Kopi

1598 Kata
Bab 7 Kopi Gadis itu merasa takut saat harus kembali ke kantor keesokan harinya. Kepercayaannya kepada Iham membuatnya berani untuk datang ke kantor lagi setelah insiden kopi secara berturut-turut yang dialami oleh dirinya. Ajeng membuang rasa malunya jauh-jauh saat dia sampai di pantry. Pak Didi sudah datang begitu pula dengan Afif. "Selamat pagi!" sapanya. Pak Didi dan Afif menoleh ke sumber suara. Mereka sama mendesah lega saat masih melihat Ajeng di hadapan mereka saat ini. "Ajeng, kemarin kamu ke mana saja?" tanya Afif sambil menatap gadis itu khawatir. "Kamu pergi tapi tas kamu masih berada di sini." "Enggak ke mana-mana, Fif. Aku cuma lagi nenangin diri aja kemarin. Aku juga masih di kantor." Afif mendesah lega, sedangkan Pak Didi berdecak. "Kamu ini bikin khawatir saya sama Afif aja," ujar Pak Didi dengan nada ketus. Meskipun ketus, Ajeng malah senang karena tahu Pak Didi dan Afif mengkhawatirkannya kemarin. "Telepon kamu juga enggak dibawa kan kemarin?" "Aku kan enggak pernah bawa hape kalau lagi kerja, Pak. Makanya aku tinggal di tas." "Ya udah, Pak. Yang penting kan Ajeng udah balik lagi," tukas Afif. Pak Didi perlahan tenang. Ia meminum kopi buatannya sendiri kemudian membicarakan hal lain. "Jeng, kemarin Pak Adam nyuruh saya supaya kamu temui dia hari ini di ruangannya." "Apa, Pak? Aku harus ketemu Pak Adam lagi?" Ajeng ingin berteriak rasanya. Kenapa Pak Adam harus memintanya menemuinya lagi. Setelah yang terjadi kemarin, Ajeng merasa sangat malu jika harus bertemu lagi dengan tuan CEO itu. Selain itu, ia takut jika nanti melakukan kesalahan lagi seperti kejadian 2 hari berturut-turut yang dialaminya. "Pak Adam udah berpesan seperti itu, Jeng. Kalau kamu menolak itu pasti lebih gawat," komentar Pak Didi. Ajeng tentu mengerti adab sopan santun yang ada. Bagi bawahan ia tentu tidak bisa menolak perintah atasan. "Nanti saya datang, Pak." Pak Didi mengangguk kecil. "Oh ya, Jeng. Bapak minta maaf soal kejadian 2 hari lalu ya? Gara-gara Bapak kamu hampir dipecat. Afif kemarin cerita ke Bapak." Ajeng hanya tersenyum tipis. "Itu emang kesalahanku sendiri, Pak. Pak Didi enggak perlu minta maaf." "Ya udah kalau gitu kamu ganti baju dulu, Jeng. Bapak sama Afif mau keliling dulu." Pak Didi bangkit berdiri. Ia meletakan gelas kecil yang dipakainya untuk ngopi ke bak cuci kemudian meninggalkannya begitu saja. Ia dan Afif pun pergi keluar pantry. *** Ketika jam 10 pagi, Ajeng akhirnya menemui Adam di ruangannya. Dengan keberanian yang tak seberapa ia pun mengetuk pintu ruangan Adam sampai perintah masuk dikeluarkan. Adam terlihat sedang duduk di balik meja kerjanya saat Ajeng memasuki ruangan itu. Ajeng berjalan dengan pelan kemudian berdiri diam di dekat meja Adam. "Maaf, Pak. Ada perlu apa ya sampai Bapak memanggil saya ke mari?" Mendengar suaranya, Adam pun berhenti bergerak untuk beberapa saat. Ia menutup map yang sedang dibacanya kemudian menatap gadis di hadapannya. Ia menatap cukup lama penampilan Ajeng, terakhir ia melihat wajah gadis itu lekat-lekat. Ia bukannya sedang berpikiran nyeleneh, hanya saja saat ini ia sedang memikirkan ucapan adiknya. Benarkah bahwa Ajeng mirip dengan Jingga? Adam menggeleng kecil. Ia sama sekali tidak mirip dengan Jingga. Sama sekali tidak. Menurutnya, adiknya hanya mengada-ada karena rasa sukanya pada gadis di hadapannya saat ini. "Duduk!" ujarnya datar. Ajeng segera duduk di kursi yang berada di hadapan Adam. Setelah itu, Ajeng kembali menunduk takut. Ia sama sekali tidak mengatakan apapun. "Nama kamu siapa?" tanya Adam lagi. "Ajeng Hidayah, Pak," jawabnya pelan. Adam mengangguk kecil. Datanya benar. "Kamu tahu, kenapa kamu sampai saya panggil?" Ajeng menggeleng. "Memangnya ada apa, Pak?" "Saya suruh kamu kemari cuma minta kamu untuk tanda tangan ini." Adam menyerahkan dokumen kontrak kerja selama 3 bulan mendatang ke hadapan Ajeng. Perlahan Ajeng mengambil map yang berada di hadapannya. Ia membaca kontrak itu baik-baik dan menyadari pekerjaannya tidak akan tetap seperti kawan seprofesinya. Ia hanya akan bekerja selama 3 bulan. Benar-benar waktu yang sangat singkat. Ajeng mendongakan kepalanya saat menatap Pak Adam. Ia sepertinya tidak punya pilihan lain, ia akan bekerja di sana selama 3 bulan sebelum akhirnya mencari pekerjaan baru di luar sana. "Kamu harus paham sejak awal, bahwa selama 3 bulan masa kerja, kamu akan menjadi OG yang bekerja di ruangan saya." "Maksud Bapak bagaimana?" tanya Ajeng, kurang paham maksud bos besar di depannya. "Kamu akan bekerja di ruangan saya, setiap hari pada hari kerja. Kamu akan membersihkan ruangan saya, membantu saya membawakan berkas-berkas penting ke meja sekertaris saya, dan menyiapkan konsumsi saya. Mudah bukan?" "Kenapa harus begitu, Pak?" tanya Ajeng dengan nada protes. Adam terkekeh. "Suka-suka saya. Ini kantor saya, saya berhak membuat peraturan sesuai kehendak saya. Kalau kamu enggak mau menerima kontrak ini, silahkan ke luar dari ruangan saya! Dan kamu ambil pesangon kamu yang tidak seberapa itu. Kamu baru bekerja selama seminggu kan?" Ajeng menunduk dalam-dalam. "Kalau kamu setuju, kamu bisa tanda tangan sekarang juga." Adam menyerahkan penanya. Ajeng yang tidak memiliki pilihan lain pun segera mengambil pena itu. Ia membuka penutup pena kemudian menggoreskan tanda tangannya di atas materai. "Sudah, Pak." Adam kembali mengambil berkas kontrak yang sudah ditandatangani itu kemudian memasukannya ke dalam laci dengan perasaan bangga. Lihat nanti apa yang akan kulakukan agar kamu enggak betah bekerja di sini? "Nah," Adam memperlihatkan wajah devil-­nya. "Karena kamu sudah menandatangani kontrak itu, maka dengan ini kamu sudah menjadi OG pribadi saya selama di kantor. Sekarang mending kamu ke luar, aku mau secangkir kopi dengan gula satu sendok makan saja." Ajeng perlahan bangkit dari tempatnya duduk. Ia merasa sangat lemas. Setelah ke luar dari ruangan CEO itu, ia pun segera menuju pantry. *** Baru saja Ajeng menutup pintu ruang kerjanya, Adam langsung tertawa lebar seorang diri. Ia kelewat senang tentang perjanjian itu. Ia akan menyiksa gadis itu dengan mudah. Entahlah, tapi sejak tahu adiknya menyukai gadis itu dan sangat membela-belanya, ia malah makin ilfeel padanya. Belum lagi insiden 2 hari berturut-turut yang terjadi. Itu juga menjadi alasan kenapa dirinya begitu membenci gadis bernama lengkap Ajeng Hidayah itu. Adam bersyukur karena dirinya tidak seperti adiknya yang mudah kasihan. Bahkan saat melihat wajahnya tadi, bukannya merasa iba, Adam malah ingin sekali tertawa terbahak-bahak. Menurutnya, wajah Ajeng sangat kocak. Pintu ruangan kembali diketuk dan Farah membuka pintunya beberapa saat kemudian. "Permisi, Pak Adam." Adam yang tadinya tertawa pun perlahan kembali tenang. "Ada apa, Farah?" Farah berjalan mendekati meja kerja Adam terlebih dahulu sampai akhirnya ia meletakan beberapa map di atas meja. "Itu berkas-berkas yang harus Bapak tanda tangani dari bidang personalia, Pak." Adam mengangguk kecil. "Baik." "Kalau begitu saya permisi lagi, Pak." Farah kembali membalik tubuhnya dengan gerakan lamban. Ia berharap bosnya melihat itu dan menyadari rasa tertarik yang diperlihatkannya. Tapi sampai ia melangkah jauh, tidak ada teguran dari bosnya. Farah cemberut saat memegang daun pintu. Percuma saja mengharapkan Adam. "Farah?" panggil Adam. Farah kelewat senang saat akhirnya Adam meresponnya. "Iya, Pak." Adam memicingkan matanya saat mendengar nada suara Farah yang berlebihan. Tapi tak berapa lama kemudian ia pun mengedikan bahunya kemudian melanjutkan ucapannya. "Tolong atur pertemuan saya dengan dokter gigi siang ini." Senyum bahagia Farah segera luntur. "Baik, Pak. Ada lagi?" Adam menggeleng. "Itu saja." Farah pun kembali membalik tubuhnya. Ia melangkah ke luar dari ruangan Adam kemudian menjerit-jerit kecil. "Dasar cowok enggak peka!" gerutunya kesal. *** Ajeng kembali ke ruangan CEO sambil membawa baki berisi cangkir kopi pesanan Adam. Adam yang melihatnya segera memberi intruksi pada gadis itu. "Coba kamu taruh baki itu di atas sana." Ajeng menyipitkan matanya bingung. " Di sini, Pak?" tanya Ajeng sambil meletakan cangkir kopi ke atas meja Adam. Setelah itu ia meletakan baki yang dibawanya ke atas lemari. "Coba lebih dorong lagi. Itu terlihat dari sini." Ajeng berjinjit kemudian makin mendorongnya ke dalam. "Sudah, Pak?" "Ya, cukup," balas Adam hingga Ajeng berhenti. "Sekarang kamu pegang cangkir kopi saya lagi dan berdiri di dekat lemari itu." Seketika Ajeng terdiam. "Maksud Bapak? Saya harus apa, Pak?" Adam mengedikan bahunya tidak acuh. "Saya yakin kamu enggak tuli. Cepet ambil cangkir ini terus berdiri di sana dan jangan bergerak kecuali saya suruh." Ajeng tidak punya pilihan lain. Ia mengambil cangkir yang tadi diletakannya di atas meja Adam kemudian membawanya lagi. Ia pun berdiri di dekat lemari. Adam yang melihat hal itu rasanya ingin sekali tertawa. Sungguh lucu ketika dirinya berhasil mengerjai gadis itu. Rasakan kamu! Akhirnya sambil mengerjakan tugasnya untuk menandatangani berkas, ia pun menikmati saat-saat dimana Ajeng kelihatan begitu tersiksa untuk pertama kalinya. "Ajeng?" panggil Adam berniat menggoda Ajeng. "Iya, Pak." "Kemarikan kopi saya. Saya butuh minum sekarang juga." "Baik, Pak." Ajeng pun melangkah menghampiri meja Adam. Ia meletakan cangkir yang dipegangnya ke atas meja kemudian laki-laki itu meminumnya. "Kopinya sudah agak dingin. Aku minta kamu buatkan lagi. Dan sekalian kamu tawari Farah, sekertaris saya juga. Mungkin dia juga haus." "Baik, Pak." Ajeng hendak mengambil cangkir kopi yang berada di atas meja Adam tapi pria itu malah menjauhkannya. "Biarkan kopi yang ini di sini. Kamu mending cepat ke luar dan buatkan saya kopi yang baru." Ajeng mengangguk kemudian berbalik. Ia segera ke luar dari ruangan Adam kemudian menyapa sekertaris Adam. "Bu Farah?" Farah yang namanya disebut segera mendongak. "Ada apa?" "Saya disuruh Pak Adam tadi. Barangkali Ibu mau minum? Sekalian saya akan membuatkannya juga." "Pak Adam yang nyuruh kamu?" Farah bertanya dengan bayangan yang kelewat mengada-ada. "Ya udah kamu bikinin seperti pesanannya Pak Adam. Dan ingat! Enggak pakai lama." Ajeng mengangguk sekilas. Ia pun segera pergi. Selama perjalanan menuju pantry, ia kelihatan begitu lemas. Ia juga tidak mengerti dengan bosnya itu, padahal saat ia memegang cangkir kopi itu, ia masih merasakan panas yang sedang. Tapi anehnya, Adam malah mengaku bahwa kopi itu sudah dingin. Mungkin lidah Pak Adam berbeda dengan lidah kebanyakan orang, pikir Ajeng berpikiran positif.[] *** bersambung>>>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN