Bab 6
Hujan
Iham melihat jam tangannya. Ia sudah berada di sana nyaris setengah jam untuk menemani Ajeng. Meskipun cukup lama bersama, mereka jarang melakukan pembicaraan. Iham mengerti suasana hati gadis di sampingnya sedang buruk, jadi ia lebih memilih diam dan menemani saja.
"Udah jam berapa, Mas?" tanya Ajeng saat melihat Iham yang memperhatikan jam tangannya.
"Jam 4 sore, Jeng," jawabnya pendek.
"Mas kok dari tadi di sini. Mas bukannya harus kerja?" tanya Ajeng lagi. Suaranya sudah melembut, dan Iham yakin bahwa gadis di sampingnya sudah cukup tenang.
"Aku bisa kerja besok. Lagipula sejak jam 1 siang tadi Pak Adam ke luar kantor buat ketemu client." Iham tersenyum lebar, memperlihatkan gigi serinya yang putih bersih.
"Mas Iham nih! Itu namanya menyepelekan kewajiban yang seharusnya ditunaikan. Mas enggak mau kan kalau sampai dipecat kayak aku?"
Iham mengangkat tangannya di udara. Ia mengusap rambut gadis di sebelahnya dengan lembut. "Kayaknya jangan dulu deh. Ayahku bisa marah kalau tahu aku dipecat dari kantor."
"Ayah Mas Iham galak ya emangnya?" tanya Ajeng lagi.
Iham menggeleng kecil sambil tersenyum. "Ayahku dulunya anak tentara, jadi dia sangat tegas. Dia selalu memerintah aku dan kakakku." Iham terdiam sejenak, ia mengingat Adam yang begitu penurut.
Ajeng bisa membayangkan bagaimana Ayah Iham yang seperti tentara mendidik lelaki di sebelahnya. Pasti berat untuk Iham. "Mas Iham punya kakak berapa?"
"Cuma satu, Jeng. Laki-laki. Kita beda 3 tahun."
"Lumayan deket ya, Mas. Kalau adik, Mas Iham punya?"
Iham menggeleng. "Aku dua bersaudara."
Ajeng merasakan rintik gerimis di tangannya kemudian mengusapnya. "Nanti kapan-kapan Mas harus kenalin aku ke kakak Mas Iham ya? Aku yakin kakak Mas Iham pasti enggak kalah ganteng dan baik kayak Mas Iham."
Iham bukannya menjawab malah tertawa. Laki-laki itu menertawakan ucapan Ajeng. Karena nyatanya, kakaknya sama sekali enggak baik seperti yang dikatakannya. Bahkan masih diingat dengan jelas bahwa kakaknya lah yang sudah membuat Ajeng menangis 2 hari ini.
"Mas Iham kok malah ketawa sih," protes Ajeng.
Iham mencubit kedua pipi Ajeng hingga gadis itu mengeluh kesakitan. "Kamu tuh ngegemesin banget sih, Jeng. Polos banget tahu enggak."
Ajeng berhasil melepaskan tangan Iham kemudian membalas laki-laki di sampingnya. Sambil berjinjit, ia mencubit pipi Iham yang tirus. "Mas Iham nyebelin."
Keduanya sama-sama tertawa kemudian terdiam lagi untuk beberapa saat. Ajeng merasakan gerimis makin besar dan mulai khawatir mereka akan basah kuyup.
"Mas, kita pindah yuk! Cari tempat berteduh dulu." Ajeng melihat ke samping kanan dan kirinya. Tiba-tiba ia melihat tempat yang sepertinya cocok untuk berteduh sementara waktu. Tanpa banyak bicara lagi, Ajeng pun menggenggam tangan Iham. Ia menarik pria itu menuju tempat berteduh.
Ajeng melepaskan tangan Iham kemudian membenarkan bajunya. "Udah basah deh," gerutunya.
Iham menoleh ke arah Ajeng sejenak kemudian melihat dirinya yang saat itu sedang memakai kemeja. Tak berapa lama, hujan turun makin deras. Ajeng bergerak mundur sedangkan Iham malah menengadahkan kedua tangannya. Seolah sedang berdoa, ia mendapatkan rahmat itu; air dari langit.
"Mas Iham, nanti sakit loh! Jangan main air hujan!"
Iham tertawa kecil. "Kamu kayak Mamaku. Ngelarang-ngelarang aku main air hujan. Nih rasain!" Iham sengaja menyipratkan air hujan yang ditadahinya ke arah wajah Ajeng.
Ajeng yang awalnya diam perlahan mengikuti Iham. Ia menyiprati wajah Iham dengan air hujan sambil tertawa riang. Perlahan hatinya semakin lega, ia bahkan sudah melupakan masalah pekerjaannya. Ajeng bahkan berpikir, pekerjaannya sama sekali tidak penting jika dirinya bisa begitu dekat dengan Iham.
"Udah dong, Mas. Nih bajuku udah basah semua." Ajeng menyerah beberapa saat kemudian. Iham masih dengan jahil menyiprati Ajeng meskipun gadis itu tidak membalas.
Iham perlahan berhenti sesuai intruksi Ajeng. Bekas tawa lebarnya masih berada di wajahnya. "Kamu udah seneng lagi sekarang?"
"Hehe, udah." Ajeng tersenyum bahagia. "Makasih ya, Mas. Udah jadi teman aku. Mas bahkan mau menemaniku. Enggak peduli kalau aku cuma OG biasa, eh maksudku mantan OG."
Iham perlahan mengangguk. "Sama-sama. Aku juga seneng karena bisa nemenin kamu kayak sekarang. Aku jadi merasa seperti anak remaja lagi, Jeng."
"Mas ada-ada aja. Aku juga kan udah enggak remaja lagi. Sejak lulus SMA aku udah mikir matang-matang supaya bisa bersikap sedewasa mungkin."
Iham meragukan ucapan Ajeng. "Oh ya, besok kamu tetap berangkat ya ke kantor ini."
Dengan wajah lemas, Ajeng menggeleng. "Aku enggak bisa, Mas. Aku kan sudah dipecat."
Senyuman Iham tampak membuat Ajeng bingung. Ditemani suara hujan lebat, Iham pun mengatakan sejujurnya. "Sebenarnya Pak Adam enggak jadi mecat kamu, Jeng. Aku berhasil lagi untuk membujuk Pak Adam."
"Apa?" Ajeng merasakan jantungnya memompa lebih cepat. "Mas Iham pasti bercanda kan?"
Gelengan mantap itu membuat Ajeng menutup mulutnya tidak percaya.
"Mas beneran enggak bohong?"
Iham menggeleng lagi sambil tersenyum simpulnya.
"Mas pasti bercanda?"
"Enggak!"
"Serius?"
Iham pun tertawa. "Lima rius."
"Ya ampun, aku enggak nyangka. Mas, ini beneran? Aku enggak jadi dipecat lagi? Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah." Ajeng benar-benar merasa bersyukur. Tapi sebentar saja euforia itu hilang diganti rasa penasaran dan bingung. "Kok bisa sih Mas Iham bikin Pak Adam yang super duper galak dan pemarah itu berubah pikiran. Kalau sekali itu wajar, tapi dua kali?" Ajeng menatap Iham dengan serius. "Sebenarnya Mas Iham sama Pak Adam ada hubungan apa?"
Iham menarik napasnya dalam-dalam kemudian mendesah. "Aku enggak ada hubungan apa-apa sama Pak Adam. Murni hubungan atasan dan bawahan di kantor saja, Jeng," jawab Iham berbohong. Ia tidak mau Ajeng tahu hubungan antara keduanya. Setidaknya bukan sekarang. Ia ingin Ajeng melihatnya sebagai teman biasa, bukan teman yang merupakan adik seorang CEO yang punya pengaruh besar. Meskipun pengaruhnya sudah terlihat jelas untuk membantu Ajeng saat ini.
"Tapi gimana mungkin Pak Adam bisa luluh? Gimana caranya, Mas? Bahkan tadi Pak Adam bilang enggak mau lagi melihat aku di kantornya mulai besok. Pak Adam kelihatan serius dan penuh tekad, Mas."
"Jeng, Tuhan itu bisa mengubah hati seseorang dengan mudah. Mungkin aja berkat ucapanku, Pak Adam bisa luluh dan akhirnya mengubah keputusannya."
"Masa sih? Emangnya Mas Iham tadi bicara apa ke Pak Adam?"
Iham terdiam sejenak. Ia berpikir keras kemudian memulai sesi kebohongannya yang lain. "Aku cuma bilang, kalau kamu tidak sengaja melakukan kecerobohan itu. Aku juga sedikit improv tentang keluarga kamu di kampung. Aku bilang kamu adalah tulang punggung keluarga kamu saat ini. Dan kalau kamu dipecat, keluarga kamu enggak bisa makan. Akhirnya Pak Adam pun menarik keputusannya untuk memecat kamu dan aku diminta langsung untuk mengatakan semua ini ke kamu. Satu lagi, Pak Adam kayaknya bangga ke kamu. Dia kelihatan salut banget ke kamu karena sudah menjadi tulang punggung keluarga."
"Aku bingung harus merasa senang atau sedih, Mas."
Jawaban Ajeng tak ayal membuat Iham ikutan bingung. "Aku kira kamu akan senang karena enggak jadi dipecat, Jeng."
"Aku seneng, Mas. Tapi, aku merasa sedih karena gara-gara aku Mas harus berbohong seperti itu."
Iham mengusap bahu Ajeng dengan lembut. "Aku enggak apa-apa. Lagipula aku bohong demi kebaikan juga."
Ajeng merasa terharu. "Mas Iham, sekali lagi terima kasih ya. Aku bersyukur banget karena bisa kenal Mas Iham. Mas Iham sangat baik ke aku."
"Sesama manusia kita memang harus saling tolong menolong, Jeng. Kamu enggak perlu merasa sungkan." Selain itu, Iham sadar bahwa bayang-bayang Jingga tetap mengikuti Ajeng dan membuatnya bersikap demikian.
***
Petang itu, Ajeng dan Iham pulang bareng untuk pertama kalinya. Mereka sengaja pulang selarut mungkin hingga tidak ada karyawan lain yang harus menemukan mereka dalam keadaan yang masih basah.
"Jeng, kamu pakai jaketku aja." Iham melepaskan jaket kulit yang dipakainya kemudian menyerahkannya kepada Ajeng. Mereka saat ini berada di parkiran, bersiap untuk pulang. Iham akan mengantarkan Ajeng pulang.
"Enggak usah, Mas. Lagipula aku udah ganti baju. Lebih baik Mas Iham sendiri yang pakai biar enggak masuk angin."
Iham terkekeh. Tidak ada kata masuk angin karena hujan-hujanan dalam rumus hidupnya. Sejak kecil ia selalu berkawan dengan hujan. "Udah kamu pakai aja. Jangan nolak!"
Akhirnya mau tidak mau Ajeng menerima jaket milik Iham. Saat laki-laki itu mulai bersiap-siap dengan motor bebeknya, Ajeng pun segera memakai jaket milik Iham. Di tubuhnya, jaket Iham kelihatan begitu kebesaran. Meskipun begitu, Ajeng senang karena dibalut jaket milik Iham-lah yang kini mampu membuatnya merasa hangat dan nyaman.
"Ayo naik, Jeng!" Iham berseru sambil membuka kaca helm yang dipakainya.
Ajeng pun naik ke belakang jok yang masih kosong. Gadis itu duduk dengan posisi menyamping.
"Enggak bonceng laki-laki aja, Jeng?"
"Gini aja, Mas."
"Ya udah, kamu pegangan ya."
Ajeng mengangguk. Ia memegang bagian motor yang berada paling belakang dengan erat.
"Jeng, kamu ngekost sama siapa?" tanya Iham. Ia tidak tahan untuk saling diam selama perjalanan menuju kostan Ajeng.
"Aku ngekost sama Mbak Inggrid, Mas."
"Teman kamu dari kampung juga?"
Ajeng menggeleng. "Bukan, Mas."
"Terus?" tanya Iham lagi, belum puas dengan jawaban singkat Ajeng. Padahal kan ia ingin mengobrol.
"Kita ketemu di tempat kost, Mas. Emang saat itu kamar kost Mbak Inggrid cuma dipakai sendirian. Jadi ibu kost suruh aku tinggal sekamar sama Mbak Inggrid. Awalnya sih emang canggung tapi lama kelamaan kita malah jadi teman akrab."
"Waktu aku kuliah juga aku punya temen kayak gitu. Ketemu di tempat kost terus jadi sahabat. Terus Inggrid itu kerja dimana, Jeng?"
"Mbak Inggrid kerja di Bank Merah Putih, Mas."
Iham mengangguk-angguk kecil. Ia kemudian terdiam dan mulai fokus menyetir. Ia melajukan motornya sedikit lebih cepat agar segera sampai ke tempat kost Ajeng.
Mereka sampai 15 menit kemudian. Iham melihat keadaan tempat kost Ajeng sebentar kemudian menatap Ajeng yang sudah berdiri di sampingnya.
"Jaketnya enggak usah dilepas," ujar Iham saat melihat Ajeng yang hendak melepaskan jaketnya. "Kamu pakai aja. Kalau sempet nanti baru balikin ke aku."
Ajeng yang tidak tahan ingin masuk ke kamar pun mengangguk. "Makasih ya, Mas, udah nganterin aku sampai kostan."
Iham mengangguk. "Sama-sama. Aku langsung pulang ya, Jeng. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam," Ajeng pun memperhatikan terus motor Iham yang perlahan menjauh. Setelah motor itu makin menjauh, ia pun melangkah memasuki rumah. Ia tidak sabar untuk mandi dan memakai pakaian hangat.[]
***
bersambung>>>