****** Sesampainya di kampus. Tepatnya, saat tungkai ini menapak pada area kelas. Aku tak menemukan sosok Tania, yang terbiasa lebih dulu hadir di sana. Aku memanggutkan kepala. Bersimpul jika sebentar lagi, ia akan tiba. Namun, Hingga mata ajar kuliah berganti, Tania tak kunjung hadir di kelas. Kuputuskan bertanya perihal keberadaan Tania pada hari itu. **Nadine : “Tan, bolos nih?” Kebetulan, Tania sedang online. **Tania : “Iya nih, Nad.” **Nadine : “Tumben?” **Tania : “Aku lagi nggak enak badan. Maklum, anak rantau. Sepertinya, kusedang rindu masakan Mama di rumah.” Sontak, aku mendecap bibir. **Nadine : “Oke deh, sebagai gantinya sepulang kuliah aku mampir ke kos. Kubuatkan makanan rumahan ala Nadine.” **Tania : “Cielah! Kayak kamu bisa masak aja?” Tania menyertai balasan dengan sebuah karakter gambar mengejek sang lawan bicara. **Nadine : “DASAR! Wk.” Kami mengakhiri pesan. Aku kembali berfokus pada bahan ajar. ****** Siang hari. Pada saat jam makan. Aku menuju kantin seorang diri. Memesan makanan andalan. Menu sederhana yang pas di kantong seorang mahasiswa sepertiku. Yang terpenting, menu tersebut dapat membuat cacing di perut berhenti berkeroncongan. Di sela aku menyantap makan siang, jemari pada tangan kiri kugunakan menatap layar ponsel. Kupusatkan pandangan pada beranda sosial media. Beragam postingan dari para teman, muncul. Tak terkecuali seorang mahasiswi yang cukup dikenal seantero universitas. Tak lain, seorang gadis bernama Aira. Yah! Selain cantik, bertubuh jenjang, berkulit bening, Aira juga berasal dari keluarga berada. Tak jarang, aku menemukan beragam postingan penuh hingar bingar sosialita. Terkadang, Aira juga memamerkan aktivitas sehari-hari di dalam sebuah apartemen mewah. Pada saat bersamaan, Suara seseorang yang tak asing kembali merasuk gendang telinga. Memaksaku menyudahi aktivitas menghabiskan kuota. “Nad?” Rendy menyapa. Menghampiri bersama seorang teman laki-laki. “Iya, Kak?” “Boleh gabung?” “Ehm? Boleh, kebetulan Nadine memang lagi sendiri, Kok. Jadi, bangku masih pada kosong,” Aku menyahut. Menatap tiga buah tempat duduk yang tak terisi. Rendy beserta mahasiswa tersebut, duduk di dalam satu meja makan yang sama. Sembari makan, kami mengobrol banyak hal. Baik mengenai pengalaman para tim pecinta alam, juga perihal mata ajar perkuliahan pada semester depan; yang sudah mereka lalui lebih dulu. Namun, perbincangan kami harus terjeda. Sesaat usai ponsel yang kuletakkan berdering. Memunculkan nama Andre di sana. “Kak, sebentar ya,” Aku berpamitan. Beranjak dari duduk. Menjauh dari posisi mereka berdua. Dan, “Halo, Ndre?” “Kamu lagi di mana?” “Di kantin.” “Sama siapa?” “Umh?” “Sama siapa?” “Sendiri.” “Nggak sama Tania?” “Kebetulan, Tania lagi bolos kuliah, Ndre. Ada apa?” Sahutanku terdengar sedikit ragu. Bagaimana tidak, Andre bisa tiba-tiba muncul begitu saja. Lantas, aku tak bisa membayangkan tanggapan yang akan Andre beri; saat ia melihat aku berada di dalam satu meja dengan dua orang mahasiswa laki-laki. Di sela kami berbincang, Suara seseorang terdengar dari seberang, “Andre?” “Hei, ya? Bentar,” Andre menyahut panggilan. Lalu, memutuskan panggilan kami begitu saja. Aku menatap ponsel dengan gerak bibir mengerucut. Alis berkerut. Kemudian, “Ada apa, Nad?” Rendy menegur. Sesaat usai berjalan ke arahku. “Nggak ada apa-apa, Kak.” “Ya sudah yuk, balik.” “Kak Rendy duluan aja. Nadine belum sempat bayar makanan.” “Tenang, udah aku bayar.” Bola mataku melebar. Berujar, “Tapi, Kak?” “Udah nggak apa. Yuk, balik ke kelas. Kamu ada SKS siang, kan?” Aku mengangguk pelan. Masih dengan gurat sungkan. Tak memiliki pilihan. Selain, berjalan bersama Rendy, yang kini telah seorang diri. Suasana kikuk menerjang. Tiba-tiba, “Ehm, tadi temen aku ke toilet dulu.” “Ah iya, Kak.” Duh, suasana apa ini? Mengapa mendadak canggung? Aku bergumam. Menundukkan sedikit kepala. Lalu, Tuk Tuk Tuk Suara langkah kaki terdengar mendekat. Sebelum pada akhirnya, “Nad?” Sial! Suara itu, suara Andre. Aku terperanjat. Seketika, salah tingkah. Mengingat, Rendy masih berada di sampingku. Berjalan bersama menuju fakultas kami. Rendy spontan menoleh. Sementara, aku? Sedang berpura-pura tak mendengar. Hanya saja, Andre terlanjur mencekal pergelangan tangan sebelah kanan. Membuatku menghentikan langkah. Rendy menunduk singkat. Mengisyaratkan pamit pada kami berdua. Namun, Andre tak menanggapi dengan hangat. Ia masih bergerak mencengkram lengan milikku. Melebarkan bola mata. Mengumpulkan garis wajah; tak suka. “Jadi, kamu ke kantin sama dia?” Andre bertanya. Menatap sosok Rendy, yang baru saja meninggalkan kami. “Eng-enggak, aku ke kantin sendiri. Cuma—” “CUMA APA?” “Cuma, aku nggak sengaja ketemu sama Kak Rendy di kantin tadi,” Aku menyahut. Bergerak melepas tangan Andre yang mencekal lenganku dengan cukup erat. Haish! “Sudahlah, kamu ini terlalu banyak alasan. Bilang aja, memang kamu yang kecentilan, Nad,” Andre mencerca dengan tuduhan tak beralasan. Huh! Aku mendengus kesal. Andre kembali melanjutkan ucapan, “Nanti sore, aku tunggu di parkiran seperti biasa. Balik ngampus bareng aku aja.” “Aku nggak bisa, Ndre. Sore ini, aku mau ke kos Tania.” “Tania lagi, Tania lagi,” Andre membentak. “Lagi pula, hari ini aku bawa motor, Ndre.” Andre menghentak sebelah tungkai. Berkacak pinggang. Berkata, “Kamu ini memang pandai membuat alasan ya, Nad.” Astaga! Jika, Tuhan mengijinkan, aku akan merobek mulut laki-laki ini.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN