8. Papa Baru

1700 Kata
Seorang gadis belia tengah mengerjakan PR-nya di dalam kamar. Gendis Paramita itulah nama putri dari Hapsari dan mendiang Adiwilaga. Parasnya manis, berkulit kuning langsat, dengan rambut yang panjang tergerai bergelombang. Matanya lentik dan dikenal sebagai gadis yang ceria untuk menutupi kesepian hati yang dia rasa semenjak ditinggal ayahnya. Gendis adalah gadis yang rajin. Dia memiliki tata krama dan patuh pada mamanya. Apalagi sepuluh tahun yang lalu dia tidak mendapatkan kasih sayang dari mamanya. Lantaran depresi yang diderita Hapsari butuh pengobatan yang cukup lama. Namun dia mendapat kasih sayang dari Wijaya dan juga Laksmi. Mereka menyayangi Gendis setulus hati. Walaupun Laksmi memendam perasaan cemburu dan rasa tidak suka kepada Hapsari. Namun dia tetap menyayangi Gendis setulus hati. Hanya saja Laksmi memiliki kekecewaan yang begitu mendalam kepada Ibu mertuanya yang selalu membanding-bandingkan dirinya dengan Hapsari. Malam ini adalah malam di mana Bramantyo untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di rumah milik Adiwilaga. Rencananya Bramantyo akan dikenalkan kepada Gendis karena memang Hapsari memiliki minat serius untuk membuka lembaran baru bersama Bramantyo. Pria Flamboyan itu sukses memainkan perannya demi kepentingannya dan juga sesuai dengan kesepakatannya dengan Laksmi. Sehingga Hapsari tidak mengetahui niat buruk Bramantyo terhadapnya. Suara derap langkah kaki Hapsari terdengar memenuhi ruangan. Dia bergegas untuk memanggil putrinya karena Bramantyo sudah datang. Hapsari mengetuk pintu kamar Gendis diiringi ucapan salam. Gendis pun menyahut dari dalam kamarnya kemudian membukakan pintu untuk Hapsari. “Wa’ alaikumsalam, Ma, masuk aja! Gendis lagi ngerjain soal matematika.” Gadis itu memberitahu mamanya kalau dia tengah mengerjakan PR matematika. “Mama mengganggu sebentar boleh dong ya?” Hapsari mengusap kepala putrinya. “Iya, Ma.” Gendis kembali mengulas senyuman. “Nak, Sebenarnya ada hal yang ingin Mama sampaikan!” Hapsari terlihat begitu berseri-seri menatap putrinya. “Mama mau cerita apa?” dengan polos Gendis berusaha untuk mendengarkan apa yang akan diceritakan oleh Hapsari. “Mama ingin mengenalkan seseorang yang spesial sama kamu. Dulu, dia itu kakak kelas Mama waktu Mama SMA. Tiba-tiba takdir mempertemukan kita dan dalam kondisi yang sama seperti Mama, single parent. Jadi Mama rasa obrolan Mama sama dia itu nyambung. Sekarang Gendis temani Mama untuk berkenalan sama Om Bram, ya!” Hapsari ingin Gendis diperkenalkan dulu dengan Bramantyo sebelum dia menceritakan niatannya mencarikan papa baru untuk Gendis. Gendis menganggukkan kepalanya sembari mengulas senyuman hangat kepada Hapsari. Gadis polos itu tidak mengetahui maksud dan tujuan mamanya mengenalkan Om Bram kepada dirinya. Dia hanya menuruti apa kata mamanya. Mereka pun berjalan keluar dari kamar Gendis menuju ruang tamu. Di sana terlihat seorang pria tampan bergaya Flamboyan yang terlihat ramah. Namun mereka tidak mengetahui niat busuk Bramantyo masuk ke dalam kehidupan Hapsari. Dari kejauhan, Hapsari mengulas senyuman kepada Bramantyo. Cinta di antara mereka seakan-akan kembali bersemi bagai puber berdua. “Nah, Om ini namanya Om Bram,” Hapsari berusaha mengenalkan Gendis kepada Bramantyo. “Malam, Om ... kenalin saya Gendis!” Gendis mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Bram. “Halo adik cantik,” ucap Bramantyo ketika menyapa Gendis. “Sini, Nak, duduk!” Hapsari meminta Gendis untuk duduk di sebelahnya. “Kelas berapa sekarang, Sayang?” Bramantyo merasa kalau Gendis seusia dengan Ayu—putrinya. “Kelas dua SMP, Om!” jawab Gendis sembari mengulas senyuman. “Oh, ternyata Gendis seusia Putri Om, namanya Ayu berarti sepantaran kamu!” Bramantyo merasa senang karena sebentar lagi Ayu akan memiliki teman jika resmi menikahi Hapsari. “Wah bisa kebetulan banget, ya!” Hapsari juga merasa antusias karena jika dia menikah dengan Bram maka Gendis akan memiliki saudara sebaya. Gendis merasa senang berkenalan dengan Om Bramantyo. Karena Gendis kembali melihat senyum merekah di wajah mamanya Setelah sekian lama mamanya tidak tersenyum lepas. *** Setelah pertemuannya dengan Bramantyo. Satu minggu kemudian Gendis diajak ke rumah Bramantyo oleh mamanya. Di sana Gendis dikenalkan pada Putri Bramantyo yang bernama Ayu. Usianya sepantaran Gendis bahkan sekolah mereka pun pada tingkatan yang sama. Giliran Ayu yang dikenalkan kepada Hapsari oleh Bramantyo. Namun tanggapan Ayu berbeda, karena dia sudah merasa bahwa Hapsari akan menggantikan posisi ibunya yang saat ini sudah berpisah dengan Ayahnya. ‘Ngapain sih papa ngenalin aku sama wanita ini? Atau jangan-jangan ... ini calon Mama baru aku?’ ucap Ayu dalam hatinya sembari terus menatap Hapsari. Bramantyo menyadari bahwa putrinya merasa tidak suka dengan kehadiran Hapsari dan juga Gendis di rumahnya. Setelah Hapsari dan Gendis kembali ke rumah mereka. Bramantyo beraksi menceritakan kekayaan yang dimiliki oleh Hapsari kepada Ayu. Ayu yang awalnya kesal karena akan memiliki mama tiri akhirnya dibujuk oleh Bramantyo demi misi Bramantyo mengangkat derajat finansialnya. “Yu! Kenapa sih cemberut gitu? Harusnya kamu itu senang mau punya Mama baru!” Bramantyo duduk di samping Ayu sembari mengusap kepalanya. “Ayu kesel aja kenapa Papa berniat menikah lagi? Kalau gitu kenapa dulu Papa cerai sama Mama?” Ayu masih tidak terima kalau sampai papanya menikah lagi. “Mama sama Papa kamu itu menyepakati perpisahan karena ada alasan yang tidak bisa kami jelaskan saat ini. Satu hal yang pasti di antara kami sudah tidak ada kecocokan. Kami Tidak mempertahankan pernikahan, itu karena akan membuat hidup Mama kamu lebih bahagia! Tapi sebaliknya, kalau kami tetap mempertahankan pernikahan yang sudah beracun, bisa-bisa kami semua dal kesulitan!” Bramantyo berusaha menjelaskan hal itu kepada Ayu. Namun Putri Bramantyo itu masih bergeming. Tidak mengucapkan sepatah kata pun sembari mencebikkan bibirnya. “Hei! Dengerin Papa dulu!” Bramantyo akan menceritakan sesuatu hal yang pasti akan membuat Ayu berubah pikiran. “Apalagi, Pa?” Ayu menoleh ke arah Bramantyo. “Kamu tahu enggak? Tante Hapsari itu salah satu pemilik perusahaan perkebunan teh terbesar di kota ini. Rumahnya bertingkat, megah, ada kolam renangnya, punya banyak mobil, motor, bahkan punya pembantu di rumahnya. Kalau Papa diizinkan menikah lagi sama Tante Hapsari, udah pasti kamu bakal jadi seorang putri di rumah itu.” Bramantyo berusaha membujuk Ayu. Gadis itu perlahan menoleh ke arah papanya sembari berpikir dan raut wajahnya sudah terlihat lebih tenang. “Kalau kamu mau minta apa aja, nanti Papa turuti! Kamu mau makan apa aja, kamu tinggal nyuruh pembantu di rumah itu! Pakaian kamu pasti jadi bagus, mahal, berkelas, dan kalau kamu mau, kamu bisa berangkat sekolah naik mobil diantar sopir!” Bramantyo kembali membujuk Ayu dengan iming-iming kekayaan yang melimpah milik Hapsari dan Gendis. Raut wajah Ayu berseri dan bola matanya berbinar. Ada senyum manis yang terselip di sana. “Papa serius? Tante Hapsari punya segalanya?” Ayu memastikan hal itu kepada papanya. “Apa sih yang nggak buat Tante Hapsari? Tadi kamu lihat sendiri kan? Sepatu, baju, tas, aksesoris yang digunakan tante Hapsari dan juga Gendis, semuanya barang-barang mahal!” Bramantyo membalikkan pertanyaan kepada putrinya. “Iya sih tadi juga Gendis pakai outfit yang kekinian banget! Ayu sih boro-boro punya baju keren kayak gitu!” Ayu memicingkan mata sembari mencebikkan bibirnya. “Makanya Papa nyari Mama baru buat Ayu itu yang kaya, biar Ayu bisa merasakan gimana jadi orang kaya! Kalau udah gini kamu setuju?” Bramantyo mempertanyakan persetujuan Ayu. “Kalau udah begini Ayu susah buat menolak!” ayo mengulas senyuman kepada Papanya sembari memeluknya. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Begitulah pepatah mengatakan karena kenyataannya Ayu dan Bramantyo sama-sama mata duitan. Mereka tidak tulus untuk membaur dengan keluarga Hapsari. Namun demi sebuah kekayaan dan dihormati banyak orang membuat mereka rela berlaga baik di depan keluarga Hapsari. *** Bramantyo menemui Laksmi sebelum pria itu melamar Hapsari. Setidaknya Bramantyo akan memberitahu Laksmi kalau julukan pria flamboyan memang pantas untuknya. Berani dan berhasil memikat wanita mana pun tidak terkecuali Hapsari. Mereka bertemu di restoran yang sama seperti pertama kali mereka menyepakati hal ini. “Saya sengaja mengundang kamu kesini untuk membahas sesuatu hal yang tentunya akan membuat kamu merasa lebih lega!” Bramantyo akan memberikan kabar baik. “Apa yang ingin kamu sampaikan, Mas?” Laksmi menatap Bramantyo sembari menyeruput teh pesanannya. “Minggu depan saya akan melamar Hapsari.” Bramantyo menatap Laksmi dengan penuh kemenangan. “Oh, ya? Ini berita Bagus dong!” Laksmi menyeringai penuh bahagia mendengar kabar bagus dari Bramantyo. “Selamat, ya!” Laksmi mengakui kalau Bramantyo bisa diandalkan. “Kamu percayakan kalau saya bisa kembali menaklukkan hati Hapsari yang sudah lama tertutup semenjak suaminya meninggal dunia. Namun ada hal lain yang ingin saya sampaikan sama kamu!” ucap Bramantyo seakan mengintimidasi Laksmi. Wanita itu menyimpan secangkir teh yang sedang dia nikmati kemudian duduk bersandar menatap Bramantyo dengan serius. “Apalagi, Mas yang ingin kamu sampaikan?” Laksmi berusaha untuk mendengarkan dengan jelas apa yang akan disampaikan Bramantyo. “Jujur saya membutuhkan modal untuk melamar Hapsari. Apa kamu bisa meminjamkan sejumlah uang kepada saya?” Bramantyo menatap serius ke arah Laksmi. “Tenang saja! Begitu saya resmi menikah dengan Hapsari, uang yang dipinjamkan akan saya kembalikan!” mendengar ucapan Bramantyo Laksmi mengerti ke mana arah tujuannya. Dia akan memberikan sejumlah uang yang diminta oleh Bramantyo. “Aku akan memberikan uang itu sebagai tanda bukti kerja sama Kita! Aku juga ingin segera menyaksikan pernikahan kalian! setelah kamu menikah, uang itu pun tidak usah dikembalikan padaku! Karena melihat kalian berdua menikah sudah membuat aku bahagia dan merasa lebih tenang. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih atas kerja sama Kita!” Laksmi kembali mengulas senyuman. “Jawaban itu sungguh membuat saya merasa tersanjung dan bahagia. Terima kasih, Laksmi! Kamu sudah mengajakku untuk bekerja sama hingga sejauh ini!” Bramantyo merasa sangat berterima kasih kepada Laksmi karena akhirnya dia akan menikahi seorang janda kaya yang pernah menjadi mantan kekasihnya. “Tentu saja! Tawaran yang aku berikan saling menguntungkan kita kan? Setelah kalian menikah, aku harap Mas Bram selalu memberikan perhatian kepada mbak Hapsari! Agar dia tidak lagi berdekatan dengan Mas Wijaya!” Laksmi sekali lagi mengingatkan Bramantyo akan tugasnya. “Tentu saja! Kamu tidak perlu khawatir!” Bramantyo mengulas senyuman penuh kemenangan. *** Hapsari juga meminta izin kepada Nyonya Bestari perihal pernikahannya dengan Bramantyo. Wanita itu juga meminta izin kepada Wijaya dan Laksmi. Mereka hanya bisa mendoakan keputusan Hapsari untuk menikah lagi dengan Bramantyo. Karena bagi mereka Laksmi memang membutuhkan sosok laki-laki di sampingnya yang akan membuatnya melupakan rasa trauma juga kecewa saat meninggalnya Adiwilaga. Tidak lupa Hapsari dan Gendis mengunjungi makam Adiwilaga. Mereka membersihkan makam itu sekaligus memanjatkan doa untuk Adiwilaga. Setelah itu Hapsari bercerita kalau dirinya akan menikah lagi. Paling tidak Hapsari tidak akan pernah melupakan Adiwilaga yang pernah berarti dalam hidupnya dan darahnya akan terus mengalir dalam diri Gendis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN