9. Sah!

1382 Kata
“Sah!” Suara dari mereka para saksi menggema di sudut ruangan rumah Hapsari yang menjadi tempat pernikahan keduanya dengan seorang duda yang tidak lain adalah mantan kekasihnya—Bramantyo. Hari itu juga Hapsari sah menyandang gelar Nyonya Bram. Nyonya Bestari tidak keberatan kalau Bramantyo beserta putrinya tinggal di rumah milik Adiwilaga yang sudah diwariskan untuk Gendis. Lantaran Gendis masih membutuhkan Hapsari untuk masa depannya. Hal itu membuat Bramantyo beserta putrinya sangat kegirangan. Pasalnya mereka menempati rumah mewah dan bisa menyuruh pembantu seenak jidat mereka demi memenuhi permintaan mereka. Pernikahan sederhana yang berjalan lancar membuat Hapsari kembali mengingat momen indah bersama mendiang suaminya. Hatinya saat ini berusaha untuk menutup kenangan masa lalu dan membuka lembaran baru bersama Bramantyo. Harapannya begitu tinggi merajut kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah Warohmah bersama pria yang pernah menjadi kekasihnya itu. Status duda dan janda, bukan berarti mereka tidak bisa beradaptasi. Gendis memiliki Papa baru dan Ayu juga memiliki mama baru. Setelah Hapsari menjanda selama sepuluh tahun. Dia kembali menikmati masa-masa indah menjadi seorang istri Bramantyo. Pria Flamboyan itu berhasil merebut kembali hati Hapsari yang sudah membeku. Terlebih saat ini mereka sudah menikah. Seharusnya malam pertama mereka menjadi momen tidak terlupakan, tetapi tidak dengan Hapsari. Mereka selalu menunda karena Hapsari kembali teringat akan mendiang suaminya. Wanita itu harus melayani suaminya layaknya pernikahan pada umumnya. Namun mental Hapsari benar-benar diuji di sini. Setiap kali Bramantyo mulai merayu untuk menikmati malam pertama mereka. Tiba-tiba Hapsari kembali menangis karena teringat tentang mantan suaminya yang sudah meninggal. Seperti malam ini. Ketika mereka berdua mencoba untuk menyatukan jiwa mereka. Hasrat Bramantyo yang sudah menggelora. Tampaknya harus pupus karena Hapsari kembali memalingkan wajahnya saat Bramantyo mulai menciumnya. Bulir bening mulai menggenang di balik kelopak mata Hapsari. “Sayang, kamu kenapa?” Bramantyo yang menatap istrinya dengan sedikit bingung. Ia mengernyitkan dahinya. “Maaf, Mas! Sepertinya aku belum bisa ....” Hapsari tidak bisa melanjutkan kalimatnya. “Ssttt!” Bramantyo menutup bibir Hapsari dengan satu jari telunjuknya ketika tatapan mereka beradu. “Saya paham! Kalau memang kamu belum siap. Saya akan menunggu kamu sampai kamu siap!” Bramantyo tidak mempermasalahkan hal itu. Karena bagi seorang Bramantyo hal itu adalah urusan mudah. Satu hal yang terpenting saat ini bagi Bramantyo adalah meraih kepercayaan Hapsari demi kekayaan yang ada di depan mata. Bramantyo menikahi Hapsari bukan karena cinta. Melainkan karena kekayaan yang diwariskan mendiang Adiwilaga kepada Hapsari. Semenjak Bramantyo dikhianati oleh istrinya yang lama. Dia sulit untuk membuka hatinya kembali. Walau dengan Hapsari mantan kekasihnya. Bramantyo yang dulu dengan sekarang kondisinya sudah berbeda. Dulu Bramantyo terlalu percaya dengan sesuatu yang disebut cinta. Namun karena sesuatu hal membuatnya tidak lagi mempercayai Cinta dan perasaannya sudah membeku. Saat ini dia menikahi Hapsari demi merebut harta kekayaan Hapsari untuk dirinya dan juga putrinya. *** Hari-hari sudah berlalu dan pernikahan Hapsari dengan Bramantyo berjalan bahagia menurut Hapsari. Namun wanita itu tidak mengetahui bagaimana perlakuan Ayu terhadap Gendis saat Hapsari tidak ada di samping Gendis. Saat itu Ayu sudah berpindah sekolah ke sekolah yang sama dengan Gendis. Di sana Ayu seakan-akan memperlakukan Gendis seperti seorang pembantu. Gendis sering disuruh-suruh oleh Ayu tanpa peduli bagaimana perasaan dan lelahnya Gendis. Namun Gadis itu tidak pernah mengeluh dan dia hanya menyimpannya di dalam hati saja. Gadis cantik itu takut kalau mamanya sampai mengetahui bagaimana perlakuan Ayu terhadapnya di sekolah maka akan memper buruk keadaan rumah dan pernikahan mamanya. Ayu tidak pernah mengerjakan PR kecuali hanya untuk menyontek pekerjaan yang sudah dikerjakan Gendis. Hapsari selalu memberikan uang saku dengan jumlah yang sama untuk Gendis dan Ayu. Namun ketika di sekolah, Ayu sering meminta uang saku Gendis untuknya mentraktir teman-teman geng-nya. Bahkan Ayu juga sering membolos sekolah. Namun ketika teguran datang dari sekolah. Ayo memberikan surat teguran itu kepada Bramantyo. Ayah dan anak memiliki kelakuan yang sama. Kelakuan Bramantyo tidak berbeda jauh dari Ayu ketika dirinya berada di rumah tetapi Hapsari tidak ada di rumah. Bramantyo sering mengundang teman-temannya untuk berpesta di rumah itu. Ketika Hapsari harus menemani Nyonya Bestari pergi ke acara penting. Karena memang Nyonya Bestari lebih dekat dengan Hapsari ketimbang dengan Laksmi. Semua tingkah laku Bramantyo dan Ayu diketahui oleh Gendis, mbok Ijah, dan Mbak Murni. Namun Bramantyo mengancam mereka untuk merahasiakan hal itu dari Hapsari, Wijaya, bahkan dari Nyonya Bestari. Betapa hancurnya perasaan Gendis kala mendapati Papa tiri yang tidak baik. Sebenarnya Gendis ingin memberitahu hal itu kepada mamanya. Namun Gendis selalu tidak memiliki kesempatan untuk mengatakannya. Lagi-lagi Bramantyo dan Ayu membayang-bayangi Gendis ketika dia tengah berdekatan dengan Hapsari. Seperti hari ini. Hapsari diajak oleh Nyonya Bestari untuk pergi menemui sanak saudaranya yang tengah mengunduh mantu di Magelang. Hapsari tidak bisa menolak ajakan Nyonya Bestari yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri. Karena memang Hapsari sudah yatim piatu saat ini. Hapsari berpamitan kepada Bramantyo dan juga kedua putrinya. Kalau dia akan kembali esok lusa. Jika saja boleh Gendis memilih, ia akan ikut pergi bersama Hapsari. Lalu Hapsari meminta Gendis untuk tetap berangkat sekolah dan tinggal di rumah bersama Papa dan kakak tirinya di rumah. Hal itu tak ubahnya bagai sebuah petaka untuk Gendis. Gendis tengah merenung di dalam kamarnya. Tiba-tiba Ayu masuk ke dalam kamar Gendis yang tidak dikunci. “Heh! Sebentar lagi teman-teman geng Aku mau main ke sini! Kita punya banyak PR yang harus dikerjakan! Dari pada kamu bengong di sini enggak ada guna, mendingan nanti kamu kerjain tugas kita!” Ayu menganggap Gendis sebagai asisten pribadinya yang harus mau disuruh-suruh olehnya dengan sedikit memaksa. “Nggak mau aku! Sebentar lagi Om Wijaya mau ke sini! Buat jemput aku! Dari pada aku di sini sama kamu dan juga Papa kamu, lebih baik aku menginap di tempat Om Wijaya!” saat itu Gendis yang sudah kesal tidak mau lagi menjadi kacung Ayu. “Lebih baik kamu mengikuti apa perintah aku deh! Daripada nanti kamu menyesal!” Ayu miliki rencana lain kalau memang Om Wijaya akan menjemput Gendis. “Maksud kamu apa sih, Yu? Rasa-rasanya aku nggak pernah punya salah sama kamu! Tapi kenapa kamu sama Papa kamu bersikap seperti ini sama aku? Di depan Mama aja kalian baik sama aku! Tapi kalau Mama nggak ada di samping aku, kalian tuh bener-bener jahat! Aku bukan upil abu!” Gendis menatap sadis ke arah Ayu. “Yo wes kalau gitu! Nanti aku bilangin sama papah aku!” Ayu yang mulai kesal dengan sikap Gendis akhirnya keluar dari kamar Gendis dan langsung menelepon papanya yang masih ada di kantor. *** Hari semakin sore tapi Wijaya belum juga tiba di rumah Gendis. Gadis itu benar-benar resah karena teman-teman Ayu sudah datang ke rumah itu untuk bersenang-senang. Ayu mengancam Gendis dan memerintahkannya untuk mengerjakan semua PR teman-teman Ayu. ‘Kenapa Om Wijaya kok nggak datang-datang, ya? Kalau sampai malam tiba Om Wijaya belum juga datang, hidup di rumah sendiri bagai uji nyali! Sudah pasti Ayu meminta aku untuk mengerjakan semua PR teman-temannya! Gimana ya caranya aku ngomong sama Mama ataupun sama Om Wijaya? Papa Bram dan Ayu sangat tidak baik kepadaku!’ gumam Gendis dalam hatinya yang terasa begitu merana. Lamunan Gendis buyar seketika Bramantyo mengetuk pintu kamarnya dan masuk begitu saja. Pria Flamboyan itu berdiri belakang Gendis yang tengah melamun di balik jendela. “Gendis Sayang! Kenapa kamu enggak mau mengerjakan PR Ayu dan juga teman-temannya? Terus kenapa kamu harus meminta Wijaya untuk menjemput kamu di sini? Sebenarnya Papa ke sini cuma mau ngasih tahu kalau Wijaya nggak akan menjemput kamu hari ini!” Gendis tersentak kaget mendengar ucapan Bramantyo. “Maksud Papa, apa?” Gendis merasa hatinya kembali hancur mendengar ucapan apa Bram. “Papa sudah bicara sama Wijaya kalau Papa mau ngajak kamu jalan-jalan sama Ayu. Jadi Om kamu itu nggak akan menjemput kamu ke sini.” Mendengar ucapan Bramantyo Gendis merasa lemas. Dia bagaikan Upik abu ataupun bawang putih yang selalu disuruh-suruh oleh saudara tirinya. “Sekarang lebih baik kamu temui Ayu! Turuti semua perintah Ayu! Papa mau ketemu sama teman-teman Papa di luar! Rahasiakan semua ini dari Mama dan juga Om kamu! Kalau sampai bocor, Papa nggak akan segan-segan menyakiti Mama kamu!” ancam Bramantyo kepada Gendis. “Baik, Pa!” Gendis hanya bisa menunduk dan dia benar-benar merasa tidak berdaya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Gendis sudah selesai mengerjakan semua PR teman-teman Ayu. Dia kembali ke kamarnya dan mulai merenungi nasibnya. Gendis berdoa agar suatu hari nanti kejahatan Ayah dan Kakak tirinya akan terungkap. Ia berharap mamanya mengetahui semua keburukan mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN