4. Satu Atap

1828 Kata
Empat puluh hari sudah Adiwilaga meninggalkan dunia ini. Namun Hapsari masih tetap belum bisa melupakan mendiang suaminya. Beberapa kali dia terpergok oleh Nyonya Bestari tengah melamun. Sehingga Nyonya Bestari merasa enggan untuk meninggalkan Hapsari dengan kondisi seperti saat ini. Hingga akhirnya Nyonya Bestari menemui Adiwijaya yang baru saja duduk di ruang keluarga. “Jay! Gimana kerjaan kamu?” Nyonya Bestari menyapa anak keduanya. “Alhamdulillah, Bu, Jay memang butuh adaptasi sama kantornya Mas Aga. Tapi pembukaan lahan yang kemarin sempat tertunda karena musibah itu, semuanya sudah dibenahi. Mungkin beberapa minggu lagi akan selesai.” Wijaya mengulas senyuman kepada ibunya sembari memegang remote televisi. Wijaya memiliki usaha di bidang perkayuan. Namun, meninggalnya Adiwilaga membuat Adiwijaya harus mengurus dua usaha sekaligus. “Sebenarnya ibu itu ingin menyampaikan sesuatu sama kamu!” Nyonya Bestari menatap kedua bola mata anak bungsunya. “Ingin berbicara tentang apa, Bu?” Wijaya mulai merespons ucapan Ibunya. “Begini lho! Semenjak acara empat puluh harian meninggalnya Kakak kamu. Hapsari kelihatan semakin murung. Ibu jadi nda tega kalau harus meninggalkan Hapsari sama Gendis dalam kondisi seperti itu. Ibu khawatir kondisi mental Hapsari masih labil. Ibu nda tega kalau harus meninggalkan mereka!” Nyonya Bestari merasa iba kepada Hapsari—mantu kesayangannya. “Ya sudah kalau memang Ibu masih nggak tega buat ninggalin Mbak Sari sama Gendis, lebih baik Ibu tinggal di sini dulu saja untuk sementara waktu! Sampai kondisinya lebih baik dari pada sekarang ini!” Wijaya merasa kalau ibunya juga butuh teman karena baru saja kehilangan Putra pertamanya. “Tapi kalau Ibu di sini cuma sama Hapsari rasanya kok ada yang kurang gitu! Kamu sama Laksmi juga ikut tinggal di sini untuk sementara waktu ya! Sampai nanti kondisi Hapsari kembali seperti dulu! Kasihan Gendis! Masa dia selalu ditemani sama mbok Ijah! Lebih baik ditemani sama Laksmi sekalian biar dia belajar! Jadi nanti kalau kalian punya momongan Laksmi udah nda kaget!” Nyonya Bestari kembali mengungkit masalah momongan di depan Wijaya. “Gimana ya, Bu, mungkin Jay harus tanya dulu sama Laksmi, dia mau atau enggak untuk sementara waktu diperpanjang tinggal di sini. Soalnya Laksmi harus mengurus pekerjaannya. Ya, memang bisa saja Laksmi berangkat dari sini menuju sekolah tempatnya mengajar. Tapi jaraknya itu lebih jauh. Kasihan juga, Bu!” Wijaya tidak tega kepada istrinya yang harus pulang pergi ke sekolah tempat ia mengajar dengan jarak yang cukup jauh ditempuh dari rumah Adiwilaga. “Dia kan masih bebas! Bisa bareng kamu kalau berangkat ke kantor! Atau nda, dia bisa pakai sepeda motornya Hapsari, kalaupun Laksmi capek dia masih bisa diantar Pal Ripin! Pulang kerja bisa istirahat dengan bebas! Nda seperti Hapsari mau istirahat aja udah susah karena ada Gendis yang butuh perhatian. Waktunya susah, terlebih lagi dia masih berduka sudahlah! kamu tolong bilang sama Laksmi untuk tinggal di sini lebih lama sementara waktu, sampai Hapsari bisa kembali seperti dulu!” Nyonya Bestari memaksa Wijaya dan Laksmi untuk tinggal di rumah itu agak lama. “Tapi Bu ....” “Kalau kamu nda mau bilang sama istri kamu, ya nanti Ibu saja yang bilang langsung sama Laksmi!” rupanya Nyonya Bestari tidak memberikan pilihan kepada Wijaya. “Ya sudah, nanti biar Wijaya saja yang berbicara sama Laksmi!” ucap Wijaya karena tidak ada pilihan lain. Dia mau membujuk istrinya untuk menuruti keinginan Nyonya Bestari. *** Malam itu Wijaya berusaha untuk berbicara dengan istrinya. Setelah melihat raut wajah Laksmi berubah masam karena mendengar permintaan mertuanya untuk tinggal agak lama di rumah Adiwilaga saat mereka makan malam. Laksmi bukannya tidak mau menemani Hapsari. Namun dia merasa hidup lebih lama di rumah Adiwilaga bersama mertuanya membuat emosi Laksmi naik turun. Sehingga selesai makan malam Laksmi langsung masuk ke dalam kamarnya. Adiwijaya mendapati Laksmi tengah duduk di atas ranjang di kamar mereka, ditemani laptop berwarna putih, berusaha untuk menenangkan dirinya dengan melihat tugas yang belum selesai dia kerjakan. “Sayang, Kenapa cemberut?” Adiwijaya duduk tepat di depan laptop yang sedang dioperasikan oleh istrinya. “Nggaj cemberut kok! Biasa saja!” pandangan Laksmi terfokus menatap ke arah layar laptopnya. “Jangan gitu dong! Atau kamu nggak setuju ya sama usul Ibu?” Wijaya berusaha untuk berbicara dari hati ke hati dengan istrinya. Mendengar ucapan Adiwijaya, Laksmi hanya terdiam. Dia seakan-akan malas untuk membahasnya dan berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Namun Adiwijaya tidak tinggal diam. Dia menutup paksa layar laptop milik istrinya. Laksmi hanya bisa bergeming dan tidak mau menatap ke arah suaminya. Tangan Adiwijaya menggenggam tangan kanan Laksmi. “Kamu itu sebenarnya kenapa?” Wijaya masih menatap Laksmi dengan tatapan yang mengintimidasi. Tangan kanan Adiwijaya mengangkat dagu Laksmi. Agar istrinya mau menatap Adiwijaya. “Lihat aku! kalau nggak cocok sama sesuatu hal, lebih baik ngomong jujur! Dari pada cemberut seperti ini!” pinta Adiwijaya kepada istrinya. “Mas! Aku itu sudah capek! Setiap hari Ibu selalu nanya kapan punya momongan! harus begini! harus begitu! ujung-ujungnya aku dibanding-bandingkan sama Mbak Sari! Mas nggak tahu sih gimana rasanya! Capek Mas! Ibu selalu memuji apa yang dilakukan sama Mbak Sari, dialem terus! Tapi apa yang aku kerjakan sepertinya selalu salah dan nggak berarti sama sekali dimata Ibu! Ini udah lewat dari empat puluh hari kepergian Mas Aga, dulu kesepakatan kita apa? Menemani Mbak Sari selama empat puluh hari, kan? Terus sekarang Ibu minta kalau kita tinggal lebih lama? Aku capek Mas! Kalau Mas mau tinggal di sini silakan! Biar aku pulang ke rumah sendirian!” tandas Laksmi yang merasa semakin kesal dengan sikap ibu mertuanya. Lalu kekesalannya diluapkan kepada Adiwijaya. “Sayang! Aku mohon! Kali ini aku merasa kalau Mbak Sari sama Gendis memang masih membutuhkan kita di sini! Jadi lebih baik kita turuti saja permintaan Ibu. Kamu sudah paham bagaimana sifat dan sikap Ibuku. Walau bagaimanapun aku nggak bisa menolak permintaan Ibu. Di sisi lain aku juga nggak mau kalau kamu dan Ibu selalu ribut!” “Aku nggak ribut, Maas! Kalau nggak di colek duluan! Intinya semua gara-gara aku belum bisa memberi kamu keturunan! Apa yang aku lakukan selalu salah!” Laksmi memotong perkataan suaminya. “Dengerin aku dulu dong! Situasi dan kondisinya sekarang kan berbeda! Aku merasa Ibu juga masih kehilangan Mas Aga, jadi ibu mengerti bagaimana perasaan Mbak Sari. Aku mohon bertahanlah sebentar lagi!” Adiwijaya tidak mau melukai hati ibunya dengan menolak permintaan Nyonya Bestari. Namun di sisi lain Laksmi justru merasa tersakiti karena suaminya memutuskan untuk memperpanjang masa tinggal mereka di rumah Adiwilaga “Berapa lama?” Laksmi sudah kesal dan tidak ingin menatap wajah suaminya. “Kita coba satu minggu lagi? Semoga kondisinya sudah jauh lebih baik!” Adiwijaya berharap kurang dari satu Minggu semuanya akan membaik. “Satu minggu ya! janji kamu, Mas! Setelah itu kita pulang ke rumah kita!” Laksmi dengan terpaksa menyetujui permintaan suaminya. Walau dia harus kembali menelan pil pahit hidup satu atap dengan mertua yang selalu membangga-banggakan kakak iparnya. “Iya! Mas janji sama kamu!” Wijaya berhasil membujuk istrinya. Walau tetap saja Laksmi terlihat cemberut. Karena dia tidak mungkin mengatakan tentang kecemburuannya. Ternyata pertengkaran antara Laksmi dan Adiwijaya tidak sengaja didengar oleh Hapsari yang saat itu hendak mengantarkan Gendis untuk menemui Laksmi. Lantaran sedari tadi Gendis menangis ingin bermain bersama Tantenya. Pintu kamar Adiwijaya dan Laksmi tidak menutup sempurna. Terlihat masih ada celah terbuka dan suara mereka pun terdengar di telinga Hapsari. Seketika hati Hapsari merasa tidak enak dengan kondisi yang terjadi di rumah itu karena dirinya. Lalu Hapsari bergeming sejenak. ‘Kenapa Ibu seakan memberikan perhatian yang berbeda kepada aku dan Laksmi? Jelas saja Laksmi merasa tidak nyaman. Pasti dia merasa sedih selalu dibanding-bandingkan denganku. Apa yang harus aku lakukan?’ ucap Hapsari dalam hatinya yang merasa tidak enak dengan situasi yang terjadi di rumah itu. Kondisi mental Hapsari semakin hari semakin memburuk. Selain mendengar pertengkaran Wijaya dan Laksmi yang terjadi hampir setiap hari. Ternyata Hapsari juga mendengar tentang curahan hati Laksmi kepada ada Mbak Murni tentang kecemburuan Laksmi karena perhatian Adiwijaya terhadap Hapsari. Sehingga wanita itu merasa semakin tidak enak hati. Pikiran yang terus berkecamuk antara kehilangan suami yang dia cintai untuk selamanya. Ditambah lagi drama pertengkaran antara adik iparnya dan ibu mertuanya, membuat kondisi mental Hapsari semakin tidak baik. Dia depresi dan Gendis terlantar. Hingga pada akhirnya Nyonya Bestari memutuskan untuk tetap tinggal menemani Hapsari. Kemudian Gendis diasuh oleh Laksmi dan Adiwijaya di rumah mereka. Semua demi kebaikan Hapsari, Gendis, dan juga Laksmi. Laksmi semakin dekat dan menyayangi Gendis seperti anak kandungnya sendiri. Begitu juga dengan Adiwijaya. Lantaran pasangan itu sampai detik ini belum juga dikaruniai keturunan. Laksmi yang berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah menengah pertama merasa menjadi seorang ibu seutuhnya ketika Adiwijaya memutuskan untuk mengasuh Gendis dan tinggal bersama mereka selama Hapsari menjalani perawatan untuk memulihkan mentalnya. Waktu terasa cepat berlalu. Setelah 10 tahun kemudian, kondisi mental Hapsari sudah membaik. Emosinya sudah stabil dan halusinasinya sudah bisa dia kontrol. Sehingga Gendis harus kembali pada Hapsari. Mendengar hal itu dari Nyonya Bestari, Laksmi merasa sangat sedih karena harus berpisah dengan Gendis. Padahal hari-hari yang mereka lalui bersama selama 10 tahun sangatlah indah. Namun mau tidak mau Laksmi harus mengembalikan Gendis kepada mamanya. Laksmi memberitahu Gendis tentang kondisi mamanya yang sudah kembali normal ketika Gendis baru saja pulang sekolah. “Gendis, hari ini Tante mau kasih kabar baik.” Laksmi mengulas senyum hangat ke arah Gendis yang sedang duduk bersamanya di ruang makan. Kebetulan hari itu Laksmi pulang lebih awal karena tidak enak badan. “Kabar baik apa Tante? Apa sakTanteperut Tanda sudah membaik?” Gendis mengetahui kalau semenjak pagi Laksmi mengalami mual-mual dan sakit perut. Kemungkinan besarnya asam lambungnya naik. Sehingga Laksmi memutuskan pulang lebih awal dari sekolah. “Salah satunya itu sayang! Tapi ada berita lainnya yang pastinya akan membuat kamu bahagia. Mama kamu sudah kembali pulih dan bisa menjalani hari-harinya dengan normal.” Laksmi mengulas senyum ke arah Gendis yang sedang memperhatikannya. “Serius, Tante?” senyum merekah di wajah gadis kelas dua sekolah menengah pertama itu. “Tante tadi diberitahu sama nenek, jadi nanti setelah Om Wijaya pulang dari perkebunan, kami akan mengantar kamu kembali ke rumah Mama!” ada rasa perih yang terasa di dalam sanubari Laksmi. Karena dia harus merelakan Gendis kembali kepada mamanya. “Alhamdulillah Gendis seneng banget Tante! Berarti nanti Tante sama Om Wijaya kembali tinggal di rumah Mama?” dengan senyuman polos Gendis berpikir kalau mereka semua akan tinggal satu rumah. Mendengar ucapan Gendis, Laksmi tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Karena ada trauma tersendiri ketika Laksmi harus kembali tinggal satu atap dengan Hapsari dan ibu mertuanya. Hapsari hanya menjawab pertanyaan Gendis dengan senyuman. “Yes! Gendis sangat senang kalau nanti Om sama Tante juga ini bisa tinggal bareng sama Gendis!” gadis polos itu terus mengatakan ingin tinggal bersama mereka. ‘Maafkan Tante! Tidak bisa menjawab pertanyaan kamu. Karena mental Tante benar-benar diuji ketika harus tinggal satu atap lagi. Semoga kamu mengerti!’ ujar Laksmi dalam hatinya. Gendis pun diantar oleh Adiwijaya dan istrinya untuk kembali ke pelukan Mamanya. Pemandangan haru terlihat di rumah itu. Lalu Gendis kembali mempertanyakan hal yang sama tentang keinginannya untuk bisa tinggal bersama Tante dan Om—nya . Namun semuanya bergeming sesaat setelah Gendis menanyakannya kembali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN