Ikhlasku Untuk Bahagiamu

1261 Kata
Rara menatap nanar makam ibunya yang masih basah. Memeluk Chika, ia berusaha setegar karang di depan adeknya. Keduanya duduk sejajar di pusara wanita hebat yang sudah melahirkannya. Rara mengeluarkan buku panduan doa, walaupun dengan tangan bergetar, ia berusaha menyelesaikan ritual doanya. “Bu, maafin Rara. Yang Ibu takutkan terjadi juga. Bantu Rara kuat hadapi kenyataan Bu.“ Rara mengusap-usap nisan kayu bertuliskan nama ibunya dengan berderai air mata. Chika yang memahami kondisi kakaknya memilih membiarkannya. Pikirnya, Rara perlu meluapkan apa yang ia rasakan. “Mbak, udah yuk. Orang bank nungguin kita,“ ucap Chika kepadanya. “Baiklah, ayo.“ Rara mengusap pipinya yang basah sekenanya. Ia menutup buku doa nya dan memasukkan ke dalam tas kembali. Keduanya saling bergandengan tangan keluar dari komplek pemakaman umum tak jauh dari rumahnya lalu menuju sebuah kantor bank BUMN ternama di jalan Jaksa Agung Suprapto. “Dek, pulang dari bank kamu beres-beres yah. Mbak pesen tiket ke Jakarta besok malam,“ kata Rara kepada adiknya. “Iya, Mbak,“ jawabnya sambil menggenggam erat jemari tangan Rara yang masih berkaca-kaca. Tak banyak kata yang keduanya ucapkan selama perjalanan, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Chika membayangkan perasaan Rara yang entah seperti apa kehilangan dua orang dalam waktu bersamaan. Sedangkan Rara, pikirannya kosong. Hantaman cobaan bertubi-tubi yang didapatkan dirinya membuatnya sadar. Mungkin Tuhan marah, karena aku terlalu mencintai Nanda melebihi-Nya. Dia marah dan diambillah apa yang menjadi kecintaanku… Menghela nafasnya, panjang, Rara tiba ditempat tujuan, disambut oleh pegawai bank yang bertugas, mereka menyelesaikan administrasi untuk proses pengambilan agunan. “Mbak, klaim asuransi sudah cair. Silahkan dibaca dulu dan tanda tangan,“ kata pegawai bank tersebut kepada Rara. “Nggih, Bu. Matur nuwun sudah dibantu,“ jawab Rara sopan. Ia membaca dokumen tersebut bersama dengan adiknya lalu membubuhkan tanda tangannya. “Sama-sama, jadi kapan balik Jakarta, Ra?“ tanya wanita yang merupakan sahabat mendiang ibunya. “Besok malam, Bu. Saya bawa Chika biar kuliah disana,“ jawab Rara. “Yang rukun, kalian kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi saya,“ kata wanita itu mengelus punggung keduanya bergantian. “Matur nuwun, Bu. Kami pulang dulu,“ pamit Rara. Ia mencium punggung tangan wanita itu diikuti adeknya. Hari ini, kedua kakak beradik itu memilih menghabiskan waktu bersama di rumah. Menikmati kenangan yang tercipta di setiap sudut rumah sederhana tersebut sebelum kembali ke ibukota. “Mbak, makan ya? Dari pagi belum keisi apa-apa lho,“ ucap Chika masuk ke kamar Rara dengan membawa nampan makan siang. “Kan aku bisa ambil sendiri Dek, kamu ini.“ Rara meletakkan ponselnya berlogo apel di meja lalu menghampiri adeknya. “Mbak, biaya hidup di Jakarta mahal. Yakin Chika kuliah disana? Kalau gak di negeri jauh lebih mahal lagi.” Chika duduk mensejajari Rara yang sedang menyantap makan siangnya. “Tenang, Mbak sudah ada tabungan untuk biaya kamu kuliah. Mau negeri atau swasta sama aja Dek,” jawab Rara dengan tenang. “Aku tuh gak mau Mbak menanggung beban, apa Chika kerja aja ya?” tawarnya. “Gak, kamu harus kuliah. Pesan ibu harus kita jalankan, perempuan harus memiliki pendidikan bagus,” tolak Rara mengenai ide adiknya. “Mbak, apapun masalahnya bagi sama aku, jangan simpan sendiri. Mbak boleh berpura-pura di depan orang lain, tapi kalau mau nangis gak masalah. Bukan berarti Mbak lemah kok, manusiawi,” ucap Chika. Ia memandang Rara yang menahan tangisnya sekuat tenaga sejak tadi. Seketika tangisnya pecah di pelukan adiknya. Chika mengusap lembut punggung kakaknya untuk memberi kekuatan. “Makasih Dek, kamu udah beres yang mau dibawa apa? Ijazahnya jangan ketinggalan. Ayo, Mbak bantu bereskan kamarmu,” ajak Rara kepada adiknya. “Udah sih, tinggal rapihin aja Mbak.” Chika menunjukkan kopernya kepada Rara. “Dek, rumah ini gimana? Kalau kita serahkan ke Budhe Asih, Mbak keberatan. Kamu tahu sendiri kan,” kata Rara memegang kedua pundak adeknya meminta pendapat. “Iya, Mbak. Chika juga gak setuju, kalau ke Pakde Muh gimana? Sertifikat tetap kita bawa, tapi kunci rumah titip Pakde Muh,” kata Chika. “Ya udah, sore kita ke rumah Pakde Muh,” ucap Rara. Ketukan pintu mengalihkan obrolan keduanya, Chika berinisiatif keluar dari kamarnya untuk melihat siapa tamu yang datang. “Ngapain Mas kesini, sama dia lagi,” ucap ketus Chika melihat siapa tamu yang datang. “Mbak mu ada? Tolong Dek,” kata Nanda sambil menggenggam jemari tangan istrinya. “Mau apa sih? Gak usah deh Mas, kami gak nerima tamu,” tolak Chika. “Tuh, Mas. Udah sih pulang aja yuk,” ucap Prita memandang kesal Chika. “Apa lihat-lihat? Mau dicolok!” Chika berbicara dengan nada tinggi membuat Rara yang masih di dalam kamar adiknya penasaran siapa tamu yang datang. “Oh, kalian. Ayo masuk, gak baik berdiri di depan pintu,” ucap Rara datar. “Tapi Mbak….” Chika memprotes tindakan kakaknya yang mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah. “Ambilin minum Dek,” titah Rara kepada adiknya. “Mbak!” Chika sekali lagi memprotes namun tidak dihiraukan oleh kakaknya. “Duduk, minumnya biar diambil Chika.” Rara mempersilahkan keduanya duduk di sofa tamu. “Ra, aku….” Nanda tak kuasa meneruskan kata-katanya. Ia tidak berani menatap mantan kekasihnya terlalu lama. “Selamat yah kalian, samawa. Ada apa kesini? Oh, ini diminum dulu, gak ada racunnya kok Ta,” kata Rara kepada Prita. Ia memberikan senyum termanisnya kepada sahabat sekaligus saudara sepupunya. Chika datang membawa nampan minuman lalu duduk di samping kakaknya. “Ra, aku bisa jelasin dulu kan,” kata Nanda dengan wajah frustasi. “Gak perlu, kalian sudah sah. Jaga Prita seperti orang tuanya menjaga, maaf aku tidak bisa datang ke acara kalian. Besok harus balik Jakarta,” ucap Rara dengan tenang. Tidak ada air mata yang membersamai ucapannya, Rara dengan bijak mengucapkan selamat atas pernikahan mantan pacarnya. Ia memperlakukan tamunya dengan baik. “Ra, mundurin gak bisa ya? Aku…” Prita berusaha menggenggam tangan Rara namun ditepis kasar oleh Chika. “Gak bisa, Pak Vano udah nungguin. Lagian, waktu cutiku sudah habis,” jawab Rara. Ia menggelengkan kepala menahan adiknya untuk buka suara. “Ra, terima ya,” kata Prita menyerahkan sebuah paper bag berisi kue. “Makasih, kamu baik-baik ya sama suaminya. Yang nurut,” kata Rara menepuk punggung tangan Prita. Sebuah senyuman tulus dari Rara menggetarkan hati Prita. Tak dapat dipungkiri, reaksi Rara di luar prediksinya. “Kalau tidak ada keperluan lagi, silahkan pergi. Maaf, Mbak Rara juga punya kesibukan.” Ucapan Chika membuat suasana menjadi lebih canggung. Mau tak mau, Prita dan Nanda berpamitan pulang. “Harusnya Mbak gak perlu sebaik itu sama mereka,” kata Chika setelah menutup pintu rumahnya. “Sudah, kamu jangan ulangi lagi yang kayak tadi. Mereka tamu, wajib kita hargai,” kata Rara merangkul adiknya memberi pengertian. “Ya tamunya kayak gimana dulu, ini sih tamunya gak ada perasaan.” Chika meraih paperbag dari Prita tadi dan melemparnya ke tong sampah dekat dapur. Rara hanya pasrah dengan sikap adiknya yang emosional. “Itu packingnya dilanjutkan lagi, besok biar santai,” kata Rara terkekeh melihat ekspresi adiknya yang memanyunkan bibirnya. “Iya, Mbak. Sebentar dulu,” jawab Chika. Ia berjalan masuk ke dalam kamarnya. Baru memulai lagi memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper, suara ketukan pintu rumahnya membat Chika kesal. “Masa sudah diusir balik lagi, gak tahu diri.” Chika beranjak dari duduknya diikuti kekehan Rara. “Sudah, biar Mbak yang buka pintu, kamu lanjut saja,” ucap Rara kepada adiknya. “Gak, aku ikut, Kalau mereka lagi, tinggal usir,” jawab Chika. Akhirnya, keduanya kembali ke ruang tamu dan mengintip dari balik jendela siapa tamu yang datang. Seorang wanita muda memakai long dress berwarna pastel ditemani oleh dua orang pria di belakangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN