bc

Ketika Ambisi Mengalahkan Logika

book_age18+
0
IKUTI
1K
BACA
dark
BE
family
age gap
forced
arranged marriage
badboy
mafia
heir/heiress
drama
tragedy
sweet
bxg
lighthearted
kicking
bold
campus
city
office/work place
cheating
childhood crush
secrets
musclebear
love at the first sight
like
intro-logo
Uraian

Nara hanya ingin hidup tenang. Bekerja, tersenyum sederhana, dan pulang ke kos kecilnya tanpa beban. Namun pertemuannya dengan Raka mengubah segalanya. Raka adalah pria berkuasa, karismatik, dan tampak seperti pelindung yang datang tepat saat Nara paling rapuh. Perhatian yang awalnya terasa hangat perlahan berubah menjadi pengawasan, dan cinta yang dijanjikan menjelma menjadi belenggu.Di balik kemewahan dan ketenangan Raka, tersembunyi obsesi yang semakin tak terkendali. Cemburu, kekuasaan, dan rasa memiliki menyeret Nara ke dalam hubungan yang menyesakkan, di mana rasa takut bercampur dengan ketergantungan emosional. Sementara Raka tenggelam dalam egonya sendiri. Nara dipaksa memilih tetap diam demi rasa aman palsu, atau berani melawan demi kebebasan.Apakah Nara akan menemukan jalan keluar, atau justru tenggelam bersama pria yang mengaku mencintainya?Sebuah kisah gelap tentang cinta, kontrol, dan rahasia yang menunggu untuk dibuka.

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 01 - Berawal Dari Kopi
Di sudut Ibu kota yang bising dan tak pernah benar-benar tidur, hidup seorang wanita bernama Nara. Ia tinggal sendirian di sebuah kosan sempit yang dindingnya mulai mengelupas. Kamar itu hanya cukup untuk sebuah kasur tipis, lemari tua, dan kipas angin yang berderit setiap malam. Tak ada siapa pun yang menunggunya pulang, selain sunyi. Nara datang ke Ibu kota dengan mimpi sederhana. Bekerja agar bisa mengirim uang untuk Ibunya di kampung. Ayahnya telah meninggal dunia beberapa tahun lalu, meninggalkan luka yang tak pernah sepenuhnya sembuh. Sejak saat itu, Ibunya hidup seorang diri di rumah kayu kecil, menggantungkan harapan pada Nara, anak satu-satunya. Setiap pagi, Nara bangun sebelum matahari benar-benar muncul. Ia menyiapkan diri dengan pakaian sederhana, lalu berjalan kaki menuju halte. Melawan kerumunan orang-orang yang tampak lebih rapi dan penuh tujuan. Tujuannya selalu sama, sebuah coffee shop kecil di pusat kota. Di sana, Nara bekerja sebagai barista sekaligus pelayan. Tangannya sudah hafal gerakan membuat kopi, menyeduh, menuang, dan menyajikan dengan senyum yang dipaksakan. Banyak pelanggan tak pernah benar-benar memperhatikannya, menganggapnya hanya bagian dari rutinitas harian mereka. Namun bagi Nara, setiap cangkir kopi adalah perjuangan untuk makan hari itu, untuk membayar kosan, dan untuk mengirim sedikit uang ke kampung. Meski hidup terasa berat dan sering tak adil, Nara masih bertahan. Ia percaya, suatu hari nanti, semua lelahnya akan terbayar. Di tengah kerasnya Ibu kota, Nara tetap berdiri. Seorang wanita miskin yang mungkin tak terlihat, tetapi tak pernah menyerah. ***** Nara tak pernah menyangka, hari itu akan mengubah ketenangan rapuh yang selama ini ia jaga. Menjelang sore, saat coffee shop mulai ramai, empat orang pria masuk bersamaan. Penampilan mereka mencolok. Tawa keras, pakaian rapi, dan sikap yang terlalu percaya diri. Mereka duduk di meja dekat bar. Seperti pelanggan lainnya, mereka memesan kopi, menyebutkan jenis minuman dengan nada santai, seolah tak ada yang aneh. Nara melayani mereka seperti biasa. Ia mencatat pesanan, menyiapkan kopi, dan berusaha tetap profesional. Namun sejak awal, salah satu dari pria itu terus memperhatikannya dengan tatapan yang membuatnya tak nyaman. Saat Nara mengantar kopi ke meja mereka, pria itu tiba-tiba berdiri sedikit dan tangannya bergerak mencoba menyentuh pergelangan tangan Nara. Nara yang memiliki wajah yang lembut dengan sorot mata yang dalam, seolah menyimpan banyak cerita. Matanya berbinar tenang, tidak berlebihan, namun mampu membuat siapa pun yang menatapnya merasa diperhatikan. Senyumnya sederhana, tidak selalu terukir, tetapi ketika muncul, terasa hangat dan tulus. Rambutnya terurai rapi, namun tetap memancarkan keanggunan alami. Kulitnya mungkin tak sempurna, namun bersih dan bercahaya. Seakan memantulkan keteguhan hidup yang pernah ia lalui. Gerak-geriknya anggun tanpa dibuat-buat, langkahnya ringan, tutur katanya lembut namun tegas saat dibutuhkan. “Senja-senja gini, kerja sendirian capek ya?” ucapnya sambil tersenyum miring. Nara langsung menepis tangannya dengan kasar. “Jaga sikap kamu, ya,” katanya dingin. Namun pria itu justru tertawa kecil, seolah menganggap penolakan itu sebagai candaan. Tangannya kembali bergerak, kali ini lebih berani. Tanpa berpikir panjang, tamparan keras mendarat di pipi pria itu. Suara tamparan menggema, membuat beberapa pelanggan menoleh. Suasana coffee shop mendadak hening. Tiga pria lainnya terdiam, terkejut. Pria yang ditampar memegangi pipinya, wajahnya memerah. Bukan karena sakit saja, tapi juga karena malu. “Jangan pernah sentuh saya,” ucap Nara tegas, suaranya bergetar namun matanya tajam. “Saya di sini bekerja, bukan untuk diperlakukan seperti itu.” Tanpa menunggu jawaban, Nara berbalik. Tangannya sedikit gemetar, jantungnya berdegup kencang, tapi langkahnya tetap tegap. Ia kembali ke balik bar, melanjutkan pekerjaannya seolah tak terjadi apa-apa. Mengelap meja, menyusun cangkir, dan menerima pesanan pelanggan lain. Di dalam dadanya, rasa takut bercampur marah. Namun ia tahu satu hal, harga dirinya jauh lebih penting daripada rasa aman palsu. Nara menghela napas panjang. Hari itu, untuk pertama kalinya, ia sadar, meski hidupnya miskin dan keras, ia masih memiliki keberanian untuk melindungi dirinya sendiri. Dan keberanian itu, tanpa ia sadari, akan menyeretnya pada masalah yang lebih besar setelah hari itu. Sedangkan pria yang ditampar Nara itu tak langsung pergi jauh. Dari balik kaca coffee shop, ia sempat menoleh sekali lagi. Bukan dengan amarah, melainkan dengan sorot mata tajam yang menyimpan sesuatu. Ego yang terusik dan rasa penasaran yang berubah menjadi obsesi. Namanya Raka. Sejak kecil, Raka tak pernah benar-benar menerima penolakan. Uang, pengaruh, dan lingkungan selalu membuat apa pun yang ia inginkan datang dengan mudah. Namun tamparan Nara barusan adalah hal yang berbeda. Bukan hanya melukai pipinya, tapi juga harga dirinya. Di dalam mobil, saat tiga temannya masih menggerutu, Raka justru terdiam. “Perempuan itu…,” gumamnya pelan. “Kenapa?” salah satu temannya bertanya. “Berani.” Alih-alih marah, sudut bibir Raka terangkat tipis. Dalam hatinya tumbuh tekad yang kelam. Ia ingin memiliki Nara, seutuhnya, bukan sekadar perhatian sesaat. Bagi Raka, penolakan itu bukan akhir, melainkan awal dari tantangan. Sementara itu, Nara sama sekali tak tahu apa yang sedang bergejolak di pikiran pria tersebut. Ia hanya merasakan kegelisahan yang aneh. Sepanjang sisa jam kerja, perasaannya tak tenang. Ia berulang kali menoleh ke arah pintu, takut jika pria itu kembali. Malam pun tiba. Setelah menutup coffee shop, Nara berjalan pulang sendirian seperti biasa. Lampu jalan redup, suara kendaraan bersahutan. Ia memeluk tasnya erat-erat, langkahnya dipercepat. Bayangan kejadian tadi terus terlintas di kepalanya. Di sisi lain kota, Raka duduk di ruangannya yang luas, memandangi layar ponsel. Ia sudah mencari tahu tentang coffee shop itu, jam kerja karyawannya, bahkan nama Nara yang tertulis kecil di name tag tadi. “Wanita seperti dia…,” gumamnya lagi, matanya menyipit. “Bukan tipe yang mudah ditaklukkan.” Dan justru karena itulah, Raka merasa tertantang. ***** Hari itu, Raka kembali lagi ke coffee shop tempat Nara bekerja. Ia datang lebih pagi dari biasanya. Memilih duduk di meja yang langsung menghadap ke area bar. Dari sana, matanya leluasa mengamati. Bukan hanya Nara, tetapi seluruh isi ruangan. Ia memperhatikan cara Nara bergerak. Cara ia menunduk saat menyeduh kopi, cara ia tersenyum sopan pada pelanggan, dan cara ia berbincang singkat dengan rekan kerjanya. Raka menyadari sesuatu yang membuat rahangnya mengeras perlahan. Banyak karyawan pria di sana. Ada yang sebaya dengan Nara, ada pula yang lebih tua. Mereka bercanda ringan, saling membantu saat pesanan menumpuk. Beberapa di antaranya terlihat terlalu akrab. Tertawa bersama Nara, memanggil namanya tanpa jarak, bahkan sesekali menepuk bahunya dengan santai. Di mata Raka, itu bukan keakraban biasa. Itu ancaman. Tangannya mengepal pelan di atas meja. Wajahnya tetap tenang, tetapi pikirannya dipenuhi rasa tidak suka. Ia tak menyukai cara pria-pria itu memandang Nara. Ia tak suka Nara tertawa karena orang lain. Lebih dari itu, ia tak suka kenyataan bahwa Nara tidak hanya berada dalam jangkauannya. “Tidak seharusnya ada terlalu banyak orang di sekelilingmu,” batinnya dingin. Sejak saat itu, Raka mulai memperhatikan satu per satu karyawan pria tersebut. Siapa yang paling sering satu shift dengan Nara. Siapa yang mengantarnya pulang jika malam. Siapa yang tampak paling dekat. Ia mencatat semuanya di kepalanya. Dan di dalam hatinya, Raka yakin, jika tak ada lagi yang dekat dengan Nara, maka suatu hari nanti, Nara hanya akan punya dirinya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
315.0K
bc

Too Late for Regret

read
319.6K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.3M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
145.1K
bc

The Lost Pack

read
438.5K
bc

Revenge, served in a black dress

read
153.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook