3. Tetangga Baru

1082 Kata
Aku membuka jendela ruang tamu sambil mengernyitkan kening. Suara ribut-ribut dari rumah sebelah membuatku terbangun lebih cepat dari biasanya. Aku menajamkan pendengaran. Mungkin ada penghuni baru di kontrakan sebelah. Syukurlah, setelah beberapa bulan sedikit horor karena nggak berpenghuni, akhirnya sekarang aku bisa bernapas lega kalau melewatinya saat kebetulan pulang larut malam. Aku sendiri sebenarnya bukan orang yang penakut, tapi ada kalanya jika pulang terlalu larut, aku sering membayangkan hal yang tidak masuk akal jika melewati rumah kosong di sebelah rumahku ini. Dicegat oleh oleh makhluk tanpa wajah, misalnya. Hari ini sepertinya aku bisa sedikit bersantai, tidak ada jadwal dan panggilan merias. Setelah beberapa hari nggak bisa melihat matahari pagi karena di pagi buta sudah pergi. Pagi ini aku ingin menikmatinya, mungkin dengan membuat sarapan. Hari-hari sibuk biasanya, sarapanku hanya segelas teh hangat yang disiapkan oleh keluarga klien. Sisanya hanya aku yang tahu, kadang malam harinya aku baru bisa menyentuh makan dalam porsi yang sebenarnya. Aku tinggal sendiri di rumah peninggalan orang tuaku. Dulu sebelum mandiri, aku tinggal bersama Tante Maika, adik Mama. Tapi setelah lulus kuliah dan memulai profesi sebagai make up artist, aku memutuskan untuk kembali ke rumahku. Rumah ini terlalu sayang jika dibiarkan tanpa penghuni. Aku suka dengan rumah peninggalan orang tuaku ini. Yah, walaupun banyak kenangan buruk yang tersimpan di otakku, tapi sampai kapan pun tempatku untuk pulang hanya ke rumah ini. Aku sedang memotong daun bawang untuk dicampurkan ke dalam nasi goreng teri kesukaanku saat terdengar pintu diketuk perlahan. Aku terdiam beberapa saat dan suara ketukan pintu itu masih terdengar. "Ya...!" sahutku sambil melangkah menuju pintu. Mataku tak berkedip saat pintu terbuka dan seseorang yang berada di hadapanku menunjukkan wajah kagetnya. "Mas Gara," ucapku tertahan. Sesaat hanya ada keheningan yang terjadi. Matanya seperti sedang memindaiku. Dengan baju tidur, wajah berminyak, dan rambut acak-acakan seperti ini, bisa jadi dia tidak ingat denganku. Situasinya persis seperti saat aku pertama kali bertemu dengannya, cuma kali ini kebalikannya. "Aruna?" tanyanya tidak yakin. Aku tersenyum lebar membenarkan tebakannya. Oke, artinya wajahku nggak hancur-hancur banget, dia masih bisa menyebut namaku dengan benar. "Kok...bisa di sini?" tanyaku bingung, agak sedikit salah tingkah karena Gara hanya mengenakan kaos tanpa lengan dan celana pendek yang membuat mataku sedikit perih. Bukan apa-apa, tubuhnya yang terlihat bidang mengintip nggak tahu malu dan membuat jiwaku seperti berontak. Jangan salahkan mataku, karena aku yakin hampir semua wanita menyukai lelaki dengan fisik sepertinya, gagah dan berotot. "Ohh...aku baru pindah ke sebelah. Kamu tinggal di sini?" tanyanya kemudian. Aku mengangguk. Jadi dia akan menjadi tetangga baruku? "Sendiri?" tanyanya lagi dan aku kembali mengangguk. Oh! Nggak seharusnya aku terlalu jujur dengan orang yang baru dikenal. Bagaimana kalau dia punya rencana jahat saat tahu aku hanya tinggal sendiri di rumah ini? Oke, mungkin kali ini aku terlalu berlebihan tapi nggak ada salahnya menjaga diri dengan sedikit kebohongan. "Sama asistenku juga," kataku mengoreksi ucapanku tadi. "Jadi...kok bisa pindah ke sebelah?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Di sini lebih dekat dengan kantor. Lagi pula rumah yang selama ini aku tinggal terlalu besar jika hanya aku sendiri yang menempati," jawabnya. "Sendiri? Anak dan istri di Magelang?" tebakku sok tahu. Dia kemudian terkekeh dengan nada yang terdengar aneh. Apa pertanyaanku salah? "Nala kutitip di rumah Eyangnya di Magelang," jawabnya santai. Aku mengernyit karena tadi aku menanyakan anak dan istri, tapi dia hanya menjawab anaknya. Jadi ke mana sebenarnya istrinya? Atau mungkin dia sengaja membuat dirinya seolah-olah adalah lelaki lajang? Hampir saja pertanyaan penuh rasa ingin tahu ingin kembali kulontarku tapi berhasil kucegah. Aku baru mengenalnya, tidak sopan jika terlalu mau tahu urusan pribadinya. "Oh...," kataku sambil mengangguk-anggukan kepala. "Aku ke sini mau pinjam palu, ada nggak?" tanyanya seperti baru tersadar tujuan utamanya ke sini. Entah kenapa aku malah curiga dengan maksud kedatangannya ke rumahku. Mungkin sebelumnya dia hanya modus datang ke sini untuk mengajak penghuninya berkenalan, tapi setelah melihat siapa yang keluar dan itu ternyata aku, dia malah berpura-pura meminjam palu. Nggak banget ya. "Palu? Oh ya, ada," jawabku seperti orang linglung. Sejenak aku seperti tidak ingat palu itu benda apa. Astaga! Sadarlah Aruna, cuma gara-gara tubuh bidangnya jangan sampai aku terperangkap. "Sebentar aku ambil dulu," kataku lagi dan bergegas masuk ke dalam rumah. Hampir sepuluh menit aku membongkar kotak yang berisi alat-alat pertukangan. Dan palu yang dimaksud nggak berhasil ditemukan. Aku membuang napas kesal dan bergegas menemui Gara. "Maaf Mas, kayaknya salah simpan atau mungkin lagi dipinjam, palunya nggak ketemu," ujarku penuh penyesalan. Aku menyeka titik-titik keringat ke kening karena terlalu bersemangat mencari palu tadi. Astaga, aku ini kenapa sih, kayak nggak pernah bertemu lelaki aja. "Oh ya? Aku pinjam ke tetangga yang lain aja. Makasih ya." Dan dia pun beranjak pergi. Aku menghela napas lega. Setelah berinteraksi seperti ini, entah kenapa aku merasa salah tingkah. Padahal nggak begitu yang kurasakan waktu pertemuan pertama kemarin. Jangan bilang kalau gara-gara aku kagum dengan tubuh atlestisnya. Buang pikiran kotormu, Aruna! *** Aku meyuapkan nasi goreng buatanku dengan perlahan. Acara televisi yang sedang kutonton malah membuatku mengantuk karena acaranya yang nggak menarik. Pintu kembali terdengar diketuk perlahan. Mungkin Hayu atau Lian. Biasanya mereka berdua rutin datang ke rumah walaupun sedang tidak ada jadwal merias. "Maaf, aku ganggu lagi. Kalau air putih aja, pasti punya, kan? Boleh minta segelas? Aku belum sempat ganti air isi ulangku." Wajah Gara kembali muncul di hadapanku. "Ya ampun, Mas. Tentu aja boleh, ambil aja sendiri," kataku sambil membiarkan dia masuk ke rumah. Karena dia nggak bawa apa-apa, maka aku menyimpulkan dia mau numpang minum di rumahku, bukan memintanya untuk dibawa pulang. "Oya, Mas sudah sarapan?" tanyaku basa-basi. Lagipula siapa juga yang mau menawarkannya sarapan, walaupun aku masih punya sepiring nasi goreng untuk makan siangku nanti "Belum," sahutnya singkat sambil meneguk air putih. Sepertinya dia sangat haus, terbukti dari dua gelas air putih yang diminumnya dalam waktu singkat. "Oh." Kalau sudah begitu jawabannya, aku jadi kebingungan sendiri menanggapi perkataannya. "Mau nasi goreng? Kebetulan aku masak lebih." Ya ampun Aruna! Kenapa malah ditawarin. Aku mengutuk dalam hati. Kadang aku memang mudah iba dengan orang yang kesusahan. "Boleh," sahutnya. Mungkin hari ini memang saatnya aku berbaik hati terhadap sesama. Aku menyerahkan sepiring nasi goreng kepada Gara dan dibalas ucapan terima kasihnya. Kasihan juga, sudah capek-capek pindah rumah, sendirian, belum makan lagi. "Hari ini nggak kerja ya, Mas?" "Nggak, aku ambil ijin buat ngurus pindah rumah ini," sahutnya sambil memulai makannya. Aku jarang memasak secara khusus buat orang lain. Jadi saat melihat Gara memakan nasi goreng buatanku, aku sedikit cemas. "Enak," ujarnya disela makannya. "Oya, panggil aja Gara. Aku nggak setua yang kamu pikirkan kok," katanya sambil melirik sekilas ke arahku. (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN