Mencoba bertahan
“Aku akan berlibur bersama Rina selama satu minggu ke Singapura uang bulan ini sudah ku transfer ke rekening mu.”
Tak ada air mata yang keluar dari pelupuk mata, melainkan pertanyaan mengapa yang menyelimuti benak Bening. mengapa suaminya begitu tega menduakan hatinya saat pernikahan mereka baru semur jagung? mengapa laki-laki itu menikahinya kalau memang ada hati yang sedang ia tunggu? Dan mengapa takdirnya sebercanda ini?
Pesan yang sudah satu hari ini belum ia buka kembali berbunyi dengan notifikasi lainnya. Hati yang sudah hancur berantakan, kini semakin remuk redam. 8 bulan ia berusaha untuk sabar dengan sikap dingin pria itu namun ternyata hanya sia-sia tak bersisa.
“Kalau mama datang bilang saja aku ada urusan kantor di luar kota.”
Ya Allah
Bening menjerit tertahan menakan dalam-dalam emosinya, jemarinya mengepal kuat bahkan urat yang sebelumnya tak terlihat kini tampak hijau keunguan.
Berkali-kali Bening menetralkan sesak di dadanya hingga berakhir dengan tertidur sembari terus berlinangan air mata. Seperti malam sebelumnya Bening berharap kalau kejadian hari ini hanya mimpi dan ia akan terbangun dengan senyum manis dari suaminya, hanya suaminya. tapi sepertinya harapan itulah mimpi yang sebenarnya terjadi dan entah sampai kapan ia bisa bertahan?
***
“Hari ini aku menemui kak Adelio sebentar mas.” Usai mengirim pesan singkat pada suaminya, Bening melangkahkan kakinya keluar rumah. tanpa berharap laki-laki itu membalas pesannya. Ia hanya melakukan tugasnya sebagai istri, Bening berusaha selalu meminta izin dari suaminya dalam semua aktivitasnya.
“Mau kemana neng pakai selendang hitam sama kaca mata hitam?” Bening tersenyum simpul tanpa melepas kaca matanya pada supir taksi yang ia pesan.
“Kasablanka pak mau ziarah,” ucap Bening menyebutkan alamat tujuannya.
Bersyukur tak ada tanggapan lebih dari sang supir, setidaknya ia bisa beristirahat sejenak, sembari memandangi jalanan sekedar melupakan kelumitan dalam hidupnya.
“Kita sudah sampai neng.” Ucapan dari sang supir menyadarkan lamunan Bening yang sudah hampir lima menit mobil berhenti, namun sepertinya Bening belum menyadarinya.
“Maaf pak saya sedang tidak fokus, kalau begitu terima kasih, kembaliannya buat bapak saja.” Cepat-cepat Bening merapikan selendang dan membetulkan posisi kaca matanya. menyusuri jalan setapak untuk sampai pada tujuannya.
“Assalamualaikum ... kak,” sapa Bening mengusap batu nisan bertuliskan Adelio dwi Yudistira bin Yudistira, Sedangkan tangan kirinya memegang sebuah payung hitam guna melindungi tubuhnya dari pekatnya sinar matahari.
“Kamu apa kabar kak? maaf yah aku baru mengunjungi kakak lagi,” tukasnya bergetar tanpa mengurangi usapannya pada batu nisan yang sedikit berpasir.
“Kalau berakhir seperti ini kenapa bukan aku saja yang tidur di dalam sana bersama kakak?” Bening terkekeh pilu mendengar pertanyaannya sendiri.
“Aku tidak tau terima kasih yah kak? Tapi rasanya memang terlalu sulit untuk bangkit seorang diri kak," adu Bening menghapus air matanya.
Cukup lama Bening terdiam dan hanya mengusap batu nisan yang sepertinya baru diganti.
“Kalau diingat-ingat lucu juga yah kak kehidupan ini, dalam undangan pernikahan kita tertulis nama aku dan nama kamu kak, tapi kenapa yang jadi suami aku malah abang kamu yah?” lagi-lagi Bening hanya tersenyum hambar.
“Kak, aku minta maaf sepertinya aku tidak bisa lagi di samping dia sesuai keinginan kakak. Bukan aku yang tidak berjuang kak, tapi mungkin memang jodohnya aku dengan dia hanya sampai di sini, sekarang suami aku sudah menikah kembali dengan cinta pertamanya dan kemungkinan keberadaan ku sudah tidak berarti apa-apa untuk suamiku sendiri,” perempuan itu menghentikan ucapannya sejenak. “Aku tidak termasuk mengumbar aib kami kan kak? 8 bulan bertahan dengan sikap dinginnya aku sanggup kak tapi diduakan apa hati ini sanggup?”
Bertanya dengan kubur orang terkasih bebannya terasa lebih ringan, dua hari menangisi takdirnya, ia menyimpulkan satu hal, bila hidup harus berlanjut. Orang yang ia tangisi dua hari itu tenga berbahagia dengan istri barunya lalu mengapa ia harus terpuruk seorang diri?
“Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan cita-cita aku dulu, semoga dengan aku memiliki kegiatan lain aku bisa melupakan sejenak permasalahan ku, aku pamit yah kak aku janji lain kali akan kesini lagi temuin kakak.”
“Assalamualaikum kak,” pamit Bening mengecup batu nisan berwarna biru langit tersebut dengan perasaan campur aduk.
***
“Bang Wahyu,” panggil Bening saat baru saja memasuki firma hukum yang sedang membuka lowongan pengacara, beruntung ia masih menyimpan kontak teman semasa kuliahnya sehingga ia tidak harus kesulitan mencari lowongan pekerjaan.
Laki-laki yang bernama Wahyu itu tampak kebingungan melihat siapa yang menepuk pundaknya dengan cukup keras “Bening?”
“Iya bang ini aku, Bening.”
“Ngapain kau kesini?”
“Daftar kerja lah apa lagi, kira-kira ada gak bang yang bisa aku kerjakan? buatin minuman atau mencuci piring gitu?” selorohnya pada senior semasa kuliahnya.
“Bah! cari kerja pula, udah jatuh miskin rupanya suami kau?”
“Hus... enak aja abang, aku cuma mau menggunakan ijazah ini aja 4 tahun aku kuliah ditambah lagi PKPA, tapi cuma ngongkang kaki aja di rumah udah berdebu pula ijazah di dalam lemari takut aku bang kalau gak digunain dimakan rayap.”
“Apa pula dimakan rayap ada-ada aja kau, makanya buat anak, biar ada yang kau urus.” Bening mengerucutkan bibirnya sebentar sebelum kembali tersenyum menimpali ucapan Wahyu, pria berdarah batak namun sangat terkenal dengan kebanyolannya semasa kuliah.
“Macam iya kali abang ni, abang aja entah kapan pun nikah.”
“Ngapain nikah kalau bisa kawin?”
“Udah gak ngerti aku lagi bang, jadi abang disini mau ngapain? kalau mau daftar juga pliss bang mundur kasih sama junior lah.”
“Bah! bisa pula kayak gitu, cobalah aku lihat dulu mana ijazah terakhirmu?”
Tanpa curiga apapun Bening memberikan map kuning padi miliknya pada Wahyu.
“Bening Sekar Arum,” ucap laki-laki itu membaca ejaan nama yang tertera.
“Cantik kan namaku bang kaya orangnya?”
“Cantik pun kalau udah punya orang untuk apa?”
“Abang pun dulu lama kali, mending aku cari yang pasti aja,” ucap Bening tanpa beban yang justru terlihat janggal di mata lawan bicaranya.
“Boleh aku menebak sesuatu?”
“Macam bisa aja, apa coba?” tantang Bening.
“Kau diselingkuhi suami mu?”
Seketika raut perempuan dipanggil Bening itu berubah “Maksudnya bang?”
seketika laki-laki itu terkekeh sangat puas.
"Bercanda aja aku loh, serius pula dia, takut aku lepas mata mu itu."
“Nggak suka aku cara becanda Abang itu." Kali ini Bening benar-benar kesal dengan lawan bicaranya satu itu. Dengan gampangnya mengatakan hal seperti itu.
"Astaga dek ku jangan pula kau bawa serius macam nggak kenal aku aja nya kau."
"Dah lah bang, sini lah map nya nyesal aku ke sini."
"Eh, apa pula sini dulu, aku minta maaf kalau bercanda ku ini membuat kau tersinggung. Nggak ku ulangi sumpah!" setengah terpaksa Bening membiarkan laki-laki itu membaca map miliknya.
“Kau bisa kembali besok, biar aku yang memasukkan berkas mu.”
“Bah! Gimana pula bang awak belum jumpa sama yang punya udah disuruh pulang aja.”
“Biar aku yang urus intinya kau siap-siap aja kalau nanti ada panggilan selanjutnya.” Bening memasang tampang tak percaya. Bagaimana mungkin bisa secepat itu?
“Gak percaya pula dia sama awak.”
"Mana bisa aku percaya gitu aja."
"Kau mau kerja di sini kan? percayakan sama aku di terima kau pasti kalau enggak potong telinga aku asal bukan masa depan aku aja."
"Dih, dipotong pun nggak apa nggak guna juga."
"Wah ngelunjak dah urus lah sendiri sama mu."
"Eh iya maap, lagian Abang juga tadi bercandanya bikin kesal emang enak?"
"Kalau bukan ingat Adelio udah aku campakkan kau ke rawa-rawa."
"Ampun bang." Meski tadi Bening sempat emosi tapi kini tak henti-hentinya tertawa menjali Wahyu dengan kejombloannya.
***
“Kamu pulang mas?” tanya Bening yang baru selesai dengan ritual mandinya, bahkan handuk putihnya masih melilit rambut panjangnya, untung saja ia sudah mengenakan pakaian lengkap.
“Yah, dua hari ini aku akan menginap di sini!”
Dengan cekatan Bening menyelesaikan sisirannya, kemudian melipir ke ruang tengah menyiapkan makanan yang tadi ia masak, kebetulan antara ruang tengah dengan dapur hanya dipisahkan dengan meja makan sebagai pembatas ruangan “Makan dulu yah mas,” ucapnya menyendok nasi dalam piring.
“Kau saja aku sudah makan dengan Rani tadi.” Gerakan tangan Bening terhenti seketika, namun hanya sebentar kemudian melanjutkan kembali seolah tidak mendengar apapun.
“Begitu yah, baiklah mas,” jawab Bening mengurangi porsi nasi tersebut.
“Sejak kapan kau makan sedikit itu?” tanya Bayu melihat porsi makan istrinya yang lebih mirip makanan kucing dari pada manusia.
“Aku memang tidak banyak makan kalau malam hari mas, apa lagi ini sudah lewat jam makan ku,” tukas Bening mengambil lauk yang memang ia masak untuk persiapan kalau suaminya pulang.
"Aku ke kamar duluan mau bersih-bersih."
seketika Bening memuntahkan nasi yang sudah ia makan ke atas piringnya sebenarnya ia sudah kenyang tapi demi gengsi Bening memakan masakannya sembari menahan tangis.
setelah membereskan meja makan, Bening menyusul suaminya memasuki kamar mereka dan mendapati Bayu terburu-buru menyudahi telfonannya entah dengan siapa.
tanpa memperdulikan rasa malu yg selama ini Bening jaga, perempuan itu dengan santai berjalan ke arah lemari menarik baju tidur satin kesukaannya dan menggantinya tanpa ke kamar mandi seperti biasanya, karena menurutnya percuma toh yang ada dalam pikiran suaminya kini hanya Rani si istri muda.
"ke kuburan sama siapa aja tadi?" Bening tersenyum miris mendengar suara suaminya yang seperti bergetar, entah karena suaminya tidak bisa menahan sifat primitif laki-laki ketika melihat tubuh perempuan atau apapun Bening tak tau.
"Sendiri mas, kemarin malam aku mimpi kak Adelio dia lihatin aku dari jauh dengan tatapan sedih pas aku samperin dia malah ngejauh dan baru ingat kalau udah lama nggak ke sana."
"Lain kali kalau mau ke sana kasih tau aku biar kita bisa berangkat bersama saja."
“Mas, kemarin aku melihat ada lowongan kerja menjadi pengacara, nah tadi aku coba lamar, sebenarnya nggak pingin langsung lamar niat awalnya datang cuma kepingin tes ombak eh ternyata ada senior ku dulu yang nawarin bantuan untuk aku bisa kerja di firma hukum itu.”
Raut wajah Bayu yang tadinya santai berubah bingung mendengar penuturan istrinya.
“Tidak masalah kan mas?” tanya Bening memastikan.
“Terserah kau saja.”
“Terima kasih mas, aku pikir aku memang harus mempunyai kesibukan lain dari pada di rumah sendirian gak ngapa-ngapain,” ucapnya menuju meja rias memakai rangkaian skin care rutin miliknya.
"Kemana mas?"
"Ada panggilan dari Rani aku mau angkat panggilan ini sebentar, kalau sudah ngantuk tidur lah lebih dulu tidak perlu menunggu ku."
"Yah."