Bab 8
Kontrak Kerja
Adam menggunakan waktunya sebaik mungkin saat Ajeng sedang tidak ada di ruangannya. Ia segera meminum kopi yang sebenarnya masih cukup hangat. Ia meminumnya beberapa teguk sambil membaca dokumen yang harus ia tandatangani.
Saat pintu diketuk, Adam segera menaruh cangkir kopi yang sejak tadi dipegangnya ke atas piring kecil. Ia menjauhkannya kemudian menatap Ajeng yang baru saja menutup pintu ruangannya.
Ajeng melangkah menghampiri mejanya kemudian meletakannya di atas meja. "Silahkan, Pak."
Adam menerimanya kemudian mencicipi kopi yang baru tersedia untuknya. "Huh, panas." Adam yang tidak meniup kopinya merasakan panas di ujung lidahnya.
"Ini terlalu panas, Jeng!" Adam menggertak.
"Memang seperti itu, Pak. Saya kan pakai air panas," balas Ajeng, takut.
"Ini kepanasan, Jeng! Tadi kamu buat kopi dingin, sekarang kamu malah buat yang panas. Kamu enggak bisa ya buat kopi? Atau aku harus mengajari kamu dulu? Buat kopi aja enggak bisa!" bentak Adam sambil meletakan cangkir kopinya ke tempat semula. "Tuh kopi dingin kamu udah saya buang, sekarang bawa cangkirnya ke pantry terus buatin saya jus. Yang benar membuatnya! Kalau enggak bisa juga, kamu minta belajar dari teman sesama OG kamu."
"Baik, Pak." Ajeng mengambil cangkir pertama yang sudah kosong kemudian membalikan badannya. Menuruti perintah bosnya. Sehari dimulai saja sudah seperti ini, bagaimana dengan hari-hari selanjutnya selama 3 bulan? Tahu begini, Ajeng lebih rela dipecat sejak kemarin lusa.
Ajeng menggelengkan kepalanya saat pikiran keputusasaannya datang. Ia menyakinkan dirinya sendiri untuk bisa menjalani masa-masa sulitnya menghadapi Adam. Ia juga tidak ingin mengecewakan Iham, laki-laki itu yang sudah membuatnya bertahan. Laki-laki itu juga yang sudah membuatnya mendapatkan kesempatan kedua. Berkatnya Ajeng berada di sini, jadi ia tidak boleh mengeluh. Ia harus kuat sampai akhir.
"Loh, Jeng! Kamu kok balik ke sini lagi?" tanya Afif saat melihat Ajeng yang kembali masuk ke pantry. Afif sudah mendengar cerita Ajeng tentang kontrak kerjanya yang mendadak itu.
"Pak Adam sekarang minta jus, Fif."
"Ya ampun, Pak Adam tuh enggak punya hati banget sih. Kamu baru aja naik disuruh turun lagi buat bikin jus."
"Mau gimana lagi? Habis kata Pak Adam kopi yang kedua buatanku kepanasan. Padahal emang dianya sendiri asal minum. Harusnya kan ditiup dulu."
"Ya udah, sini biar aku aja yang bikin jus buat Pak Adam." Afif berdiri dan menyuruh Ajeng untuk duduk di kursi. Saat Afif mulai berbenah, ia pun bertanya. "Pak Adam mau dibikinin jus apa, Jeng?"
Ajeng tak ingat Pak Adam mau dibuatkan jus apa. Bahkan seingatnya, Pak Adam hanya mengatakan jus saja. "Emang biasanya Pak Adam buat jus apa, Fif? Tadi dia enggak bilang mau jus apa?"
Afif mengedikan bahunya kurang tahu. "Yang aku tahu, Pak Adam lebih sering mesen kopi yang gulanya satu sendok makan aja."
"Itu juga aku tahu," balas Ajeng. "Masa iya aku harus naik ke lantai 5 lagi buat nanyain ini ke Pak Adam? Dia pasti marahin aku lagi."
Afif mendesah. Ia membuka lemari es dan menemukan buah kesukaannya, stroberi. "Gimana kalau buat jus stroberi aja, Jeng?"
Ajeng tidak segera menjawab. "Boleh deh," jawabnya setelah semedi beberapa saat. "Tapi kalau salah gimana? Aku pasti dimarahi lagi."
Afif berhenti bergerak dan menatap Ajeng bingung. "Jadi bikin jus stroberi atau enggak? Kalau kamu takut dimarahi mending kamu ke ruangan Pak Adam lagi buat nanyain pesanannya secara jelas."
Ajeng langsung menggeleng. "Ya udah buatin aja. Biarin deh kalau nanti dimarahin, paling juga aku disuruh ke pantry lagi. Suruh bikin ulang."
"Terserah kamu," balas Afif. Ia pun mulai membuatkan jus stroberi untuk Pak Adam. Setelah jadi, ia pun meletakannya di atas meja. "Ingat ya, Jeng! Aku emang yang buatin jus stroberi ini, tapi aku enggak bertanggungjawab kalau Pak Adam marah ke kamu karena salah buat jus."
"Iya, Afif." Ajeng perlahan bangkit. Sebelum meninggalkan pantry sambil membawa jus stroberi itu, Ajeng pun mengucapkan terima kasihnya pada Afif yang sudah membantunya.
Afif mengacungkan jempolnya setelah itu ia pun mendapati Ajeng yang tidak terlihat lagi di balik tembok.
***
Ajeng memasuki ruangan CEO itu lagi dengan hati was-was. Ia yakin akan dimarahi lagi. Tapi anehnya sampai dirinya berada di dekat meja kerja itu Adam tak juga memarahinya.
Adam memicing saat melihat Ajeng yang menunduk begitu dalam di hadapannya. Ia bahkan mengira bahwa Ajeng lebih suka melihat lantai dibanding melihatnya yang memiliki hidung mancung standar laki-laki di Indonesia.
Adam berdehem sebentar tapi Ajeng kelihatan begitu kaget dan nyaris menjatuhkan benda yang dipegangnya. "Kenapa kamu bikin jus stroberi?" tanya Adam. Ia tadi memang berniat untuk tak mengatakan dengan jelas jus pesanannya. Tapi bagaimana pun juga jus yang dibawa Ajeng benar, ia memang menginginkan jus stroberi saat ini?
Ajeng menatap Adam bingung. "Ehm, saya cuma mengira, Pak," jawabnya asal.
"Bawa ke sini jusnya!" Adam memberikan intruksi kepada Ajeng untuk mendekat. Ia mengambil jus stroberi dari tangan Ajeng kemudian mencicipi jus yang dikiranya buatan Ajeng. "Ini baru yang namanya minuman."
Ajeng mendesah lega. Sepertinya Afif tidak salah membuatkan jus untuk Adam. Kelihatan sekali bagaimana CEO pemarah itu keenakan meminum jus buatan Afif.
"Kamu pintar juga buat jus."
"Makasih, Pak," jawab Ajeng. Dalam hati ia malah sangat berterima kasih pada Afif.
"Sekarang kamu ambil cangkir kopi itu terus berdiri di dekat lemari itu. Ingat! Jangan sampai kamu memecahkan cangkir lagi! Kalau kamu jatuhin, saya akan potong gaji kamu bulan ini."
Potong saja semuanya, Pak! Gumam Ajeng dalam hati. Ia pun segera mengambil cangkir kopi yang dimaksud Adam lalu membawanya. Ia pun menuju lemari kemudian berdiri seperti patung hidup.
***
Ajeng merasakan kaki dan tangannya yang pegal. Sejak sejam yang lalu ia sudah berdiri di dekat lemari. Meskipun terkadang bersandar, tapi dia benar-benar butuh duduk.
Adam berdehem dan Ajeng yang bersandar segera menegakan tubuhnya lagi. Laki-laki itu melirik dari sudut matanya kelakuan Ajeng. Bukannya berbelas kasih, ia malah merasa senang dan puas karena sudah mempermainkan bawahannya seperti itu.
Saat jam istirahat, Adam memang sengaja memperlambatnya. Ia baru ke luar saat Farah mendatanginya dan mengingatkannya pada janji temunya dengan dokter gigi.
Sepeninggalan Adam, Ajeng pun merasa plong. Ia tidak mendapat pesan apapun dari Adam. Itu berarti ia juga bebas dan berhak istirahat.
Ajeng meletakan cangkir yang dipegangnya sejak tadi di atas meja kerja Adam kemudian meregangkan tubuhnya. Setelah mendengar suara tulang belulangnya, Ajeng pun melangkah menuju pintu ruangan Adam. Ia hendak ke luar dan beristirahat bersama teman-teman seprofesinya.
"Pak Adam," ujar Ajeng kaku. Ia melihat bosnya berdiri di depan pintu, seperti hendak masuk.
"Saya lupa ngasih kamu pesan."
"Iya, Pak." Ajeng menjawab dengan gugup sambil menundukan kepalanya.
"Kamu boleh istirahat tapi sebelum saya berada di ruangan saya kamu harus berada di sana." Pak Adam menunjuk lemari di mana Ajeng tadi berdiri. "Kamu sedang saya latih memegang cangkir dengan benar hari ini! Jadi kamu harus merasakan baik-baik apa yang sedang kamu lakukan dan rasakan ketika memegang cangkir itu."
"Baik, Pak. Saya mengerti." Ajeng menjawab asal.
Adam mengedikan bahunya tidak peduli kemudian memberikan pesan kedua. "Gelas jus itu mending kamu bawa ke pantry untuk dicuci."
Ajeng mengangguk. Setelah Adam selesai bicara, ia pun membalik tubuhnya menuju lift di mana Farah sedang berdiri di dalam sana untuk mencegah lift tertutup. Sedangkan Ajeng membalikan tubuhnya kemudian mengambil gelas jus yang kini sudah kosong. Ia pun segera ke luar dari ruangan Adam.
***
Sesampainya di pantry, Ajeng dengan lemas meletakan gelas kotor yang dibawanya ke atas bak cuci. Ia kemudian mengambil air minum kemudian duduk di salah satu kursi yang masih kosong.
Tidak ada siapapun yang kini berada di pantry. Ajeng hanya sendirian. Hingga beberapa menit kemudian Gita masuk ke pantry sambil membawa sebungkus gorengan yang ia beli di kantin Bu Mut.
Saat melihat Ajeng, wajah Gita mendadak masam. Meskipun begitu, ia tetap duduk di hadapan Ajeng tanpa mengatakan sepatah katapun. Ia sudah mendengar cerita tentang Ajeng dari kedua rekan sesama profesinya.
Gita memakan gorengan di depan mata Ajeng dan sama sekali tidak menawarinya. Gadis berwatak pendengki itu berdecak kemudian bertanya pada Ajeng. "Kamu tuh ada hubungan apa sama Afif?"
Ajeng yang tidak menyangka akan ditanya oleh Gita pun terdiam sejenak. Ia baru menjawabnya selepas menghabiskan air putih yang diminumnya dari gelas. "Enggak ada hubungan apa-apa. Kita kan satu pekerjaan. Sama kayak Mbak Gita ke Afif."
Gita tertawa serak kemudian menggeleng. "Aku enggak percaya sama kamu."
"Kalau enggak percaya kenapa Mbak tanya? Aku sama Afif memang enggak ada hubungan apa-apa selain sebagai teman kerja."
"Udahlah. Capek juga aku tanya ke orang munafik." Gita bangkit berdiri kemudian memasuki ruang istirahat untuk OG.
Ajeng mendesah kemudian mengambil air putih lagi. Ia tidak peduli dengan ucapan Gita. Memang percuma juga menjawab pertanyaan orang yang membencinya, hasilnya akan sama, sama saja dikira bohong bagaimana pun jawabannya.
"Jeng!" panggil Afif tiba-tiba.
Ajeng segera berbalik. Ia duduk sambil tersenyum lebar saat melihat Afif.
"Gimana tadi Pak Adam?" tanya Afif. Ia membiarkan cangkir-cangkir kotor memenuhi bak cuci. Ia tidak sabar mendengar cerita Ajeng tentang Pak Adam. Entah mengapa? Selain membuat kesal, cerita Ajeng tentang Pak Adam itulah yang paling dinanti-nantikannya.
"Syukurlah Pak Adam suka sama jus buatan kamu, Fif. Dia sampai muji-muji. Aku bener-bener makasih banget ke kamu karena udah bantuin aku."
Afif merasa bangga. "Iya dong, siapa dulu yang buat? Afif," balasnya kemudian diiringin tawa.
"Terus dari tadi kamu ngapain aja di ruangan Pak Adam? Kok lama banget."
Wajah Ajeng langsung lemas ditanya seperti itu. "Aku disuruh jadi patung hidup tahu enggak?"
"Hah, masa? Serius kamu?" Afif tertawa kecil karena membayangkan hal itu.
"Jahat banget sih!" Ajeng memukul lengan Afif yang ada di atas meja. "Capek tahu jadi aku! Enggak bisa duduk dan disuruh berdiri terus sambil megangin cangkir. Terus kamu tahu apa yang dibilang Pak Adam sebelum istirahat? Dia bilang, aku sedang dilatih megang cangkir dengan benar, dia kayaknya mau bikin aku malu karena aku udah dua kali mecahin cangkir di ruangan dia."
"Itu cocok buat kamu, Jeng! Haha, aku setuju sama Pak Adam."
"Dasar nyebelin!"[]
***
bersambung>>>