Dylan duduk dengan gelisah di dalam mobil yang akan membawanya ke rumah Nayla tinggal bersama Nathan dan dua putri mereka di Gorlitz. Kemarin, ia langsung terbang ke Jerman begitu Mom mengabarkan hal itu padanya. Sesuatu yang buruk. Sangat buruk hingga membuat Dylan merasa dirinya juga seseorang yang buruk karena tidak menuruti apa yang Mom minta seminggu lalu.
Nayla keguguran. Itu yang Mom kabarkan kemarin. Rasa sakit itu langsung menghantam tepat ke jantung Dylan. Membuatnya limbung dan hampir terjatuh dari posisinya saat itu. Namun, ia harus tetap tenang. Terutama, karena ia sedang berdiri di hadapan Jade dan hampir saja mencium gadis itu. Ia tidak boleh terlihat kalut, dan berdoa semoga saja Jade tidak melihat itu di matanya karena mereka berdiri terlalu dekat satu sama lain. Amat sangat dekat.
Dylan memejamkan mata. Membayangkan kembali bagaimana rasanya ketika ia menyentuh Jade. Tentu saja Dylan tidak mengira jika efek yang ditimbulkan oleh sentuhan itu akan sangat dahsyat. Dan Dylan harus menahan hasratnya hanya karena sentuhan kecil itu. Sentuhan yang awalnya ia lakukan hanya agar Jade keluar dari dapur.
Ia bisa merasakan kulit Jade yang lembut dan hangat dari balik kausnya. Ia juga bisa mencium harum tubuh gadis itu dari tempatnya berdiri tepat di belakang Jade. Geraian rambut yang terlepas dari ikatan asal-asalannya, membuat Dylan hampir gila karena ingin melesakkan bibirnya di sana. Jika tidak ada yang memanggilnya, ia tentu akan mempermalukan dirinya dengan b*******h di depan umum seperti remaja berusia enam belas tahun yang birahi.
Dan, ia juga harus berterima kasih pada ibunya untuk interupsi yang dilakukannya. Jika Mom tidak menelepon, Dylan pasti akan benar-benar mencium Jade. Gadis itu benar-benar…
Dylan menghela napas. Tidak. Jade terlarang untuknya. Jade bukan gadis yang biasa ia rayu dan tiduri. Jade tidak bertubuh mungil dan berambut hitam seperti Nayla. Seseorang yang selama ini tidak pernah menarik perhatian Dylan.
Gadis itu pirang, tinggi, dan seksi. Amat sangat seksi. Tubuhnya berlekuk dengan sempurna di setiap bagian yang tepat. Plus, aroma tubuhnya begitu harum dan menggiurkan hingga membuat Dylan mabuk.
Bagaimana seorang gadis membuatnya seperti itu? Selama ini, tiga tahun terakhir ini, tidak pernah ada seorang wanita pun yang membuat Dylan merasa seperti ini. Bahkan tidak dengan Daniella. Gairah yang dirasakannya dengan Daniella sama seperti yang ia rasakan pada wanita-wanita lainnya meskipun Dylan sempat berharap lebih pada Daniella.
Sayangnya, hingga hubungan mereka berakhir, kecocokan itu tidak berkembang menjadi sesuatu yang Dylan inginkan. Semuanya masih sama seperti pertama kali ia melihat Daniella. Tidak ada perasaan tidak ingin berpisah lagi dengan Daniella. Rasa nyaman yang mereka rasakan satu sama lain, belum bisa melampaui batas itu.
Jade berbeda. Sangat berbeda. Dylan seakan merasakan gairah lain yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya pada wanita manapun. Bahkan selama hampir seminggu ini, Dylan selalu menantikan saat ia datang ke kafe milik Sofia dan bertengkar dengan gadis itu. Bertengkar dengan Jade membuatnya jauh lebih…hidup.
Sialan. Ia harus mencari wanita lain untuk ditidurinya atau Dylan akan semakin kacau. Ia juga tidak ingin membuktikan omongan Daniella benar pada akhirnya. Dylan akan menjauh. Namun, apa mungkin ia bisa menjauh? Setidaknya dari Sofia dan muffinnya yang lezat itu?
Jika ia bisa bertahan dan menunggu hingga Jade pergi, apa ia akan baik-baik saja. Jade pasti akan pergi lagi kan suatu hari nanti? Sofia pernah bercerita padanya jika Jade tidak pernah berada di rumah untuk waktu yang lama. Mungkin bisa saja nanti saat Dylan kembali ke Paris, gadis itu sudah pergi lagi entah ke mana.
Namun, lagi-lagi Dylan berdebat dengan hatinya sendiri, akankah semua juga akan kembali seperti semula seandainya Jade pergi? Bisakah ia menerima pagi yang tenang tanpa pertengkaran dengan Jade? Apakah hidupnya akan kembali kesepian seperti dulu lagi?
Dylan mengumpat dalam hatinya. Ia tidak boleh seperti ini. Jade sama sekali tidak berarti apa-apa baginya. Gadis itu hanya kuman yang muncul di hidupnya dan harus disingkirkan. Ya, kuman. Jadi, Dylan harus menghindarinya meskipun kuman itu sangat menggiurkan untuk dinikmati.
“Herr, kita sudah sampai.”
Suara supir pribadi Nathan yang menjemputnya, membuat Dylan tersentak. Ia memandang keluar jendela, ke arah rumah besar dan nyaman tempat keluarga adiknya tinggal. Rumah itu bercat putih dengan aksen biru tua di beberapa dinding kayu. Di depannya, ada halaman luas tempat anak-anak bermain dan taman dengan bunga-bunga berwarna-warni.
Setelah menikah, Nayla memilih untuk menjadi ibu rumah tangga penuh meskipun ia memiliki ijazah sebagai sarjana Teknik dan memiliki kesempatan untuk melanjutkan kuliahnya. Namun, Nayla mengesampingkan semua itu dan memilih mengasuh anak-anaknya sendiri tanpa bantuan pengasuh.
Si kembar, Nayna dan Shayna sekarang berusia hampir tiga tahun dna sedang aktif-aktifnya. Gadis-gadis cilik favorit Dylan yang berwajah sangat cantik seperti ibu mereka. Gadis-gadis cilik yang seharusnya menjadi miliknya, bukan Nathan.
Dylan menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan sambil menenangkan diri saat keluar dari mobil. Sekarang, bukan saat yang tepat baginya untuk merasakan itu. Sesungguhnya, tidak pernah ada waktu yang tepat untuk merasakannya karena Dylan tidak boleh lagi seperti itu.
Semua yang terjadi dalam hidupnya sudah sesuai dengan apa yang telah digariskan. Ia bertindak bodoh dan harus kehilangan Nayla juga adalah kesalahannya sendiri. Seandainya dulu ia bukanlah pria b******k, mungkin saat ini ia sudah…
Hentikan, Dylan! Teriaknya dalam hati dengan kesal. Itu masa lalu, masa lalu terburuk, dan Dylan tidak bisa merubah apapun. Ia tidak bisa kembali ke masa itu untuk memperbaiki kesalahannya.
“Pamaaaannn!!” teriakan itu menyambut Dylan ketika pintu besar berwarna putih tersebut terbuka.
Dylan tersenyum, berlutut, dan membuka lengannya lebar-lebar saat dua bocah berambut gelap berlari ke arahnya. Mereka memeluk leher Dylan dengan erat seraya mengatakan rindu. Dan lagi-lagi, Dylan merasa bersalah. Seharusnya ia lebih sering datang.
“Paman, aku ompong!” kata salah seorang gadis kembar itu sambil tersenyum lebar memperlihatkan gigi depannya yang ompong.
Shayna. Ya, gadis cilik yang lebih banyak omong itu adalah Shayna. Kedua gadis itu hampir tidak bisa dibedakan karena paras mereka yang sangat mirip. Kecuali jika sudah bicara, Shayna akan jauh lebih cerewet daripada kakaknya, Nayna. Gadis itu jauh lebih pendiam. Seperti ayahnya.
“Nah, kau pasti suka sekali makan permen hingga gigimu ompong.”
“Coklat favoritkuuu!!” serunya tanpa cadel sedikitpun.
Lalu Dylan menoleh pada Nayna. “Apa kau juga ompong?”
Nayna menggeleng dan tersenyum lebar. Giginya rapi dan semua masih utuh. “Aku tidak suka coklat,” katanya malu-malu.
“Seharusnya kau kurangi makan coklat, hmm?” Dylan kembali menoleh pada Shayna.
“Aku suka coklat! Aku suka coklat!” Gadis kecil itu menggeleng dan melonjak-lonjak di hadapan Dylan.
Dylan tersenyum. Mencium pipi kedua keponakannya itu dan menggendong mereka di sebelah kanan dan kirinya.
“Di mana Oma dan Opa?”
Tangan kedua bocah itu kompak menunjuk dapur. Ah, dari harum yang tercium, ia tahu apa yang sedang ibunya buat. Muffin. Dan itu, kembali mengingatkannya pada Jade. b******k. Ia benar-benar harus mencari wanita lain untuk membuatnya melupakan gadis pirang itu.
“Aku datang,” seru Dylan mengumumkan kehadirannya.
Si kembar meronta ingin turun dari pangkuannya dan berebut duduk di kursi mereka, di depan muffin yang harum dan masih mengepul. Mom berbalik dari kesibukannya di kompor dan menghampiri Dylan.
Ia memeluk tubuh mungil Mom dengan erat. Dylan baru sadar ternyata ia merindukan ibunya ketika tengah memeluk wanita itu. Semenjak tinggal di Perancis, Dylan jarang sekali pulang ke Jakarta. Ia selalu beralasan sibuk dengan pekerjaannya hingga tidak memiliki waktu untuk pulang. Yeah, ia anak yang tidak berbakti kan?
“Di mana Nay?” tanya Dylan pelan saat tidak melihat orang lain lagi di dapur.
Mom melepaskan pelukannya dan mendongak menatap Dylan. “Masih di rumah sakit. Ia akan pulang sore ini.”
“Ini pasti berat untuknya,” bisiknya dengan lirih. Lagi-lagi, rasa sakit menghujam jantung Dylan. Ia tidak pernah ingin melihat Nayla bersedih lagi sepanjang hidupnya.
“Ini berat untuk kita semua.” Dad menepuk bahu Dylan pelan hingga ia beralih memeluk pria itu.
“Aku minta maaf. Seharusnya aku datang lebih cepat.”
“Bukan salahmu. Mom tahu kau pasti sibuk.” Mom tersenyum dan menjauh darinya. “Mau muffin? Kau pasti merindukan muffin buatan Mom.”
Dylan dan ayahnya sama-sama meraih kursi dan duduk di atasnya. Muffin blueberry. Salah satu yang selalu Dylan sukai. Hanya saja, sekarang ia lebih menyukai lemon.
“Mom, apa kau pernah mencoba membuat muffin lemon?” tanyanya sambil menggigit kue itu. Rasa asam manis dari selai blueberry membuat Dylan memejamkan matanya. Muffin buatan Mom sama lezatnya dengan buatan Sofia.
“Lemon?” tanya Mom sambil menatapnya.
“Aku mau lemon, Oma!” seru Nayna sambil menatap neneknya penuh harap.
Dylan menggangguk. Menghabiskan satu muffin dengan cepat dan mengambil yang kedua. “Itu sangat lezat. Aku memakannya setiap hari dan tidak pernah bosan.”
“Sejak kapan kau bisa membuat muffin?” Dad bertanya. “Kau bahkan tidak bisa menggoreng telur, Nak.”
Dylan terkekeh. “Kau menghinaku, Dad. Aku sudah bisa menggoreng sosis dan bacon tanpa menggosongkannya.”
“Jadi, sekarang kau juga sudah bisa membuat muffin?” gantian Mom yang bertanya.
“Tentu saja tidak, tetapi mungkin aku akan belajar membuatnya nanti.”
Tiba-tiba, Dylan membayangkan ia berada di dapur rumahnya, membuat muffin bersama Jade. Tangan dan wajah gadis itu berlumuran tepung. Mereka berdua memasak sambil bercanda, berciuman, dan bercinta di dapurnya yang luas.
Muffin yang ada di genggaman Dylan terlepas. Gila! Ia tidak bisa membayangkan hal seperti itu. Lebih tepatnya, ia tidak boleh membayangkannya. Jade terlarang untuknya. Sekarang dan selamanya.
“Ada seorang gadis?” tanya Mom tepat di telinga Dylan hingga membuatnya terlonjak.
Dylan menoleh menatap ibunya dan cemberut. “Tidak ada siapapun. Hanya seorang wanita tua yang membuat muffin yang sangat lezat.”
Mom terus menatapnya seakan tidak percaya dengan apa yang Dylan katakan. “Kau serius?”
Dylan menoleh pada Dad yang hanya tersenyum dan mengangkat bahunya pertanda tidak ingin membantu Dylan. Ia merasa wajahnya memanas karena ditatap seperti itu oleh ibunya.
“Wajah paman merah,” kata Shayna sambil nyengir dari tempatnya duduk di seberang meja.
Dylan mundur dan bangkit dari kursinya dengan cepat hingga benda itu nyaris terjungkal. “Aku lelah dan butuh tidur. Di mana kamarku?”
Mom masih menampakkan senyum dan tatapan itu. Tatapan yang seakan berkata aku tahu ada yang kau sembunyikan dariku, Nak. Namun, Mom menahan lidahnya dan menunjukkan lantai dua.
“Tiga kamar di ujung lorong lantai dua semuanya kosong. Kau bisa memakai salah satunya.”
Setelah mencium pipi keponakannya, Dylan naik ke lantai dua dan memilih kamar yang berada paling jauh dari tangga. Ia tidak lelah, tetapi Dylan tahu jika ia harus menjauh atau Mom akan semakin curiga padanya.
Wajahnya memerah? Sialan! Dylan tidak pernah lagi tersipu semenjak belasan tahun lalu. Lalu kenapa sekarang ia harus tersipu karena itu? Hanya karena ibunya bertanya tentang seorang gadis? Gadis cantik, seksi, dan berambut pirang.
Dylan mengerang dan menjatuhkan diri ke ranjang berukuran dua itu. Meskipun tidak ingin tidur, ia tahu tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang selain itu. Atau, ia akan terus membayangkan Jade sialan dan semakin tersiksa dengan gairahnya. Jadi, karena tidak ingin terus-terusan memikirkan Jade, Dylan memaksa memejamkan matanya dan tertidur.
Dua jam kemudian, Dylan sudah merasa lebih baik dan segar setelah ia mandi dan berganti pakaian. Ia membuka pintu kamar dan tersenyum saat mendengar celoteh riang anak-anak di lantai bawah. Dengan tawa anak-anak itu, Dylan harap Nayla tidak terlalu larut dalam kesedihannya karena kehilangan calon bayinya.
Dylan menemukan mereka semua berada di ruang duduk, tengah menonton Shayna dan Nayna yang berjoget mengikuti tarian anak-anak di televisi. Nayna juga sudah ada di sana. Setengah berbaring di sofa panjang dengan kedua kakinya berada di pangkuan Nathan sementara pria itu memijat kakinya dengan lembut.
Lagi-lagi Dylan merasa iri. Ia ingin melempar Nathan dari sofa itu dan mengambil alih posisinya. Ia ingin menjadi pria yang selalu ada untuk Nayla di saat wanita itu senang maupun sedih.
“Hai, Kak! Kau sudah bangun.”
Suara Nathan membuat Dylan tersadar dari lamunannya dan ia tersenyum lebar seakan tidak ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia sudah mahir melakukan itu. Ia sudah sangat mahir menyembunyikan semua perasaannya.
Nathan bangkit dari duduknya dan menghampiri Dylan kemudian memeluknya sekilas. “Terima kasih sudah datang.”
“Aku ikut berduka,” ucap Dylan pelan.
Nathan mengangguk dan tersenyum seraya menepuk bahunya. Dulu, hubungan mereka sangat buruk. Dylan pernah merebut kekasih Nathan, dan ketika ia tahu Nathan menjalin hubungan dengan Nayla, Dylan juga berusaha merebutnya lagi. Selama bertahun-tahun sejak pertama kali Dylan mengkhianatinya, mereka lebih mirip seperti orang asing daripada kakak beradik.
Namun, semua itu kini sudah berlalu. Hubungan mereka sudah kembali lagi seperti dulu. Dylan bahagia untuk adiknya dan Nayla meskipun hatinya sendiri terluka. Itu adalah konsekuensi yang harus ia tanggung untuk semua dosa yang pernah dilakukannya pada mereka.
Dylan melangkah mendekati Nayla dan wanita itu beringsut duduk kemudian membuka lengannya. Dylan berlutut di hadapannya, memeluk Nayla dengan sangat erat. Hatinya kembali tercabik karena kenyataan bahwa ia tidak akan pernah bisa memiliki Nayla untuk selamanya.
“Aku merindukanmu,” kata Nayla di pelukannya.
Aku jauh lebih merindukanmu. Setiap detik di hidupku. Setiap menit. Setiap hari.
Dylan ingin mengatakan itu dengan keras. Namun, alih-alih mengatakannya, Dylan melepas pelukannya dan tersenyum menatap Nayla. Wanita itu masih secantik dulu seperti saat Dylan mengenalnya untuk pertama kali.
“Aku ikut berduka,” ulang Dylan lagi dengan lirih. Ia mencari-cari jejak kesedihan di mata Nayla. Namun, wanita itu menyembunyikannya dengan sangat baik.
“Aku baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja.”
Dan ketika Nayla tersenyum, Dylan tahu kenapa ia tidak pernah bisa mencintai wanita lain. Senyum itu telah menawan Dylan. Dan selamanya, hatinya akan selalu menjadi milik Nayla. Selamanya.