bc

Trapped With The Devil

book_age18+
374
IKUTI
3.8K
BACA
possessive
love after marriage
dominant
aloof
CEO
drama
bxg
humorous
enimies to lovers
like
intro-logo
Uraian

“Aku akan memberimu dua pilihan. Masuk penjara atau menikah denganku, mana yang akan kau pilih?”— Fabian Lin

“Layaknya kesempurnaan yang Anda punya hanya sebatas kulit luar. Siapa yang akan menyangka kalau ternyata di dalamnya sinting beyond salvation?”— Shanaya Yin

“Aku akan menunggumu. Walau dunia ini hancur sekalipun. Hanya kau yang akan ada di hatiku.”—Alvin Xu

Untuk melunasi hutang sang ayah yang pergi dari rumah, Shasha terpaksa menikah dengan Fabian, CEO laknat yang selalu membuatnya naik pitam. Keadaan semakin rumit saat Alvin—sahabat Shasha, mengungkapkan perasaan dan juga kembalinya sang ayah yang kembali menjungkir-balik kehidupan Shasha. Akankah Shasha kembali ke sangkar emas Fabian? Ataukah berbalik untuk mengejar cinta lama yang dulu pernah mekar?

***

Cover image : pixabay ( free for commercial use )

Font : black chancery ( public domain on Dafont )

chap-preview
Pratinjau gratis
Chapter 1
“Aku akan memberimu dua pilihan. Masuk penjara atau menikah denganku, mana yang akan kau pilih?” — Fabian Lin “Layaknya kesempurnaan yang Anda punya hanya sebatas kulit luar. Siapa yang akan menyangka kalau ternyata di dalamnya sinting beyond salvation?” — Shanaya Yin “Aku akan menunggumu. Walau dunia ini hancur sekalipun. Hanya kau yang akan ada di hatiku.”—Alvin Xu *** Salju pertama di musim dingin turun. Butiran putih nan lembut kini menyelimuti jalanan. Berbanding terbalik dengan kelam langit malam yang selalu terlihat suram. Saat terdiam, suara bising dari jalanan pun hilang. Digantikan dengan renungan sendu yang memenuhi pikiran. Ah, bisakah ia tertawa layaknya orang-orang yang berlalu-lalang? Bahkan bernapas pun terasa sesak baginya. Entah mengapa, beban hidupnya kian bertambah. Menyesak dan merobek kewarasan tanpa adanya jalan menuju perdamaian. Tidak bisakah ia hidup tenang tanpa memikirkan kecemasan akan hari esok yang akan datang? Beberapa bulan yang lalu, ibunya meninggal karena sakit kronis yang tak tersembuhkan. Meninggalkan dirinya dan sang adik yang masih menyimpan sebuah penyesalan. Ah, ia bahkan belum membuat sang ibu tersenyum bangga. Sialnya lagi, sang ayah yang hobi berjudi, malah menghabiskan uang untuk permainan konyol yang tak pernah sekalipun dimenangkan. Ingin rasanya mengutuk, walau begitu mulutnya masih mempunyai tata krama dan menahan diri untuk tidak mengumpat. “Shasha, kau sudah boleh pulang,” suara familiar membuyarkan lamunannya. Menoleh, sang gadis melihat sosok pria berkacamata yang melempar senyum padanya. “Ah, masih setengah jam lagi. Kak Alvin duduk di belakang saja dulu.” Menggeleng, Alvin meraih tangan Shasha dan menarik gadis itu menjauh dari meja kasir. “Pulanglah. Ain pasti sudah menunggumu di rumah.” Pria itu—Alvin Xu, adalah kakak kelasnya saat SMA. Mereka bertemu karena keduanya sering menghabiskan waktu di rooftop gedung sekolah saat jam makan siang. Shasha tidak pernah menyangka ia akan bertemu lagi dengan Alvin saat ia masuk universitas. Sampai sekarang, Alvin menjadi salah satu teman baik Shasha. Bahkan tak jarang pria itu memberikan bantuan pada Shasha. Jika boleh jujur, sebenarnya gadis itu pun menyimpan perasaan spesial untuk Alvin. “Terima kasih, Kak,” ujar Shasha dengan senyuman yang merekah. “Sampaikan salamku pada Ain,” jawab Alvin sembari melambaikan tangan. Hari-hari yang ia jalani berlalu seperti biasa. Sesekali, ia berjalan dan menatap beberapa toko yang ada di pinggir jalan. Tak lama lagi, tahun berganti. Beberapa hari ini, Shasha pun sibuk memikirkan beberapa hadiah yang bisa ia berikan pada Ain. Ya, keluarga satu-satunya yang tersisa sekarang hanya adiknya. Dengan catatan bahwa Shasha sudah lama melupakan sosok ayah tak bertanggung jawab yang hanya bisa menelantarkan kedua anaknya. Menghela napas, tangannya membenahi syal yang menghangatkan lehernya. Beberapa langkah lagi hingga ia tiba di rumah. Selama ini, ia dan adiknya tinggal di sebuah rumah kecil yang hanya berisi beberapa petak ruang. Letaknya pun jauh di dalam gang sempit yang hanya bisa dilewati dua orang bersama. Jauh dari kata mewah, walau begitu, gadis itu bersyukur karena setidaknya ia memiliki tempat untuk tinggal. Membuka pintu, Shasha tak sabar melihat senyum san adik yang menyambutnya saat pulang. Biasanya, bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu akan memeluk dan mengusapkan kepala di perutnya. Terkekeh pelan, memikirkannya saja membuat Shasha meleleh karena keimutan Ain. “Ain, kakak pu—” Pintu terbuka, tapi gadis itu kini membeku tepat di depan pintu. Maniknya menatap bingung pada beberapa pria asing yang duduk santai di ruang tamu. “Ka-Kakak....” Namun, saat ia melihat sang adik yang berdiri dengan kaki yang bergetar, manik sang gadis langsung menjadi curam. Tentu, mereka bukan orang-orang yang seharusnya ia sambut dengan senyum ramah. “Apa kau putri dari Alfred Yin?” Pria yang kini duduk santai sembari menghisap cerutu, melayangkan pertanyaan pada Shasha. Secara fisik, pria itu terlihat sempurna. Walau begitu, Shasha sangat tidak menyukai raut dingin sang pria. Entah mengapa, tatapan tajam pria itu pun terkesan merendahkannya. Gadis itu tahu bahwa sosok yang ada di depannya tidak membawa kabar baik. Semua yang berkaitan dengan sang ayah hanya akan mendatangkan masalah lain yang akan membebani hidupnya. Sialnya lagi, ia memang tak memiliki kuasa untuk menolak akibat dari kelaknatan sang ayah. Memikirkan bahwa darah yang mengalir di nadinya sama dengan pria busuk yang tega meninggalkan istri dan anaknya, membuat Shasha pun muak. “Jika Anda memiliki urusan dengan ayah saya, tolong cari saja dia. Jangan libatkan kami karena pria itu sudah memutuskan hubungan dengan kami sejak la—” “Ditolak,” potong sang pria sembari mengembuskan asap cerutu yang ia hisap. “Kerugian yang diderita karena Alfred Yin tidak bisa ditoleransi.” Mengetatkan rahang, ingin rasanya Shasha melayangkan tinjuan maut ke wajah datar sang pria. “Mohon maaf, tapi itu bukan tanggungan kami. Silakan cari Alfred Yin dan mintalah pria itu bertanggung jawab atas masalah yang ia ciptakan.” Manik kelam sang pria menatap lekat gadis mungil yang kini merah padam. Perlahan, pria itu bangkit. Kakinya melangkah, mendekati sang gadis yang tak sedikit pun terintimidasi olehnya. “Kau punya nyali juga.” Tersenyum mengejek, Shasha tak sedikitpun gentar. “Saya tidak peduli dengan kedudukan Anda. Jika Anda berani mengganggu kedamaian hidup kami, saya tidak akan segan untuk—” “Untuk?” potong sang pria, tidak sabar. “Asal kau tahu. Kau tidak akan bisa menyentuhku seujung jari pun karena aku adalah—” Bukh! Suara tulang pipi dan tangan yang beradu menggema. Sang pria berjas hitam kini jatuh tersungkur dengan darah yang mengalir dari ujung bibirnya. Sementara anak buahnya langsung bersiaga dengan pistol yang ada di tangan, siap menarik pelatuk. “Hanya karena Anda mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, bukan berarti Anda bisa seenaknya dengan kami. Hanya karena Anda mempunyai dompet yang lebih tebal, bukan berarti kalian bisa seenak jidat kalian!” Shasha berteriak lantang. “Jika kalian kehilangan uang karena pria busuk macam Alfred Yin, kami juga sama! Kami korban di sini! Kami kehilangan ibu kami! Kami kehilangan harga diri kami! Kami kehilangan kewarasan kami hanya untuk memikirkan bagaimana cara kami untuk bertahan di esok hari!” Ah, ia tak bisa menahannya lagi. Amarah yang meluap, kini berusaha untuk memberontak. Ingin rasanya Shasha membuka mata mereka lebar-lebar. Semua masalah yang ayahnya lakukan, semua kekacauan yang ayahnya lakukan bukanlah dosa bersama yang harus ia dan Ain tanggung. Ia lelah. Ia sangat lelah dengan semua kegilaan yang menimpanya. Tak terasa, air matanya meleleh. Walau begitu, wajah Shasha masih tetap tegar. “Sial,” umpatnya. “Kami tidak pernah ingin mempunyai ayah sebusuk dia.” Tangan rapuhnya kini mengusap air mata yang masih mengucur deras. Ia paham, walau ia mengumpat ratusan kali pun, ia tidak akan bisa lolos dari sisa-sisa dosa sang ayah yang harus ia tanggung. “Terserah jika kalian ingin membunuhku atau menyiksaku atau apa pun yang akan kalian lakukan padaku. Tapi tolong lepaskan adikku.” “Kakak ... jangan mengatakan hal seperti itu,” ucap sang bocah malang yang masih ketakutan. Bukan karena takut kehilangan nyawanya, tapi takut jika terjadi sesuatu pada sang kakak. Menipiskan bibir, Shasha hanya bisa menatap dingin pria yang kini berusaha untuk bangkit. Yang ia miliki hanya tubuh dan jiwa. Jika pria itu mengambilnya untuk menebus hutang ayahnya, ia rela. Asal Ain terselamatkan, semuanya akan ia lakukan. “Menyiksa gadis yang tak berdaya bukanlah hobiku,” ucap sang pria sembari mengangkat tangan, mengisyaratkan anak buahnya untuk menyimpan senjata mereka. Kekehan sinis pun terdengar. “Tuan, Anda baru saja menyiksa batin saya.” “Kau mengingatkanku pada seseorang,” ucap sang pria, tanpa mengindahkan sindiran Shasha sebelumnya. “Aku memutuskan untuk memberimu keringanan.” Menyipitkan mata, entah mengapa Shasha mencium bau-bau kesialan. Ia yakin tawaran pria itu pun hanya akan merugikannya. Namun, sedikit yang Shasha tahu, untaian kalimat yang akan pria itu lontarkan adalah kata-kata paling gila yang pernah ia dengar. “Aku akan memberimu dua pilihan. Masuk penjara atau menikah denganku, mana yang akan kau pilih?” Membeku. Untuk beberapa detik, waktu seolah terhenti. Yang terdengar selanjutnya hanyalah tawa sang gadis yang memecah keheningan. Menganggap bahwa telinganya mungkin ikut tidak waras karena terlalu lama mendengar ocehan pria sialan yang ada di depannya. “Layaknya kesempurnaan yang Anda punya hanya sebatas kulit luar. Siapa yang akan menyangka kalau ternyata di dalamnya sinting beyond salvation?” Tidak. Dunia ini bukanlah dongeng romansa bak cerita Cinderella. Ia juga bukan putri dongeng layaknya Belle atau Aurora. Ia hanya gadis miskin. Tidak rupawan, tidak berpendidikan, tidak mempunyai bakat terpendam. Lamaran dari seorang CEO muda yang tampan rupawan adalah hal paling tidak mungkin dalam takdirnya. Ya, walau pria itu memang seenak jidat dengan kewarasan yang dipertanyakan, tetap saja semua itu bukanlah takdir yang tepat dalam hidupnya. Sayangnya, yang Shasha dengar bukanlah sebuah lelucon. Pria itu kini menarik tangannya dan meletakkan sebuah kartu nama di sana. Membuat sang gadis langsung menghentikan tawanya. “Shanaya Yin. Jika kau bersedia untuk menikah denganku, aku akan menganggap semua hutang ayahmu telah lunas,” ujar sang pria. “Aku akan memberimu waktu seminggu untuk memikirkannya. Jika kau sudah membuat keputusan, datanglah padaku.” Setelah menyerahkan kartu nama itu, sang pria berjas hitam langsung melangkah pergi bersama dengan anak buahnya. Meninggalkan Shasha yang masih membeku. Fabian Lin. Nama yang tertera di kartu nama itu, cukup membuat Shasha berkeringat dingin. Ah, layaknya ia telah menggali kuburannya sendiri. Jatuh terduduk, gadis itu langsung menghela napas berat. Ain pun langsung menghambur dan menatap cemas pada sang kakak. “Kakak ... apa kau baik-baik saja?” tanya sang bocah. Seketika, senyuman pahit mengembang. “Kakak baik-baik saja. Jangan khawatir.” Walau begitu, yang ia rasakan hanyalah kecemasan yang begitu besar. Ia baru saja melayangkan tinjuan ke wajah Fabian Lin, sosok yang bahkan bisa menghancurkan kota dalam semalam. Menangkup wajah, Shasha tak berhenti mengutuk diri sendiri. “Bagaimana bisa aku masih begitu bodoh walau sudah menempuh pendidikan sejauh ini?” *** Awalnya ia hanya kehabisan kesabaran karena anak buahnya tak kunjung menangani Alfred Yin. Ia pun akhirnya ikut turun tangan untuk membunuh kebosanan. Namun, yang ia jumpai di sana hanyalah gadis yang sangat mirip dengan anak kucing yang terdesak. Gadis itu bahkan sempat melayangkan sebuah tinju ke wajahnya. Perlahan, tangannya menyentuh sudut bibir yang kini membiru. Selama ini tidak ada yang berani menyentuh seorang Fabian Lin. Jangankan menyentuh, menentangnya pun tidak ada yang berani. Tapi gadis itu berbeda. Shanaya Yin adalah satu-satunya gadis yang berani menatap tajam padanya. Berani melayangkan kata-kata pedas dan mengungkap kekesalan padanya. Fabian tidak pernah merasakan perasaan seaneh ini sebelumnya. Perasaan saat manik kelamnya bertemu dengan tatapan tajam Shasha, rasanya sangat berbeda jika dibandingkan dengan saat ia menatap pada orang lain. Seolah ... dadanya merasakan sebuah kerinduan. Seolah ia ingin terus menatap gadis rapuh yang mencoba untuk bertahan. Ia ingin gadis itu tetap di sisinya. Apa yang akan gadis itu katakan selanjutnya? Apa yang akan gadis itu lakukan selanjutnya? Fabian ingin melihat gadis itu setiap saat. Melihat tingkah konyol yang akan membuat seulas senyum geli di wajahnya. Keberadaan Shanaya Yin adalah seorang individu unik di mata Fabian. Sebuah keberadaan yang tak akan tergantikan. Bahkan saat gadis itu menangis, perasaan iba menguar dalam hatinya. “Kami tidak pernah ingin mempunyai ayah sebusuk dia.” Ratapan sang gadis terus mengiang. Ya, memang semua kesalahan Alfred bukanlah dosa yang harus Shasha tanggung. Gadis itu kehilangan orang yang menpang hidupnya, walau begitu ia masih berusaha untuk tetap tegar dan berjuang untuk hari esok. Di balik tubuh mungil yang rapuh, semangat juang untuk hidup gadis itu lebih keras dari batu karang. Untuk pertama kalinya, Fabian merasakan perasaan iba dan kagum secara bersamaan. “Tuan Muda, bukankah ... Anda sudah memiliki tunangan?” Kiel—sang asisten, mengungkap kekhawatirannya. Untuk pertama kalinya, sang tuan muda melirik seorang gadis. Sayangnya, Fabian sudah memiliki tunangan. Bahkan rencananya, kedua belah pihak akan merundingkan tanggal pernikahan setelah pihak wanita kembali dari Eropa. Jika sang tuan muda melamar wanita lain, bukankah semua itu hanya akan menimbulkan masalah besar? “Batalkan,” ujar Fabian, enteng. “Lagi pula, aku tidak pernah mengiakan hubungan itu.” Tersenyum kecut, Kiel tak mengerti apa yang kini sedang Fabian pikirkan. “Tuan, reputasi Anda akan tercoreng jika Anda melakukannya.” Fabian terdiam. “Kiel, aku rasa kau lupa bahwa semua orang di kota ini menyamakan diriku dengan iblis.” “Anda tidak seburuk itu,” timpal Kiel. Walau nyatanya, terkadang Fabian memang brutal, tapi Kiel tahu pria itu tidak sejahat yang mereka bayangkan. “Jika Anda seperti yang orang-orang katakan, tangan gadis itu pasti sudah hancur sekarang.” Kiel benar. Namun, semua belas kasih Fabian hanya berlaku pada Shasha. Jika orang lain yang melakukan semua itu padanya, mungkin hanya peti mati yang akan menjadi rumah singgah mereka. “Ngomong-ngomong, Tuan. Bagaimana jika gadis itu tetap menolak? Apa saya perlu melapor polisi?” “Jika dia menolak ... aku akan membuatnya menerima lamaranku.” Karena Fabian Lin, tidak menerima sebuah penolakan. “Cari semua informasi tentang Shanaya Yin.” “Baik,” ujar Kiel. Hingga beberapa saat kemudian, pria itu kembali mengkhawatirkan status Fabian. “Tapi ... bagaimana dengan pertunangan—” “Kiel,” potong Fabian. “Layaknya kau lebih khawatir dengan pernikahanku daripada pernikahanmu sendiri. Haruskah aku memaksamu untuk menikahi seorang gadis?” Pucat, Kiel hanya bisa menggeleng. Terakhir kali, Fabian menghukumnya dengan mencari seorang wanita paruh baya yang masih lajang untuk berkencan dengannya. Tentu, semua itu membuat Kiel ingin membenturkan kepalanya ke tembok terdekat. Berharap saat sadar, ia tak lagi melihat wajah genit dengan riasan tebal yang membuatnya hampir pingsan. Saat ia mengadu pada kakek Fabian, yang ia dapati hanya jawaban seenak jidat yang menbuatnya semakin ingin mencekik Fabian. Sayang, hasratnya untuk balas dendam tak akan pernah tersampaikan. “Bukankah perempuan yang aku kirim kemarin juga seorang gadis? Mereka mengaku kalau mereka masih suci.” Tentu, ia yakin bahwa Fabian memang merencanakan akal busuk itu untuk menghukumnya. Sampai detik ini, ia tidak berani membuat sang tuan muda kehilangan kesabaran. Ia tidak ingin membayangkan hukuman macam apa lagi yang akan ia terima. “Kiel,” panggil Fabian. “Ada apa, Tuan?” “Haruskah aku membuat black card lagi untuk menyuapnya? Ataukah lebih baik aku memberikannya apartemen mewah? Ataukah aku harus mencoba cara yang lebih ekstrim dengan menculikanya dan memaksanya untuk menyetujui lamaranku?” Seketika, Kiel tersenyum kecut. “Tuan, tolong jangan menakuti gadis itu lebih dari menawarkan pernikahan mendadak padanya.” Kiel sungguh tidak mengerti bagaimana cara berpikir Fabian. Layaknya kata-kata Shanaya Yin memang benar. Fabian hanya sempurna dari luar, di dalam hanya ada sisa kewarasan yang kian menipis.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

PERFECT PARTNER [ INDONESIA]

read
1.3M
bc

MY ASSISTANT, MY ENEMY (INDONESIA)

read
2.5M
bc

Mafia and Me

read
2.1M
bc

CRAZY OF YOU UNCLE [INDONESIA][COMPLETE]

read
3.2M
bc

Marry The Devil Doctor (Indonesia)

read
1.2M
bc

Perfect Revenge (Indonesia)

read
5.1K
bc

KISSES IN THE RAIN

read
58.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook