2. Sagara

1402 Kata
Aku memasang mahkota kecil dengan hiasan batu-batu permata berwarna putih yang memancarkan kilauannya saat terkena cahaya lampu pada kepala Bia, calon pengantin wanita. Senyum di wajahnya tak mau hilang sejak aku mulai merias wajahnya. Struktur tulang wajahnya yang sudah bagus, membuatku tidak memakan waktu lama untuk meriasnya. Hanya sedikit contour di area pipinya agar terlihat tirus. Kata orang, seorang wanita akan terpancar kecantikannya saat menikah, dan itu terbukti pada Bia. Wajahnya yang merona dan matanya yang berbinar melengkapi hasil make up-ku dan membuatnya terlihat sempurna. "Lipstiknya sudah oke?" tanyaku padanya. Bia memandang wajahnya di cermin besar. Senyum manisnya membuatku yakin jika dia menyukai hasil riasanku. Dari sebelum mulai meriasnya, dia sudah mengatakan permintaannya padaku. Biasanya aku paling nggak suka dengan klien yang cerewet dan banyak maunya. Padahal mereka tinggal diam dan aku akan memulai pekerjaanku dengan baik. Tapi berbeda dengan Bia, walaupun dia cerewet, aku nggak merasa terganggu. "Sudah bagus Mbak, aku suka banget," pujinya. Lipstik pink muda memang cocok dengan warna kulitnya yang cerah. Aku mengambil sehelai anak rambutnya dan menyemprotkan hair spray agar rambutnya kembali rapi. Aku sangat senang mendengar komentar klien setelah menyelesaikan riasan mereka. Mendengar mereka mengatakan hal yang positif membuatku sangat bersemangat walaupun aku sendiri sudah kucel dan nggak banget jika disandingkan dengan mereka. Wajar saja, kan aku sudah berusaha dengan keras dari subuh tadi. Pernikahan Bia mengusung konsep modern dan elegant, sama sekali nggak ada sentuhan tradisional. Karena kata Bia acara pernikahan secara adatnya telah dilangsungkan seminggu yang lalu di kediaman calon suaminya. Rambut pendek Bia sengaja kugerai dan diberi kesan ikal di ujungnya. Mahkota kecil di kepalanya sudah cukup membuatnya terlihat manis. "Acaranya mulai jam berapa?" tanyaku sambil membereskan peralatanku yang bertebaran di kasurnya. "Satu jam lagi. Mbak mau langsung pulang?"tanyanya sambil terus memperhatikan wajahnya di cermin. "Nggak dong, aku harus mastiin riasan calon pengantinku awet sampai acara selesai," sahutku sambil menatapnya penuh perhatian. "Kebetulan ada satu kamar kosong di hotel ini, Mbak. Awalnya aku pesan buat kakakku, tapi dia ngotot mau pulang dan tidur di rumah," katanya. "Nggak deh, aku juga mau langsung pulang. Lagipula jarak Magelang Yogya dekat banget," sahutku. Aku menepuk-nepuk gaunnya perlahan dan memastikan tidak ada yang terlewat oleh mataku. Gaun berwarna pink pastel ini begitu cantik di tubuh mungil Bia. Warna pink-nya membuat suasana terasa romantis. "Tapi nanti kemalaman loh Mbak," ucapnya. "Tenang aja, aku kan bawa dua asisten yang bakal nemanin aku sampai pulang ke Yogya," ujarku meyakinkannya. Aku baru mengenal Bia saat dia menghubungiku untuk berdiskusi tentang make up dan gaun untuk pernikahannya. Dan mungkin karena Bia memang ramah, aku merasa sudah sangat dekat dengannya. Makanya aku nggak menolak waktu Bia memintaku datang ke Magelang untuk meriasnya. Biasanya aku akan berpikir dua kali mendatangi klien di luar kota apalagi jika acaranya sampai larut malam. Suara ketukan pintu membuatku dan Bia saling berpandangan. "Kok lama banget," ujar sesosok lelaki yang muncul dari balik pintu. Aku mengernyit tidak suka, tiba-tiba datang dan mengatakan hal yang membuatku tersinggung, memang dia bisa kalau kusuruh masangin bulu mata palsu? Seenaknya saja bilang lama. "Mas Gara!" jerit Bia tertahan. Aku melirik sekilas pada lelaki yang menghampiri Bia. Dia menatap Bia dari ujung kaki hingga kepala, seolah ada yang salah dari hasil riasanku. "Cantik nggak, Mas?" tanya Bia padanya. Lelaki itu berguman tidak jelas, tidak tahu apa dia sedang memuji atau pun malah tidak suka. "Oiya Mas, ini Mbak Aruna. Mbak, ini Mas Sagara, Kakak tertuaku. Biasanya kupanggil Mas Gara," kata Bia memperkenalkanku dengan lelaki itu. Aku tersenyum menanggapinya, sedangkan lelaki yang diperkenalkan Bia bernama Sagara itu hanya bergumam. Nggak tahu deh, mungkin dia grogi atau memang seperti itu sifatnya jika bertemu orang baru. "Oh! Mbak, dandanin Mas Gara dong. Masa lecek kayak gini," pinta Bia tiba-tiba. Kontan aku dan Gara saling berpandangan. Dandanin? Yang benar aja? Begitu yang aku tangkap dari perubahan wajahnya. "Jangan aneh-aneh deh, Bi," ujarnya tidak suka. "Ayo, aku temanin ke ballroom, acara sebentar lagi dimulai, kan," lanjutnya mengalihkan pembicaraan. "Sedikit aja ya, Mas. Rambutnya ditata biar rapi dong, Mbak," pinta Bia nggak memedulikan keenganan Gara. Perkataan Bia ada benarnya juga, lelaki ini tidak seperti akan menghadiri pernikahan adiknya. Dia lebih mirip abang-abang penjual siomay yang frustrasi dagangannya nggak laku, rambut berantakan, wajah berminyak dan lengan kemeja yang digelung sembarangan. "Nih, ganti dulu bajunya." Bia mengambil jas yang tergantung di lemari dan menyerahkannya kepada Gara. Wajahnya tampak tidak senang, tapi mau nggak mau dia masuk ke kamar mandi dan mengganti pakaiannya. "Mas Gara gitu deh, suka cuek sama penampilannya,'" ujar Bia. Nggak lama Gara keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar, sepertinya dia menyempatkan diri untuk mencuci mukanya. Lumayan, wajahnya nggak mengecewakan. Sekarang dia terlihat lebih menarik, walaupun bibirnya tetap berkerut, tidak sedikitpun menyunggingkan senyuman. "Nah gitu dong. Mbak, tolong rapiin rambutnya Mas Gara dong biar nggak kelihatan kayak om-om," pintanya sambil nyengir. Gara menurut saat dipinta Bia untuk duduk di kursi rias, terdengar helaan napasnya dan dapat kusimpulkan jika mas-mas berjambang tipis ini sangat keberatan dengan permintaan adiknya. "Mas Gara ini kerja di Yogya juga loh," cerita Bia. Aku sedang mengoleskan gel rambut ke tanganku dan baru akan menyentuh rambutnya. "Oya?" tanyaku bersemangat. "Iya." sahutnya. Akhirnya aku bisa melihat matanya yang terlihat lebih hidup daripada tadi. "Kerja di mana, Mas?" tanyaku. "Di Nutri Farma," sahutnya menyebut nama salah satu perusahaan vitamin di Yogya. "Dari Yogya?" tanyanya kemudian. Aku menggangguk sambil meratakan gel ke rambutnya. Dengan rambut yang terkesan basah seperti ini, membuatnya terlihat lebih segar. "Mbak Aruna pulang sama Mas Gara aja," cetus Bia tiba-tiba. Kontan aku langsung menggeleng, menolak permintaannya. "Mobilku nanti siapa yang bawa?" kataku sambil tersenyum. "Bukan, maksudku Mas Gara yang pulang sama Mbak. Mobilnya Mas mogok kan tadi?" tanyanya memastikan. "Nggak apa-apa, sudah masuk bengkel Nanti malam mungkin sudah beres," sahutnya. "Kalau mau bareng, boleh kok. Penumpangku cuma dua orang asistenku," tawarku. Dia menggeleng yakin. "Nanti aku kasih nomor Mbak Aruna deh, siapa tahu Mas berubah pikiran," ujar Bia akhirnya. "Pelembab wajah nggak apa-apa, kan Mas?" tanyaku meminta ijin memberikan pelembab di wajahnya. Dia menggeleng lagi, kali ini ditambah senyum masamnya. "Oke kalau gitu sudah cukup," kataku dan mempersilakan Gara melihat penampilannya di cermin. Perpaduan jas, rambut klimis dan jambang tipis membuatnya terlihat berbeda dengan penampilannya tadi. Sekarang abang penjual siomay itu telah berganti dengan mas-mas metroseksual. "Nala masih sakit?" tanya Bia tiba-tiba pada Gara dan selanjutnya mereka terlibat percakapan yang nggak kumengerti. Aku kembali membereskan peralatanku dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Hayu dan Lian, dua orang asistenku mungin telah selesai merias keluarga pengantin. "Aku ke kamar sebelah dulu ya, siapa tahu ada yang butuh bantuan," ujarku sambil berusaha membawa sekotak peralatan make up-ku yang lumayan berat. "Mau dibantu?" tanya Gara tiba-tiba. Aku menatapnya nggak percaya. Tapi raut wajah seriusnya membuatku mengangguk mengiyakan. Oke, akan kutambah poin plusnya, selain berwajah menarik, dia juga lelaki yang baik hati. Setelah acara ini selesai, mungkin boleh aku mengajaknya nongkrong di kedai kopi sebentar. Oke, tenanglah Aruna, bersikaplah jual mahal seperti yang sering kulakukan pada laki-laki lain. "Nggak perlu, Mas. Nggak berat kok," tolakku sambil menyeret kotak make up-ku yang biasanya hanya mampu dibawa oleh Hayu dan Lian. Sepertinya kali ini aku salah strategi karena setelahnya dia tampak nggak peduli dengan kesulitanku. *** Malam sudah larut saat aku keluar dari hotel tempat acara pernikahan Bia dilangsungkan. Aku segera menuju mobilku yang terparkir tak jauh dari pintu keluar. Hayu dan Lian mengikuti dari belakang. Wajah mereka tampak lelah dan hal yang sama juga sedang aku rasakan. "Apa kita nginap aja malam ini?" tanyaku pada mereka. "Terserah Mbak, kami ngikut aja," sahut Lian. "Oke kita pulang, tapi janji temanin aku selama perjalanan, jangan tidur," ujarku. Hayu dan Lian mengangguk Langkahku terhenti saat mendengar suara deheman seseorang. Hayu dan Lian kontan saling berpandangan. "Ohh...Mas Gara!" seruku kaget saat melihat sesosok lelaki sedang berjalan mendekat ke arahku. "Boleh aku ikut pulang ke Yogya? Mobilku belum beres diperbaiki," pintanya. "Boleh, Mas. Ayo, kami juga langsung mau pulang kok," sahutku. "Biar aku yang bawa," katanya meminta kunci mobil. Aku duduk di sebelahnya dengan canggung, padahal aku sedang berada di mobilku sendiri. Sedangkan Hayu dan Lian sudah tertidur nggak lama mobil meninggalkan hotel. Aku menghela napas, padahal tadi sudah kuwanti-wanti agar menemaniku selama perjalanan. Tapi sudahlah, yang bawa mobil kali ini juga Gara. "Kok buru-buru mau pulang, Mas?" tanyaku basa-basi. " Iya, harus pulang malam ini. Nala demam dan hanya berdua dengan pengasuhnya," sahutnya sambil matanya berkonsentrasi pada jalan didepannya. "Nala?" tanyaku bingung. "Putriku," sahutnya. Oke, lelaki beristri tidak masuk dalam targetku. Coret. (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN