"Ya." Suseno langsung menganggukkan kepalanya patuh dan Seruni yang berdiri didepan pria itu lantas tersenyum lebar dan kurang dari satu jam kemudian tas Kremes yang diinginkan oleh Seruni sudah berada di tangan.
"Terima kasih ya, Mas." senyum Seruni lebar, menatap tas mewah yang ada didepannya, mengelus setiap sisinya dengan perlahan seolah takut tergores.
"Taruhlah itu tasmu. Tidak akan ada yang mengambilnya, Seruni."
"Iya nanti. Aku masih mengagumi tas mahal ini." Seruni lantas menolehkan kepalanya pada sang suami dengan bibir mencibir, "Seharusnya Mas juga maklum karena Mas hampir tidak pernah membelikan barang mahal untuk istri mas ini."
"Kamu sendiri yang tidak pernah minta."
"Ok, kalau begitu mulai detik ini, Seruni akan minta apapun yang Seruni mau." Senyum Seruni terbit dengan cara yang aneh dan itu hanya sesaat saja karena wanita itu langsung meletakkan tasnya dengan hati-hati diatas meja rias, "Sepertinya nanti aku perlu lemari kaca untuk menyimpan tas mahalku." gumamnya pelan kemudian berjalan kearah sang suami, menggandeng lengan pria itu untuk keluar dari kamar utama karena sekarang sudah saatnya untuk makan malam.
"Malam semuanya." Seruni menyapa dengan nada riang sesuai dengan suasana hatinya malam ini, wanita itu bahkan menarikkan kursi untuk sang suami dan mengambilkan makan malamnya.
"Makan yang banyak ya, Ayah."
"Terima kasih, Ma."
"Itukan sudah jadi tugasnya Mama untuk melayani Ayah." suara Seruni begitu mendayu lembut, bisa dibilang lebih berlebihan daripada biasanya.
"Mama dapat arisan?" Catherine yang tak tahan dengan perilaku ibunya itu angkat bicara.
"Tidak." geleng wanita itu, "Mama baru saja dibelikan tas Kremes oleh Ayahmu." Seruni cerita sembari melirik ekspresi wajah si anak tiri.
"What?" manic Catherine membulat, "Berapa juta?"
"Tidak mahal hanya 250." Seruni sengaja menyebutkan nominal yang sebenarnya dari tas yang dibelikan oleh Suseno, dia ingin tahu apakah anak tirinya itu akan marah atau tidak karena sang ayah mengeluarkan uang sangat fantastis hanya untuk sebuah tas namun sayang putri tirinya itu seakan tidak peduli dan lebih memilih berinteraksi dengan suami dan mertuanya.
"Ayah mau membelikan Mama tas semahal itu berarti Ayah juga bis membelikan mobil untuk Catherine juga dong harusnya."
"Apa kamu lupa kalau kamu belum punya SIM?" Suseno menatap si bungsu lembut.
"Kenapa ayah tidak adil sih?! Dulu si Kak Kania juga punya mobil disaat seumuran Catherine sekarang." bibir Catherine cemberut dan menatap sang ayah kesal.
"Catherine. Nanti kalau sudah waktunya pasti ayah akan membelikanmu apa yang kamu mau." Seruni lantas menggenggam tangan Sang Suami, "Iya kan, Mas?"
"Iya." angguk Suseno pelan, "Oh ya Bagus, kata Mas Suseno kemarin, kamu mendapatkan pujian dari para kolega. Selamat ya."
"Terima kasih, Nyonya. Saya hanya melakukan apa yang diminta oleh Ayah Suseno saja." angguk Bagus dengan sungkan.
"Kamu memangil Mas Suseno dengan sebutan Ayah tapi memanggilku dengan sebutan Nyonya." Seruni menarik nafas panjang, "Ingat Saya ini juga mertuamu jadi panggil saya dengan sebutan Mama."
"Iya Mama." Bagus melirik Kania dengan bingung sedangkan sang istri hanya mengendikkan bahunya saja.
"Nah begitu kan enak didengarnya." Seruni kembali berpesan, "Selama kamu ditunjuk oleh Mas Suseno untuk mengelola kebun, tolong berikan kemampuan terbaik yang kamu bisa lakukan, ya."
"Iya. Tentu saja, Ma..Mama." senyum Bagus sungkan.
"Baguslah kalau begitu. Ayo, kita lanjutkan acara makan malam kita." Seruni mempersilahkan mereka semua melanjutkan makan malam mereka sampai 20 menit kemudian seluruh anggota keluarga menyudahi makan malam mereka dan kembali ke kamar masing-masing. Setelah dirasa semuanya aman, Seruni mulai mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Bu Joko.
"Bagaimana?" suara diujung sana langsung bertanya karena sudah tidak sabar dengan laporan temannya itu.
"Aku sempat mencobanya tadi dan sekarang aku dapat Tas Kremes edisi terbaru."
"Baguslah Kalau begitu. Tapi ingat satu hal, jangan ceritakan apa yang sedang kamu lakukan pada siapapun termasuk pada anakmu dan jangan lupa untuk menjaga kain putih milikmu dengan baik. Jika benda itu hilang, tamat sudah dirimu."
"Ya, aku pasti akan menjaganya." tanpa sadar Seruni menggenggam erat kantong celananya, "Jangan khawatir." Seruni langsung mematikan sambungan teleponnya, Seruni hendak pergi namun tangannya ditangkap dengan cepat oleh sang putri, "Mama tadi telepon siapa?"
"Sejak kapan kamu disini? Kamu menguping pembicaraan Mama?"
"Aku tidak menguping, Aku hanya heran kenapa Mama telepon secara sembunyi-sembunyi seperti ini?"
"Anak kecil tidak akan mengerti. Yang penting kamu diam saja dan tinggal terima beresnya saja."
"Tinggal terima beres tapi Mama tadi memuji Aa' Bagus. Mama berubah pikiran dan setuju dengan Ayah?"
"Maumu Mama langsung menentang ayahmu begitu?"
Seruni langsung melepaskan cengkraman tangan Catherine darinya.
"Ya tidak seekstrim itu juga, Ma. Tapi..."
"Hust!" Seruni langsung membungkam ucapan sang putri, "Semuanya biar Mama yang atur, Ok?" Seruni mengeluarkan senyuman manis, menepuk punggung sang putri kemudian pergi menuju ruang kerja untuk menyusul sang suami namun sebelum itu Seruni pergi ke dapur, mengambil kue serta teh hangat untuk dia bawa.
"Mas, sibuk?" pintu dibuka dan Seruni masuk setelahnya, berjalan dengan langkah gontai menuju sofa.
"Tidak terlalu. Ada apa?" Suseno mengangkat wajahnya dari berkas diatas meja.
"Sini. Kita ngobrol-ngobrol santai berdua. Sudah lama kan kita tidak melakukan hal seperti itu." Seruni menepuk sisi kirinya yang kosong, tanpa diminta dua kali, Suseno bangkit dari meja kerjanya dan berjalan menuju sofa kemudian duduk disebelah Sang istri.
"Ini kubuatkan teh melati kesukaanmu." Cangkir diberikan dan Suseno menerimanya. Pria paruh baya itu menghindu aroma teh yang khas tersebut sebelum akhirnya menyesapnya pelan.
"Ah " desah lega keluar dari bibir Suseno sesaat setelah menyesap tehnya.
"Mas..."
"Hm?"
"Mas tahu tanah yang ada di ujung kompleks?"
"Ya tahu, kenapa?"
"Kalau Seruni minta mas belikan tanah itu untuk Seruni, apa mas mau?"
"Tanah kita kan sudah banyak. Untuk apa beli tanah lagi?"
"Itukan tanah atas nama Mas Suseno bukan atas nama Seruni."
"Kita bukan dalam kondisi baik untuk bisa mengeluarkan uang dalam jumlah besar, Seruni."
"Mas." Jemari Seruni terulur, menggenggam tangan Suseno kemudian membawa wajah sang suami untuk menatap manicnya.
"Mas beli tanah itu, ya. Paling harganya tidak sampai 5 Milyar. Kalau Mas sayang sama Seruni, Mas pasti akan belikan tanah itu untuk Seruni, kan?"
"Iya, saya sayang sama kamu." angguk Suseno seperti robot.
"Jadi Mas mau belikan tanah itu atas nama Seruni?"
"Ya. Saya akan belikan untukmu."
"Terima kasih, Mas." Senyum di bibir Seruni membuncah secara spontan wanita itu membawa wajah Sang suami untuk dikecup.
Keesokan harinya Suseno langsung pergi ke kantornya dan menghadap direktur keuangan, meminta orang penting itu mencairkan dana yang dia butuhkan.
"Maaf Tuan, kita bukan dalam kondisi untuk mencairkan dana sebesar itu." wanita yang menangani masalah keuangan perusahaan itu menatap Suseno gusar.
"Saya butuh uang itu sekarang. Saya tidak mau tahu, sebelum sore nominal uang yang saya pinta harus sudah tersedia." Suseno menatap tajam wanita berkaca mata didepannya itu, "Usahakan kalau tidak ada sama sekali, kamu yang akan saya pecat." peringatnya tajam dengan tangan menggebrak meja sebelum akhirnya memutuskan keluar dari ruang kerja sang direktur keuangan.
Kania yang kebetulan main ke kantor sang ayah langsung terpekik kaget begitu pria paruh baya itu membanting pintu dengan keras, Kania yang heran dengan tingkah laku sang ayah memutuskan untuk bertanya pada si pemilik ruangan.
Tok! Tok!Tok!
"Ya masuklah." suara dalam ruangan terdengar lirih dan benar saja begitu Kania membuka pintu ruangan, dia mendapati si pemilik ruangan sedang duduk di meja kerjanya dengan tangan memijat kepala karena pusing.
"Oh Kania."
"Ayah tadi kenapa? Ada masalah?" Kania berjalan mendekat.
"Ayahmu meminta dana perusahaan sebesar 5 Milyar Rupiah."
"Untuk apa?!" pekik Kania kaget pasalnya nominal yang disebutkan cukup banyak.
"Saya sendiripun tidak tahu. Dia meminta dana itu harus ada nanti sore, Kania." desahnya pusing, "Dia minta uang itu atau saya akan dipecat."
"Apa?" manic Kania melotot, "Aku akan coba bicara pada ayah."
"Ya, bicaralah. Kalau perlu bujuk ayahmu itu karena keuangan perusahaan kita sedang tidak baik-baik saja sekarang ini."
"Ya, jangan khawatir." Kania lantas keluar dari ruang direktur perusahaan dan berjalan menuju kantor sang ayah.
Kania mengetuk pintu dan langsung membuka pintu ruangan itu begitu suara sang ayah mempersilahkannya masuk.
"Ayah Ok?" Kania berjalan mendekati meja kerja sang ayah dengan raut khawatir.
"Ya, Ayah baik-baik saja, Kania. Ada apa?" pria yang duduk dengan kaca mata tebal itu mendongakkan kepala sejenak pada sang putri.
"Direktur keuangan tadi cerita pada Kania kalau ayah membutuhkan uang dalam nominal yang cukup besar, Kalau boleh Kania tahu, uang itu untuk apa?"
"Oh, ayah berniat membeli tanah yang ada diujung kompleks perumahan kita."
"Membeli tanah bukanlah sesuatu yang sangat mendesak bukan?" Kania mengerutkan alisnya bingung.
"Tapi Ayah benar-benar mau tanah itu, Kania. Dan saat ini adalah kesempatan ayah karena mereka menjual tanahnya dengan harga cukup murah."
"Tapi keuangan perusahaan sedang tidak baik sekarang ini."
"Ayah yang lebih tahu masalah keuangan perusahaan jadi kamu jangan khawatir."
"Tapi kan..."
"Kalau tidak ada keperluan lain kamu bisa pergi sekarang kamu kesini untuk mengunjungi suamimu, bukan?"
"Iya tapi yang terpenting sekarang adalah masalah ayah..."
"Kamu bisa keluar sekarang!" Suseno menunjuk pintu, "Keluar." dan tangan Suseno mengibas, mengusir Kania.
"Ya, baiklah Kania keluar. Tapi Kania harap ayah berpikir lagi tentang niat ayah." Kania menutup pintu ruangan dan memutuskan untuk mengunjungi Bagus yang ruangan kerjanya ada diujung gedung tersebut.
Kania membuka pintu ruang kerja suaminya hingga membuat Bagus yang sedang mempelajari berkas langsung mengangkat kepala.
"Kamu berkunjung."
"Ya." angguk wanita itu pelan.
"Kenapa wajahmu begitu? Ada masalah?" Bagus mendekati sang istri dan duduk disampingnya.
"Ayah meminta pencairan dana perusahaan untuk membeli tanah."
"Lalu?"
"Keuangan perusahaan sedang tidak bagus saat ini. Ayah tahu itu tapi ayah tetap memaksa." Kania mengigit bibirnya keras.
"Mungkin ada pertimbangan lain hingga membuat Ayah berbuat demikian."
"Tidak!" Kania menggelengkan kepalanya pelan, "Ada yang aneh. Kemarin ayah membelikan tas mahal untuk Mama."
"Mungkin Ayah ingin sedikit menyenangkan Mama Seruni."
"Aku tahu! Tapi ayah bukan orang yang mudah mengeluarkan uang ratusan juta hanya demi sebuah tas belaka." gumam Kania, "Jika ditarik garis lurus, Ayah akan lebih memilih membelikan mobil daripada tas tak berguna, A." Kania mengerutkan alisnya, dia merasa ayahnya aneh. Pandangan pria itu sedikit kosong bahkan saat bicara tidak mau menatap lawan bicaranya seperti biasa pria paruh baya itu lakukan.
"Apa mungkin ada sesuatu tapi apa?"