10. Khawatir

1487 Kata
Apa ini ciuman pertamaku? Tentu saja tidak. Ah! Tapi kenapa di pikiranku nggak mau lepas dari ciuman Gara semalam. Hangat bibirnya, sentuhan tangannya di wajahku, dan suaranya yang terdengar begitu menggoda. Aku benaran mau mati dibuatnya! Gila! Aku mau gila rasanya hanya gara-gara sebuah ciuman! Bahkan setelah pagi datang dan aku bangun dengan kepala pusing karena kurang tidur, wajah Gara dan ciumannya belum juga mau hilang dari pikiranku. Dadaku berdebar saat nggak sengaja menatap rumahnya, walaupun aku tahu jika dia sedang dalam perjalanan ke Magelang untuk mengantar Nala pulang. Tapi...ya Tuhan, aku benar-benar sudah gila sepertinya! Aku seperti anak remaja yang belum berpengalaman dan mendapatkan ciuman pertamanya. Nggak tahu diri banget, masih aja nyamain diri sendiri dengan anak remaja. Kenapa aku menyebut diriku gila? Oh! Aku malu mengakuinya jika aku begitu menikmati ciumannya, jika aku ingin mendapatkan ciumannya lagi. Bibirnya terasa lembut saat bersentuhan dengan bibirku. Bahkan dia sangat berani saat menggodaku dengan lidahnya. Tidak! Kenapa otakku sungguh ternoda seperti ini? Aku takut bertemu dengan Gara lagi. Takut otak mesumku ini nggak bisa mengendalikan diri. Karena ciumannya benar-benar memabukkan. "Mbak, arah rumahnya benar, kan?" Suara sopir taksi online yang sedang kutumpangi menyadarkanku dari lamunan. "Iya, Mas. Lurus aja, nanti di pertigaan ada rumah sebelah kiri," sahutku. Taksi menurunkanku tepat di depan rumah Sera. Kabar baiknya hari ini Mas Arya, suami Sera sedang keluar kota untuk urusan bisnisnya. Dengan begitu aku bisa berlama-lama di rumahnya, apalagi hari ini aku memang sedang nggak ada kerjaan. "Kemarin sebenarnya aku sudah minta Mas Arya antar mobilmu, tapi kamu bilang nggak usah." Sambut Sera di depan pintu rumahnya. Tentu saja Mas Arya nggak boleh mengantar mobilku semalam, karena jika dilakukannya, dia hanya akan menggangguku. Karena menginterupsi pasangan yang sedang berciuman termasuk dalam unsur mengganggu juga. "Kemarin seharian aku nggak di rumah," sahutku sambil mengikuti Sera masuk ke dalam rumahnya. "Oiya? Bukannya kamu bilang akhir pekan ini sedang nggak ada pekerjaan," timpalnya. "Iya, memang nggak ada pekerjaan. Aku nemanin Gara dan anaknya," sahutku. Seketika mata Sera melotot tajam, seperti kaget dengan kalimat yang kuucapkan. Ow, apa sebaiknya tak kuceritakan hal ini pada Gara? "Wah...wah..., perkembangannya pesat banget," ledeknya. "Apaan sih," omelku menahan malu sambil mengambil air minum dari dispenser di dapurnya. Rumah Sera sudah seperti rumah ke dua buatku. Sera sering banget memintaku menginap di rumahnya jika kebetulan suaminya yang sibuk itu sedang keluar kota. "Iya dong, sudah kenal sama anaknya segala lagi. Tapi serius, dari gerak-gerik tubuh, tatapan mata, dan cara bicaranya ke kamu, si Gara ini memang benar-benar tertarik sama kamu," ujar Sera dengan wajah serius. "Kamu selalu bilang begitu ke semua lelaki yang dekat denganku," sindirku dan dibalas tawa Sera. "Itu artinya aku perhatian dan pengen banget kamu segera mengakhiri masa lajangmu," ucapnya sambil terkikik. Aku membuang napas panjang dan menatapnya dengan pandangan mata sebal. "Atau...prinsip melajang seumur hidupmu masih berlaku sampai sekarang?" tanyanya kemudian. Aku bergumam dan berjalan menjauhi Sera. Pembicaraan Sera mulai mengarah ke hal yang nggak akan berujung jika dibahas. Lebih baik aku menghindar dan membiarkannya sibuk dengan pikirannya sendiri. "Loli mana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Masih tidur," sahut Sera. "Apa kalian sudah jadian?" tanya Sera tiba-tiba. Astaga! Dia masih saja membahas soal Gara. "Nggak tahu, Ser. Memang seumuranku gini masih penting ya dengan status jadian?" tanyaku. "Oke, artinya aku menarik kesimpulan kalian sudah jadian," ucapnya penuh keyakinan. "Kamu mulai ngaco deh, Ser," kataku. "Ayolah, kamu selalu gini kalau lagi dekat sama lelaki. Apa salahnya sih cerita sedikit sama aku," sahutnya. Bagian mana yang sebenarnya ingin Sera tahu dari hubunganku dan Gara saat ini? "Aku sebenarnya takut mau ketemu sama Gara lagi, Ser," kataku tiba-tiba. Kening Sera berkerut, terlihat penasaran dengan ucapanku. "Kenapa? Apa dia nyakitin kamu?" tanyanya dengan wajah kesal. "Bukan gitu Ser. Aku takut sama diriku sendiri," sahutku dengan suara pelan. "Takut gimana, aku nggak ngerti." Sera mulai terlihat kebingungan. "Aku sendiri aja bingung, Ser. Aku malu bilangnya," ucapku dengan wajah memanas menahan malu. "Kamu bisa buat aku mati penasaran. Ayolah, cerita ke aku," pintanya. "Apa yang kamu rasain waktu lihat Mas Arya?" tanyaku. "Kok bawa-bawa Mas Arya," ujarnya bingung. "Jawab dulu," potongku cepat sebelum dia berbicara panjang lebar lagi. "Contohnya gimana? Aku nggak ngerti arah pembicaraanmu," katanya. "Apa ada perasaan berdebar-debar, atau yang lainnya?" "Kalau sama Mas Arya sih nggak ada perasaan berdebar-debar lagi, Run. Sudah jadi suami juga kok," jelasnya. "Jadi kamu ngerasain berdebar-debar saat di dekat Gara? Ya wajar dong, kok malah jadi takut," lanjut Sera sok tahu. "Bukan cuma berdebar-debar, Ser." Aku terdiam sejenak sebelum melanjutkan bicaraku. Oh tidak! Aku malu menjelaskannya pada Sera. "Apaan sih, Run? Kamu aneh banget, coba yang jelas ngomongnya." Sera terlihat nggak sabar. "Aku...aku...kok nggak bisa nolak ya waktu dia...waktu dia cium aku, waktu dia peluk aku, waktu dia...ahhh! Aku malu, Ser!" jeritku tertahan. Beberapa saat tidak ada satupun yang berbicara. Sera masih menatapku dengan wajahnya yang terlihat aneh. Tak lama suara tawanya terdengar jelas memenuhi rumahnya. Aku takut Loli akan terbangun dari tidurnya karena suara tawa Sera yang begitu keras. "Astaga Aruna! Kamu benaran kayak ABG deh. Terus selama ini sama mantan-mantan pacarmu gimana? Nggak pernah ngerasain yang kayak gitu?" tanyanya dengan wajah masih menahan tawa. "Nggak separah ini," jawabku. "Ya sudah, jalanin aja. Lagipula kamu nggak salah kok. Malah berfantasi liar sama pacar sendiri wajar aja menurutku," ucapnya enteng. "Aku nggak berfantasi liar, Ser!" kataku nggak terima dengan perkataannya. "Ngg...nafsu melihat pacar sendiri? Gitu benar nggak?" Wajah Sera memerah karena tawanya yang tak mau berhenti. Menyesal rasanya aku cerita ke dia tadi. "Sudah deh, mana kunci mobilku? Aku mau pulang," kataku kesal. "Loh, nggak nginap?" "Nggak, aku mau ke rumah Tante Maika. Sudah lama nggak ke sana," kilahku. "Kamu, kan bisa nginap di sini setelah dari rumah Tante Maika." Sera menyerahkan kunci mobilku yang kutitip padanya kemarin. "Nanti deh lihat dulu, kamu kan tahu kalau sudah ke rumah Tante Maika, aku pasti diminta nginap juga," kataku. "Sudah ya, besok aku ke sini lagi buat kangen-kangenan sama Loli," kataku lagi. "Dan gosipin Gara." Sera terkikik saat mengucapkannya. "Memang ya kalau pacaran sama yang sudah pengalaman, rasanya beda," cetus Sera tiba-tiba. Aku mengernyit, pembicaraan tentang Gara sepertinya tidak akan pernah ada habisnya. Dia pasti bersin-bersin seharian ini karena aku dan Sera terus-terusan membicarakannya. "Sudah deh, Ser. Kamu ini suka banget buat aku malu. Tahu gitu tadi aku nggak perlu cerita ke kamu," kataku pura-pura kesal. "Iya...iya nggak lagi deh. Tapi boleh nih kapan-kapan ajak Gara dan anaknya buat makan malam bareng. Loli pasti suka dapat teman baru," usul Sera. Mataku memicing mendengar nada bersemangat dari perkataan Sera. "Iya kapan-kapan," kataku agar Sera tidak membahas soal Gara lagi. Bukan apa-apa, menyebut namanya saja kontan membuatku mengingat wajahnya dan itu membuatku malu. Aku meninggalkan rumah Sera dengan perasaan aneh yang nggak bisa kujelaskan. Sebenarnya perasaan apa yang aku rasakan ini. Masa aku berdebar-debar hanya karena membayangkan wajah Gara. Astaga! Tuh kan aku mulai lagi mengingat ciumannya. Bahaya, ini nggak benar! Aku harus menghindarinya sebisa mungkin. *** Aku sampai di rumah saat jam telah menunjukkan pukul delapan malam. Mobil Gara tidak ada di garasi rumahnya, itu artinya dia belum pulang dari Magelang. Duh! Kenapa mataku nggak bisa lepas dari rumahnya sih. Tadi aku memang berkunjung ke rumah Tante Maika tapi waktu diminta menginap, aku mengarang bermacam alasan agar Tante Maika nggak curiga. Rasanya perasaan ingin cepat pulang ke rumah begitu besar kurasakan dan saat tahu Gara belum pulang entah kenapa aku jadi kecewa. Saat terdengar bunyi mobil berhenti di depan rumah, aku sudah berusaha menahan keinginan untuk tidak mengintipnya dari balik jendela. Tapi lihatlah yang kulakukan sekarang, mirip seperti pencuri, mataku nggak lepas dari mobil hitam yang berhenti tepat di depan rumah Gara dari balik jendela. Bukan mobil Gara, tapi kenapa berhenti tepat di depan rumahnya? Napasku tertahan saat melihat sosok yang turun dari mobil. Gara? Dia berjalan tertatih dibantu oleh sopir menuju rumahnya. Tanpa berpikir dua kali, aku beranjak dari posisiku dan berlari menuju rumah Gara. "Kamu kenapa?" tanyaku dengan napas terengah. Mobil yang mengantar Gara telah pergi dan meninggalkan aku dan Gara berdua di teras rumahnya. "Oh, kecelakaan kecil," sahutnya sambil tertawa. "Kenapa nggak hubungi aku?" tanyaku dan sesaat kemudian aku menjadi malu sendiri dengan perkataanku. Buat apa juga Gara menghubungiku. Memang aku siapanya? Aku kemudian mundur dari tempatku berdiri karena merasa tidak seharusnya aku sekhawatir ini padanya. "Nggak mungkin aku minta kamu jemput malam-malam gini," ujarnya sambil berusaha membuka pintu rumahnya. "Seenggaknya kamu bisa kasih tahu aku kalau kamu kecelakaan," sahutku. Oke, stop Aruna, ini sudah di luar batas. Aku bukan ibunya, dan dia nggak ada tugas wajib lapor padaku. "Ngg...bukan gitu maksudku. Ya sudah, istirahat aja. Aku pulang dulu," kataku canggung. Aku memutar tubuhku dan berniat kembali ke rumah. Basa-basi antar tetangga memang cukup sekian saja, tidak perlu melibatkan diriku terlalu dalam. "Apa kamu tega ninggalin aku sendiri dengan keadaanku yang kayak gini?" tanyanya saat kakiku baru akan melangkah pergi. Aku menoleh dan mendapatkan raut kesakitan terlihat jelas di wajahnya. Aku menghitung jari tanganku dan berharap pada hitungan terakhir akan mendapatkan jawaban yang paling benar. (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN