"Apa?! Hanya dapat beberapa bidang tanah?!" pekik Bu Joko tidak percaya, "Kau menikah selama hampir 20 tahun dengan Suseno dan membuang semua impianmu tapi kamu hanya dapat tanah yang nilainya tak seberapa?! Dan sekarang menantumu yang miskin itu dimintai tolong untuk ikut mengelola kebun teh kalian?! Gila!" Seruni memutuskan untuk menceritakan semua yang dia alami pada temannya itu dan reaksi temannya itu tentu sangat kaget tak terkira. Beruntung arisan sudah usai dan hanya tinggal mereka berdua di rumah besar itu jadi lengkingan suara Bu Joko hanya mereka saja yang mendengarnya.
"Mau bagaimana lagi, Jeng. Keputusan ayahnya Catherine sudah bulat dan aku tidak bisa melakukan apapun sekarang."
"Usaha dong mumpung Si Suseno masih hidup, kamu bujuk dia untuk mengubah surat wasiatnya! Kalau perlu, setir suamimu itu."
"Memangnya Mas Suseno itu almarhum suamimu yang bisa kami setir dengan mudah."
"Kamu pikir aku tidak usaha untuk membuat Almarhum suamiku seperti itu. Dia dulu bahkan lebih keras daripada suamimu, Seruni." Bu Joko menipiskan bibirnya, "Mau tahu apa yang kulakukan supaya dia patuh padaku?"
"Apa?" Seruni langsung memegang tangan temannya itu, mendesaknya untuk bicara, "Kau bersikap lembut dan terus membujuknya?"
"Pakai dukun."
"Apa tidak bahaya?" Seruni langsung patah arang, "Bukannya kalau pakai dedukunan pakai tumbal segala? Kamu tidak takut?"
"Yang pakai tumbal itu pesugihan. Kan aku tidak melakukan itu jadi aman. Lagipula yang kamu lihat sekarang bagaimana? Aku tidak apa-apa, kan? Masih sehat dan semua baik-baik saja." Bu Joko menunjuk dirinya sendiri dengan yakin terlebih lagi saat melihat ekspresi Seruni yang tidak yakin.
"Kuberikan nomor telepon orangnya." Bu Joko mengambil memo dan menuliskan sebuah nomor telepon disana kemudian menggenggamkannya di telapak tangan Seruni, "Buat jaga-jaga, siapa tahu kamu berubah pikiran."
Dan kini Seruni menatap serangkaian angka yang tertulis disana dengan beribu bimbang. Banyak pertimbangan yang hinggap di otaknya saat ini, antara mengikuti saran dari temannya dengan segala resiko atau diam begitu saja, menerima apa yang dia dapatkan setelah 20 tahun pernikahannya.
Ceklek!
Seruni buru-buru mengantongi memo ditangannya saat sosok pria dengan setelan kemeja hitam putih dengan jas masuk kedalam kamar.
"Eh mas, sudah pulang." Seruni bangkit dari atas meja riasnya, menyambut suami dengan ciuman di telapak tangan kemudian membantu pria itu untuk melepas jasnya dan menyimpannya dengan rapi.
"Bagaimana pertemuan tadi? Lancar?" Seruni harap tidak karena dengan demikian Suseno akan membatalkan niatnya untuk meminta Bagus dalam mengelola bisnis keluarga mereka.
"Sepertinya pilihan Ayah untuk membawa Bagus bertemu dengan para kolega sangatlah tepat." Senyum di wajah Suseno cerah setelah pria itu pulang dari acaranya, "Mereka memuji Bagus karena pengetahuan anak itu selama mengurus kebun kita. Mas optimis sekali kalau Bagus nantinya bisa membantu perkebunan menjadi lebih baik lagi."
"Andai Mas juga memberi kesempatan pada Catherine, Seruni yakin dia juga bisa seperti Bagus. Mas tahu sendirikan kalau Catherine ini pintar dan dia juga sering ke kebun ikut kita."
"Tidak!" Suseno menggelengkan kepalanya keras, "Mas kan sudah bilang alasannya tadi pagi, Seruni." Suseno menarik nafas lelah karena harus bicara hal yang sama untuk kedua kalinya, "Lagipula Catherine itu masih kecil terlebih lagi dia perempuan. Akan sulit baginya untuk menyakinkan kolega kita, Seruni."
Dan ucapan keluar dari balik bibir Suseno itulah yang cukup membuat Seruni akhirnya mengambil keputusan bulat. Wanita itu menekan angka sesuai dengan notes yang diberikan oleh Bu Joko padanya.
"Hallo, Saya Seruni. Bisakah anda membantu saya?"
***
"Runi, tolong ambilkan shampo!" pintu kamar mandi terbuka dari dalam dan sosok Suseno mengintip dibalik pintu untuk memanggil sang istri.
"Sebentar." Seruni keluar dari dalam kamar, meminta persediaan shampo dari art kemudian memberikannya pada sang suami.
Tak lama kemudian Suseno selesai mandi dan keluar dengan handuk ditangan untuk mengeringkan rambutnya.
"Sini Runi bantu keringkan rambutnya." Sang istri membawa Suseno duduk di meja rias, mengeringkan rambut sang suami yang sudah mulai banyak bagian yang berubannya.
"Rambut Mas sudah mulai panjang. Apa tidak mau potong saja?"
Suseno langsung melihat penampilan rambutnya didepan cermin dan memang rambutnya kali ini lebih panjang dari sebelum-sebelumnya.
"Iya juga." Pria itu menyentuh helaian rambutnya kemudian menyentuh bakal janggutnya yang juga mulai tumbuh, "Di bagian janggut sudah panjang juga." kemudian tangannya mengelus bakal janggutnya pelan, "Mau bantu merapikan penampilan Masmu ini?"
"Mau potong rambut model apa?"
"Cepak saja biar lebih enak."
Seruni lantas mengambil kain dan membebatnya disekitar leher sang suami kemudian mulai memotong rambut sesuai permintaan pria itu. Setelah bagian rambut selesai, Seruni mengambil cream pencukur, mengoleskannya di rahang pria itu dan mulai mencukurnya secara hati-hati. Setelah semua selesai, Seruni melepaskan kain yang membelit leher Suseno sebelum akhirnya memberikan pijatan kecil di kepala.
"Sudah selesai." Seruni menatap hasil karyanya lewat cermin sebelum akhirnya keluar untuk mengambil sapu serta pengki untuk membersihkan rambut Suseno yang berserakan di lantai.
"Kenapa kamu bersihkan sendiri? Panggil saja seorang assisten untuk membersihkannya."
"Hanya masalah seperti ini saja bisa kutangani sendiri, Mas." Seruni menipiskan bibirnya, "Sudah sana, mas pergi dulu biar ini kubersihkan nanti mas bersin-bersin karena rambut halusnya yang beterbangan di udara." Seruni menunjuk arah pintu, meminta sang suami pergi dan Suseno yang memiliki hidung sensitif tentu saja langsung keluar dari kamar. Setelah memastikan pintu ditutup, Seruni lantas mengambil satu jumput rambut Suseno dan membungkusnya dengan kain putih lalu setelahnya dia mulai membersihkan ruangan dengan sapu.
Dan keesokan harinya, disaat Suseno baru membuka mata, dia mendapati sang istri sudah rapi dan cantik di depan meja riasnya.
"Pagi-pagi begini mau kemana, Ma?"
"Mama ada janji dengan Bu Joko mau menemani beliau sebentar." Seruni mematut penampilannya di depan cermin, memastikan tidak ada cela.
"Pagi-pagi begini?"
"Sudah ya, Mas. Seruni sudah telat tidak enak nanti ditunggu sama Bu Joko." Seruni bangkit dari atas meja rias, mengambil tas kemudian langsung mengecup pipi sang suami, "Mama pergi."
"Hm, hati-hati."
Seruni keluar rumah dan langsung minta supir mengantarkannya ke rumah Bu Joko dan setelahnya, kedua wanita berumur menuju lokasi yang dimaksud dengan menggunakan mobil wanita itu. Seruni melakukan hal itu karena tidak mau satupun orang di kediaman Suseno tahu apa yang dia lakukan.
"Rumah ini?" Setelah menempuh perjalanan hampir 2 jam, akhirnya mereka sampai dipinggiran kota Jakarta yang bahkan Seruni sendiri tidak tahu ada rumah dengan beringin besar disekitarnya.
"Sepertinya Mbah Wongso sudah menunggu kita." Bu Joko keluar dari mobil dan diikuti Seruni dibelakangnya.
Seruni mengamati bale rumah yang terkesan kuno dengan pintu jati penuh ukiran rumit disepanjang sisinya serta dinding yang tidak diaci.
Tok!Tok!Tok!
Bu Joko mengetuk pintu dan tak lama kemudian sosok pria baya, dengan mata teduh serta bakal janggut lebat disekitar wajah keluar dari balik pintu, menyambut mereka dengan ramah kemudian mempersilahkannya untuk masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi jati yang terlihat sangat terawat. Bu Joko tampak tenang tapi tidak dengan Seruni, wanita itu mengamati sekitar dengan ngeri pasalnya dibeberapa sudut dinding terpasang kepala rusa, entah itu asli atau bukan tapi tetap saja rasanya tidak nyaman sekali di rumah itu, terasa berat dan panas tanpa ada sebab yang pasti.
"Apakah yang saya minta sudah kamu bawa?" pria itu langsung pada intinya.
"Sudah Mbah." Seruni lantas membuka tasnya, mengeluarkan kain putih yang ternyata merupakan kain kafan yang berisi rambut Suseno serta secarik kertas.
"Suseno Djuaji binti Umar Salim Djuaji lahir Senin Pon, 15 Agustus 1960." Pria tua itu lantas mengangkat kepala dan bertanya lagi pada Seruni, "Dia lahir siang atau Setelah Magrib?"
"Apakah itu berbeda?" Seruni tidak tahu maksud dari pria tua itu.
"Jika setelah Magrib, Wetonnya menjadi Selasa Wage yakni 7 Sedangkan Senin Pon 11."
"Setahu saya siang hari Mbah." Beruntung Suseno pernah bilang kalau dia penakut karena lahir di siang hari.
"Baiklah." Pria itu menganggukkan kepala, "Tunggu sebentar disini." Pria itu bangkit dari kursi, namun sebelum dia melangkah lebih jauh pria itu kembali memberi peringatan, "Jangan pernah sentuh apapun di rumah ini tanpa seizin saya."
"Baik Mbah." angguk Seruni patuh dengan menelan ludah serat karena dia sedikit takut sekarang.
"Tenang dan percaya sama Mbak Wongso. Kujamin semua akan beres."
"Bu Joko tidak bohong kan mengenai efek sampingnya nanti?" Seruni masih cemas.
"Tidak. Kita cukup bayar nominal uang yang diminta Mbah Wongso dan semuanya beres."
Hampir 30 menit kemudian Mbah Wongso keluar dari ruangannya, pria tua itu lantas memberikan kain putih yang diberikan Seruni tadi pada pemiliknya.
"Sudah. Saya harap ini adalah permintaan tolong anda yang pertama dan terakhir, Nyonya."
"Iya." angguk Seruni mantab, wanita itu lantas mengeluarkan amplop dari dalam tasnya dan memberikannya pada Mbah Wongso.
"Ini mahar yang Mbah minta." Amplop tebal itu diulurkan dan Mbah Wongso menerimanya dengan senang hati.
"Kalau begitu kami permisi." Keduanya langsung pamit dari rumah itu, masuk kedalam mobil dan langsung melesat dengan kecepatan tinggi menuju pusat kota.
"Dia seperti bukan dukun tapi lebih ke orang tua biasa dan juga seharusnya dengan mahar setinggi itu, seharusnya beliau punya rumah yang lebih baik." ucap Seruni setelah mereka meninggalkan kediaman itu.
"Kalau beliau mengaku sebagai dukun secara terus terang, matilah dia digeruduk massa karena bisa saja dia difitnah menyantet orang. Kalau dia ketahuan menyimpan uang banyak juga sangat bahaya, Seruni."
"Benar juga." angguk Seruni setuju. Kini tepat Beberapa jam kemudian Seruni telah berada di dalam ruang kerja sang suami yang nyaman, duduk ditemani sebuah majalah dipangkuan. Membolak-balik setuap lembarnya dengan manic mengintai sang mangsa yang duduk di meja kerjanya dengan kerjaan yang cukup menumpuk.
'Kalau tidak dicoba, kita tidak tahu apakah berpengaruh atau tidak bukan?'
"Mas tahu dari tadi kamu mengawasi Masmu ini, Seruni."
"Bisakah Seruni beli tas baru?"
"Hm?" Alis Suseno menukik bingung, "Tas? Bukankah kamu sudah punya banyak untuk apa beli lagi?"
"Ini tas Kremes. Tas yang bisa digunakan untuk investasi, Mas. Bu Joko saja punya."
"Ma, Kremes itu mahal. Daripada uang kita hamburkan untuk hal seperti itu lebih baik kita gunakan saja untuk hal lain."
'Apa mungkin tidak manjur?!' Seruni bingung sendiri karena kata Bu Joko semua akan berjalan sesuai dengan keinginannya.
Apa mungkin caranya salah? Sial, aku tidak mau kehilangan uang 100 juta dengan sia-sia!'
"Seruni tidak mau tahu! Mas harus membelikan tas seperti punya ibu sosialita itu untuk Seruni." Seruni lantas bangkit, berjalan kearah sang suami kemudian mengunci manic Suseno dengan miliknya, "Mas..." Jemari Seruni menggenggam jemari Suseno lembut, "Mas maukan membelikan tas Kremes untuk Seruni?"