AMI .1 KABAR DUKA

1021 Kata
Dua tahun usia si kembar. Bulan Ramadhan, keluarga Ramadhan berkumpul di rumah tempat tinggal Aska, yang merupakan rumah peninggalan Raka. Revan, dan Asila sekeluarga juga datang dari Jakarta. Sahur pertama, mereka makan sahur di atas tikar yang digelar di ruang tengah yang cukup luas. Berkumpul di sana. Keluarga Asma. Selain Asma, ada Revan, Vanda, Asila, Andri, Ardan, Andra, Ello, Ella beserta suami dan anak-anaknya. Keluarga Aska. Ada Aska, Asifa, Rara, Razzi, Aya, Al, ibu Al, Rahmi, El, Zizi, Aay, Aan, Wira, dan Ziah. "Ello kapan menikah ini?" Tanya Aska pada Ello, putra Revan, dan Asila. "Belum ada calon, Kai," sahut Ello. "Tidak tergoda bule ya, saat kuliah di luar?" Tanya Aska lagi. "Tergoda apa nih, Kai?" Ello balas bertanya. "Paman Ello, masa tidak paham tergoda," ujar Aay. Ello tertawa. "Kalau tergoda untuk mengikuti cara hidup mereka, tidaklah. Kalau punya teman cewek bule, banyak." Ello tersenyum bangga. "Waah keren. Kenalkan dong, Paman!" seru Aan. "Kenapa kamu tidak kuliah ke luar juga, Aan. Jadi bisa kenalan sendiri." Ello menatap keponakannya. "Tidak ah, kalau aku pergi, siapa yang akan menemani sepasang kekasih hati ini." Aan menunjuk Wira, dan Ziah dengan matanya. Aan memang tinggal bersama kakek, dan neneknya itu. "Kalau Aan ingin kuliah di luar, Kai, dan Nini tidak akan menghalangi," ujar Wira. "Tidak, Kai. Aku di sini saja, sampai menutup mata. Biar Bang Aay saja yang ke luar kampung." Aan menggelengkan kepala, seraya menunjuk Aay. "Kalau di sini saja, ya tidak akan dapat isteri bule, apa lagi bidadari, An," canda Ardan. "Eh, jangan salah, Bang. Di kampung kita memang tidak ada bule, tapi pasti ada bidadari. Ini Rahmi, dan Zizi, calon bidadari. Nini Amma, Nini Abba, Nini Asma, dan Nini Sila, mantan bidadari." Aan menunjuk satu persatu orang yang namanya disebut. Semua tertawa mendengar ucapan Aan. Wira bisa merasakan kasih sayang tulus dari cucunya itu. Sejak usia delapan tahun, Aan sudah tinggal bersama mereka. Apapun pekerjaan rumah, tak perlu diperintah. Setiap subuh Aan bangun, setelah salat subuh di musholla, dia mencuci pakaian, sambil memasak sarapan. Sudah lama, Ziah, dan Wira tidak diijinkan mengerjakan apa-apa lagi di rumah. Semua pekerjaan rumah Aan yang melakukan. Wira menatap cucu-cucunya dengan perasaan bangga. Lalu menatap anak Aya, yang tengah bermain dengan Rahmi. Wira bahagia, karena diberi kesempatan untuk hidup lebih lama. Tatapannya berpindah pada Ziah, belahan jiwanya, pemilik cintanya, yang setia menemaninya hingga saat ini. Mereka menua bersama. Hampir tidak ada percekcokan dalam rumah tangga yang mereka jalani sampai setua ini. Itu karena mereka setiap hari belajar untuk mengerti apa yang diinginkan pasangan mereka. * Selesai salat tarawih, Al langsung pulang ke rumah, bersama ibunya, Rahmi, dan Bi Bayah. Sedang Aya di rumah bersama Acil Nunu. Aya yang membukakan pintu. "Assalamualaikum." Al, dan yang lain memberi salam. "Waalaikum salam," sahut Aya. Aya mencium punggung tangan, dan telapak tangan suami, dan ibu mertuanya. Rahmi mencium punggung tangan, dan telapak tangan Aya. "Dedek sudah bobo, Kak Aya?" Tanya Rahmi. "Sudah, Sayang," jawab Aya. "Boleh cium tidak?" Rahmi bertanya lagi. "Boleh, ayo." Aya menggandeng tangan Rahmi untuk masuk ke dalam kamar. "Ibu, dan Mas Al ingin minum?" Tanya Bi Bayah. "Kolak masih ada, Bi?" Tanya Al balik bertanya. "Ada." "Aku mau kolak, dan air putih saja. Ibu?" Al menatap ibunya. "Sama saja," sahut ibu Al. "Baik, sebentar saya ambilkan. Di antar ke mana?" "Ruang tengah saja. Ibu?" Al kembali bertanya pada ibunya. "Sama saja." "Baik, Bu." Bi Bayah menuju dapur. "Sini, Bu. Mukena, dan sajadah Ibu aku taruh ke kamar." "Iya, terima kasih, ibu ke kamar Aya dulu, ingin melihat cucu-cucu Ibu." "Iya, Bu." Al mengambil apa yang dibawa ibunya, lalu dibawa ke kamar ibunya. Diletakkan mukena, dan sajadah ibunya di atas kasur. Sedang ibunya melangkah ke kamar Aya, dan Al. "Nini!" Rahmi menatap ibu Al yang muncul di ambang pintu. Ibu Al mendekat ke tempat tidur yang dibuat khusus untuk si kembar. "Lelap sekali tidurnya ya, Aya." Ibu Al menatap wajah cucu-cucunya. "Iya, Bu." "Tadi masih rewel?" Tanya ibu Al. "Masih, Bu. Entah kenapa, hari ini mereka rewel sekali. Menangis saja, susah makan. Aku tanya apa ada yang sakit, mereka menggelengkan kepala." Aya mengusap kepala si kembar bergantian. "Untung mau tidur ya." ibu Al menatap si kembar dengan rasa sayang di dalam hatinya. Tinggal Al, anaknya. Mendapat cucu kembar tentu membuatnya sangat bahagia. "Alhamdulillah, Bu." "Kalian ingin kolak? Ibu, dan Al mau makan kolak di ruang tengah," ucap ibu Al. "Kak Aya saja, Ami jaga adik di sini, sambil belajar," jawab Rahmi. "Ami mau kolak juga, biar Kak Aya antar ke sini," ujar Aya. "Tidak, Kak Aya. Ami mau belajar sambil jaga adik saja," tolak Rahmi. "Ya sudah. Kak Aya, dan Nini ke luar ya, Sayang." Ibu Al mengusap kepala Rahmi. "Iya, Nini." Aya, dan ibu Al ke luar kamar. Rahmi tersenyum menatap kedua adiknya. Adik, dari sisi Al, karena mereka sepupunya. Tapi keponakan dari sisi Aya, karena almarhum abahnya, adik angkat orang tua Aya. * Aya, dan Al sudah masuk ke kamar. Rahmi tidur dengan ibu Al. "Nini Zi sakit lagi kata Aan," ucap Al. "Dibawa ke rumah sakit?" Tanya Aya dengan rasa cemas. "Tidak, Nini Zi tidak mau dibawa ke rumah sakit, jadi tadi dipanggilkan Abba dokter untuk datang ke rumah." "Besok kita ke rumah Nini Abba ya, Bang," pinta Aya. "Iya. Sekarang kamu istirahat. Pasti lelah mengurus Si Kembar yang sangat aktif. Apa lagi hari ini rewel sekali, kata ibu." "Aku tidak diberi sangu menuju alam mimpi," gurau Aya. Al terkekeh pelan. "Ingin sangu apa? Kecupan, ciuman, atau dipaku, paku jumbo?" Al menarik puncak hidung Aya. Aya kembali tertawa. Setiap Al menyebut paku jumbo, Aya tak bisa menahan tawa. Menurutnya lucu sekali. "Sangu apa saja, seikhlasnya Om Bucin ini saja." Aya mengusap d**a Al lembut. "Aku pasti ingin ...." Ucapan Al menggantung, karena suara ponselnya yang memanggil. "Jawab!" Aya mendorong d**a Al. "Siapa sih, jam istirahat begini menelepon. Untung pakuku belum ke luar dari bungkusnya," gerutu Al, ia turun dari atas ranjang. Diambil ponselnya di atas meja, di depan televisi. Ditatap layar ponselnya. Nama Amma Rara tertera di sana. Kening Al berkerut dalam. "Assalamualaikum, Amma," sapa Al. "Waalaikum salam, Al. Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un ...." Ucapan Rara tidak tuntas. Al menunggu dengan rasa cemas. "Amma?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN