Kehilangan Yang Sesungguhnya

1606 Kata
Selama di Singapore, Rara disibukkan dengan agenda menyelesaikan pekerjaan yang sudah didelegasikan kepadanya, Tara yang seharusnya mengikuti pertemuan pun mendadak berhalangan hadir dan hanya diwakili oleh sekretaris pribadinya. Tara pun menyetujui langsung permintaan cuti Rara untuk extend selama 3 hari di Singapore, bahkan pemilik perusahaan tersebut memberinya fasilitas khusus selama ia berada disana mengingat prestasinya yang memukau. Sudah satu bulan pasca berpisah dengan Nanda, Rara masih berduka. Teman-temannya di kantor pun mulai merasakan ada yang berbeda dengan sikap Rara yang tidak seceria biasanya. “Bu, kalau sakit pulang aja. Itu wajahnya pucat,“ kata salah satu staff finance yang kebetulan datang ke ruangannya. “Iya, sebentar lagi. Kamu udah gak ada lagi kan yang perlu ditandatangani?“ tanya Rara yang sedang memijit pelipisnya. “Gak ada, Bu,“ jawab staf nya. “Ya udah, saya mau pulang.“ Rara membereskan mejanya. Badannya sedang tidak fit, selepas pulang dari Singapore sebulan yang lalu, perusahaan menambah pekerjaannya. Karena potensi yang Rara miliki sayang untuk tidak dikembangkan. Rara berpamitan kepada Vano, ia bergegas pulang ke apartemennya. “Ra, diantar saya mau? Sekalian saya mau ke tempat sepupu,“ tawar Vano yang melihat wajah pucat Rara. Ia khawatir dengan keadaan bawahannya tersebut. “Boleh, Pak. Kalau tidak keberatan,“ kata Rara lirih. Lelah hati dan pikiran menjadi satu membuat daya tahan tubuhnya menurun. Siang itu menjadi hari yang tidak akan ia lupakan seumur hidupnya. Dalam perjalanannya kembali ke apartemen bersama dengan Vano, adiknya di Malang memberikan kabar yang membuat dunianya seketika runtuh. Bayangan akan menjemput ibu dan adiknya untuk tinggal di ibukota musnah sudah. Rara menangis sejadi-jadinya di dalam mobil yang dikendarai oleh Vano. “Ada apa, Ra? Kasih tahu saya,” ucap Vano panik. Ia menepikan mobilnya agar memudahkan dirinya bertanya kepada bawahannya itu. Rara hanya menggeleng, air matanya terus keluar bak air terjun yang tanpa henti, seketika Vano pun tersadar karena ponsel Rara yang masih menyala, panggilan masuk dari adiknya belum sempat ia matikan. Vano berinisiatif untuk menghubungi Chika kembali untuk menanyakan apa yang sedang terjadi. Mendapatkan penjelasan singkat dari Chika, Vano berinisiatif menghubungi sepupunya untuk membantu rara bersiap pulang ke kampung halamannya. Awan berselimut kabut, udara Jakarta yang biasa terik menjadi dingin seakan ikut merasakan dukanya. Rara berkemas sekenanya dibantu oleh sepupu perempuan Vano yang kebetulan tinggal di kompleks apartemen yang sama dengannya. “Saya antar ke bandara, tiket sudah belikan, Mbak Rara harus kuat,” ucap sepupu Vano yang bernama Erika. Rara hanya mengangguk, ia memilih ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar selama perjalanan. Ia masih tidak terima telah ditinggalkan oleh wanita yang sudah melahirkannya ke dunia. Sementara itu, Vano yang sudah meminta Chika mengirimkan pesan singkat kepadanya untuk memastikan mereka tidak kesulitan. Karena Vano paham betul kondisi Rara dan keluarganya di Malang. Karena merasa tidak enak dengan Vano dan Erika, sebisa mungkin Rara terlihat tegar. Ia mulai mempertanyakan waktu izin yang Vano berikan kepadanya selama masa berduka. “Kamu santai aja dulu, selesaikan urusan di Malang hingga tuntas, jangan sungkan hubungi saya jika ada kesulitan atau butuh bantuan apapun,” ucap Vano tanpa ragu. Mereka sudah berada di area bandara, Vano dan Erika sepakat menemani Rara hingga pesawatnya siap take off. Kondisi Rara yang memprihatinkan membuat Vano khawatir, ia menghubungi salah satu anak buahnya yang berada di cabang Surabaya untuk mengecek keadaan Rara secara berkala. “Kamu pastikan Rara tidak kesulitan, tugas kamu di sana ke rumah duka mewakili perusahaan, saya udah info Rara, selebihnya seperti yang sudah saya jelaskan tadi,” ucap Vano melalui pesan singkat kepada anak buahnya. Bandara Abdul Rahman Saleh… Rara meraih pegangan kopernya, ia keluar dari bandara menuju antrian taksi untuk pulang ke rumahnya, rumah yang selalu ia rindukan di tengah peliknya ibukota tempat banyak orang mengadu nasib. Ia menumpangi sebuah taksi bandara menuju rumahnya, Chika sang adik sudah beberapa kali mengirimkan pesan singkat yang menanyakan keberadaannya. Setelah membayar ongkos taksinya, ia memandang sendu rumah berpagar hijau tersebut sudah ramai pelayat, orang yang pertama ia cari adalah Chika. Ia menemukan sang adik begitu tegar duduk bersimpuh di hadapan jasad ibunya yang sudah terbujur kaku. Memegang sebuah buku panduan untuk mendoakan almarhum ibunya, walaupun berurai air mata, tak menyurutkan semangatnya untuk melantunkan doa untuk ibunya. “Mbakkkk…” Suara Chika yang begitu menusuk ulu hatinya, tersirat sebuah kehilangan yang teramat dalam dari sorot ajah adiknya yang baru saja lulus SMA. Rara memeluk adiknya setelah menghapus air mata Chika sekenanya. Pemandangan yang membuat para pelayat merasa iba dengan keduanya. Kini, Rara harus berjuang sendirian, membiayai adik semata wayangnya tanpa kata-kata bijak dan semangat dari seorang ibu. “Ra, ada tamu. Kamu gak mau temui dulu?” tanya Budhe Asih kepada Rara. Kakak kandung ibunya yang rumahnya tidak jauh dari rumah duka. “Iya Budhe, sebentar,” ucap Rara menghapus air matanya terlebih dahulu sebelum menemui tamunya. Ruang tamu yang berubah menjadi tempat disemayamkan jenazah, kini sedikit lengang. Rara mempersilahkan tamunya masuk dan duduk di karpet warna hijau yang terbentang sepanjang ruangan tersebut. “Mbak itu Bu Munah, ibu kapan hari ambil panci presto buat Mbak, belum dibayar cicilannya,” bisik Chika di telinga kakaknya. “Ya udah, kamu ambil tas kakak, bawa sini,” kata Rara kepada adiknya. “Bu Munah, ngapunten kalau ibu ada salah. Soal tanggungan ibu, saya yang tanggung jawab,” ucap Rara tanpa ragu. “Sorry lho Nduk, saya gak tahu, ini baru dapat kabar dari Asih,” jawab Munah tak enak hati. “Kalau tidak salah, ini harga yang harus dilunasi ya, Bu?” tanya Rara menyerahkan bukti pesanan yang diberikan adiknya. “Betul, Nduk,” jawab Munah. “Ya udah, ini saya bayar lunas, tolong diterima,” ucap Rara menyerahkan sejumlah uang kepada wanita itu. Sekelumit hal umum yang terjadi ketika ada salah satu warga yang meninggal dunia, seorang tetua wilayah tempat tinggal Rara mengakomodir urusan almarhum yang belum selesai. “Mbak masih ada uang?” Bisik Chika yang mengkhawatirkan kakaknya. “Tenang dek, kakak masih ada simpanan. Kamu tolong masukin koper Mbak ke kamar kita, dan kunci dulu,” titah Rara kepada Chika. Ia sudah hafal betul tabiat keluarga ibunya tak tidak beradab. Sesuai adat dan kebiasaan di keluarga Rara, acara doa bersama dilakukan berturut-turut selama tujuh hari, ia pun bersama dengan adiknya mengurus acara tersebut setelah pemakaman ibunya. “Gak usah masak-masak Budhe, saya mau rumah ini tenang, gak ada kebisingan,” ucap Rara kepada Asih, Budhenya. “Terus gak ada acara doa bersama, Ra? Kamu jangan rubah aturan keluarga seenaknya, gak baik, atau kamu gak ada uang?” tanya sih dengan tatapan sinisnya. “Kita pesan saja Budhe, Rara sudah difasilitasi kantor cabang Surabaya, untuk catering acara doa bersama selama tujuh hari sudah siap, jadi Budhe gak kecapekan bantu kami,” jawab bijak Rara tak ingin menyulut keributan. “Terserah, memang kamu ini sombong!” Asih melengos pergi meninggalkan Rara dan Chika di ruangan tengah. Ia menjejakkan kakinya kesal kepada keponakannya, harapan untuk mengambil keuntungan atas meninggalnya adik kandungnya pupus sudah. “Sudah Mbak biarkan, banyak yang harus kita urusin bukan cuma Budhe Asih aja,” kata Chika menenangkan kakaknya. Sebagian sanak saudara terdekat membantu Rara untuk mempersiapkan acara doa bersama malam nanti, Rara memilih untuk beristirahat di kamarnya. Bersama dengan Chika, mereka saling berpelukan di kamar untuk saling menguatkan. “Kita ke Jakarta ya, Dek? Gak bisa Mbak tinggalin kamu disini, daftar kuliah di sana, biar Mbak juga ada teman,” ucap Rara. Ia memegang kedua bahu adiknya untuk meyakinkan. “Biaya hidup disana mahal, Mbak.” Chika memandang kakaknya yang sama letihnya dengannya. “Tidak, setelah tujuh harinya ibu, kamu ikut Mbak ke Jakarta, harus,” ucap Rara tegas. Sepertinya, keputusan Rara ini dipicu oleh lingkungan keluarga ibunya yang tidak baik. “Ya udah kalau Mbak yakin, Chika ngikut,” ucapnya pasrah. Chika tahu, kakaknya mengambil keputusan tersebut untuk kebaikannya. Acara doa bersama berlangsung selama tujuh hari, perwakilan dari perusahaan tempat Rara bekerja turut membantu kelancaran acara tersebut, mengingat Rara dan adiknya tidak memiliki saudara laki-laki, Vano benar-benar menepati janjinya kepada Rara. Sebagai wanita biasa, Rara sedikit mengharapkan kehadiran Nanda, pria yang namanya sudah tertanam di hatinya bertahun-tahun. Pria yang juga berhasil memporak-porandakan hatinya hanya dari sebait kata dan permintaan yang tidak pernah bisa ia wujudkan. Keesokan harinya, setelah acara tujuh hari doa bersama digelar, Rara yang tengah bersiap bersama dengan adiknya akan mengunjungi makam ibunya dikejutkan oleh kurir yang datang memberikan sebuah undangan pernikahan. “Siapa yang nikah, Mas?” tanya Chika yang membukakan pintu pagar rumahnya. “Mbak Prita, anaknya Pak Nur Salam, ketua DPRD yang rumahnya di gang sebelah,” kata kurir itu menyerahkan kartu undangannya lalu berpamitan pergi untuk melanjutkan tugasnya. Chika yang penasaran membuka kartu undangan tersebut tanpa menunggu kakaknya, sungguh, yang ia tahu Prita masih jomblo. “Dek, ayo jalan. Keburu siang, Mbak udah pesan taksi online,” kata Rara membuyarkan lamunan adiknya. Ia masih menatap lekat-lekat nama mempelai pria yang ada di kartu undangan tersebut. Rara yang menyadari ada yang tidak beres, meraih kertas yang dipegang adiknya, seketika matanya membelalak tak percaya dengan apa yang barusan ia baca. Padahal, Nanda baru saja mengakhiri hubungan dengannya sebulan yang lalu. Tidak ada ucapan turut berduka cita yang Rara terima walaupun hanya melalui sebuah pesan singkat, namun sebuah kartu undangan pernikahan yang membuatnya merasa kehilangan untuk kedua kalinya. Kehilangan ibu, kekasih dan sahabatnya dalam waktu yang bersamaan. Tidak ada air mata yang jatuh di pipi Rara, hanya saja hatinya terluka dalam. Ia memeluk adiknya dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja, tak perlu memikirkan yang sudah terjadi. Rara dan Chika bergandengan tangan memasuki taksi online untuk berangkat ke makam ibunya, lalu menuju sebuah bank BUMN untuk mengurus sertifikat rumahnya yang dijadikan jaminan kala ibunya mengambil pinjaman untuk melunasi hutang-hutang ayahnya yang pergi entah kemana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN