AMI. 2 SELAMAT JALAN

1011 Kata
"Assalamualaikum, Amma." "Waalaikum salam, Al. Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un ...." "Amma?" Tanya Al, saat mendengar suara isak Rara dari seberang sana. "Amma, siapa yang meninggal?" Tanya Al lagi semakin penasaran. Aya turun dari atas ranjang. Lalu mendekati Al, perasaannya langsung tidak enak. "Amma?" Nada mendesak terdengar dari suara Al. "Kai Wira, Al ...." lirih suara Rara, namun terdengar bak petir bagi Al yang mendengarnya. "Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un ...." ucap Al, begitu mampu menguasai dirinya. "Siapa?" Mata Aya yang berkaca-kaca menatap Al. "Assalamualaikum, Al," pamit Rara yang tak mampu bicara panjang. "Waalaikum salam, Amma, kami segera ke sana," janji Al. "Siapa?" Tatapan Aya menuntut jawaban. "Tabah, Sayang. Kai Wira ...." Pecah tangis Aya seketika. Al mendekap Aya dengan erat. Tubuh Aya berguncang hebat, tapi ia masih mampu bertahan. "Kita ke sana, Bang." Aya menengadah menatap wajah Al, setelah bisa menguasai dirinya. "Iya, kita beritahu ibu, dan Ami dulu. Ibu biar di rumah saja menjaga anak-anak. Ami kita bawa." Al mengusap kedua pipi Aya yang basah oleh air mata. "Iya." Kepala Aya mengangguk. "Ganti pakaian dulu, Sayang," ujar Al lembut. "Iya." Kepala Aya mengangguk. Aya mengganti pakaian, Al memberitahu ibunya. "Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un," ujar ibu Al, dan Rahmi bersamaan. "Kai Abba." Rahmi menangis, ibu Al memeluk cucunya. "Ami mau ikut ke sana?" Tanya Al. "Iya." Rahmi mengusap air mata yang jatuh di pipinya. "Rahmi ganti pakaian dulu ya. Ibu tidur di kamar kami saja, Bu. Aku bangunkan Bi Bayah, dan Acil Nunu dulu," ucap Al. "Iya, Al." Al melangkah ke kamar belakang. Rahmi mengganti pakaian, ibu Al menuju kamar Al. "Aya ...." sapa ibu Al begitu tiba di kamar Al. "Ibu ...." Aya memeluk ibu mertuanya, ia kembali menangis. Ibu Al memeluk menantunya "Tabah, Sayang. Nini Zi pasti sangat membutuhkan dukungan kalian. Sampaikan turut berdukacita ibu ya." Ibu Al mengusap punggung Aya. "Iya, Bu. Titip anak-anak ya, Bu." Aya menatap si kembar. "Iya." "Kalau ada apa-apa, telepon saja, Bu." "Iya, Sayang. Sampaikan turut berduka cita Ibu ya. Sampaikan juga permohonan maaf Ibu, karena tidak bisa ke sana." Ibu Al mengusap pipi Aya yang basah. "Iya, Bu." Al masuk ke dalam kamar, ia mengganti pakaian, lalu mereka pergi bertiga, Al, Aya, dan Rahmi. * Al, Aya, dan Rahmi tiba di rumah Wira. Sudah banyak warga di sana. Meski sudah malam, tetapi warga tetap gerak cepat untuk membantu. Penilaian Al dulu, kalau mereka hanya membantu warga yang mampu, tidak terbukti. Siapapun yang meninggal, hajatan, nikahan, warga kampung tetap datang untuk membantu. Aya, dan Rahmi masuk ke dalam rumah, Al tetap di luar rumah. Di ruang tamu sudah terbaring jenazah Wira. Tertutup kain seutuhnya. Aya mendekati Rara. "Amma ...." "Aya, dan Ami di sini saja ya. Temani Nini." Rara menunjuk Ziah dengan matanya. "Iya, Amma." Aya, dan Rahmi mendekati Ziah. Mereka duduk di sebelah Ziah. "Nini," panggil Aya lirih. Kepala Ziah menoleh. "Aya, Ami." "Nini harus tabah ya, Ni," ucap Aya berusaha menguatkan hati nininya, padahal ia sendiri bercucuran air mata. Ziah tersenyum, diusap air mata di pipi Aya. "Nini ikhlas, kaimu pergi dengan tenang, sesuai keinginannya. Ada Amma, dan Abbamu yang mengiringi saat terakhirnya," ucap Ziah, diusap air mata yang mengaliri pipinya. "Maaf, Aya tidak berada di sini." "Tidak apa, Sayang." "Aya dengar dari Bang Al, Nini sakit. Tapi kenapa Kai yang pergi." Aya mengusap pipinya yang terus saja basah oleh air mata. "Iya, Nini memang sedang tidak enak badan. Nini berpikir kalau akan pergi lebih dulu, tapi Kaimu yang dijemput lebih dulu. Ayo baca ayat suci ya. Lihat Ami sudah membaca ayat suci." Ziah menunjuk Rahmi dengan matanya. Suara Rahmi lirih, sesekali ia mengusap mata. "Iya, Ni." Aya, dan Ziah juga turut membaca ayat suci. Aska duduk dengan punggung bersandar, Wira bisa dikata orang yang paling dekat dengannya, dulu mereka selalu berdua, mengurus berbagai hal di perkebunan, peternakan, dan tambak ikan milik keluarga Ramadhan. Wira bukan sekedar besan baginya. Tapi ia banyak belajar dari Wira. Wira sudah seperti abang sendiri baginya, tempat ia bicara, dan berdiskusi banyak hal, sampai tak diduga, Wira akhirnya jadi besannya. Sejak beberapa tahun lalu, Razzi meminta Wira tak bekerja lagi. Razzi jadi pengganti Wira bagi Aska. Razzi bukan sekedar menantu bagi Aska, tapi rekan kerja yang luar biasa. Razzi mewarisi sifat abahnya. Pekerja keras, dan memiliki kesetiaan yang luar biasa Apapun urusan yang berkaitan dengan usaha, selalu ia diskusikan dengan satu-satunya menantunya itu. Aska mengusap mata. Kepergian Wira, sangat mengagetkan baginya. Karena yang ia tahu dari Aan, Ziah yang sering sakit, tapi Wira yang dijemput lebih dulu. 'Terima kasih, Bang. Banyak waktu yang kita lalui bersama. Banyak hal yang aku pelajari dari Abang. Terima kasih, sudah mengijinkan putriku menjadi menantumu. Abang orang baik, pasti Allah tempatkan di tempat terbaik di sisiNya, aamiin.' Aska mengusap wajah, ditolehkan kepala, Asma duduk di sampingnya, tengah membaca ayat suci, dalam suara lirih, dan bergetar. Wira adalah cinta Asma, di masa dulu. Namun jodoh tidak mempersatukan mereka. Aska menghela napas. Siapapun yang akan dipanggil setelah ini, diantara yang tua di keluarga Ramadhan, ia ikhlas. * Pemakaman Wira dilakukan, pusaranya berjejer dengan pusara keluarga Wira lainnya. Aan memeluk Ziah. Sejak kainya meninggal di hadapannya, Aan tak terlalu banyak bicara. Karena sejak kecil ia tinggal satu rumah dengan Kai, dan nininya, otomatis, diantara ketiga cucu, ia yang paling dekat dengan mereka. Saat ia pindah ke rumah kainya, itu atas keinginannya sendiri, karena melihat Kai, dan nininya hanya tinggal berdua. Sedang di rumah keluarga Ramadhan selain kai, dan nininya, ada abba, dan amma, juga Aya, kakaknya. Aan menatap pusara kainya, satu hal yang yang jadi kesedihannya. Keinginan kainya untuk melihat ia menikah belum terkabul juga. Dan itu masih lama tentunya. Usianya sekarang baru delapan belas tahun, belum cukup untuk menikah. Aan kembali fokus ke pusara. 'Selamat jalan, Kai. Kai orang yang luar biasa sabarnya, selalu lembut dalam bersikap, dan bertutur kata, semoga aku bisa seperti itu. Selamat jalan kai, semoga Allah memberikan tempat terindah di sisiNya, aamiin.' Aan mengusap matanya. Ia ikhlas melepas kepergian kainya. Ia berjanji akan menjaga, dan menemani nininya, sampai akhir hidup nininya. Aan menempelkan wajah di kepala Ziah. 'Aku sayang Nini, aku akan menjaga Nini sampai akhir nanti.'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN