Buah Jatuh Tak Jauh Dari Pohonnya
Seorang gadis turun dari pesawat dengan membawa koper berukuran sedang di tangannya, beriringan dengan para gadis yang berseragam sama sepertinya, mereka memasuki bandara dan muncul dari gerbang kedatangan.
"Via, kamu ikut pesta bareng kita?" tanya salah satu dari mereka.
Livia menoleh dan menggeleng "Aku udah ada janji."
"Ck, lagian sejak kapan Livia ikut pesta?" tanya salah satunya lagi.
Livia menunduk dengan tersenyum, ya dia memang hampir tak pernah mengikuti perjamuan yang diadakan para pilot dan pramugari yang kerap diadakan setelah mereka bertugas dan menjalani libur selama beberapa hari sebelum kembali memulai kesibukan mereka sebagai pramugari dan pilot.
"Rugi loh Via, kamu gak bisa ketamu pilot hot dan ganteng."
Livia mengerutkan keningnya "Siapa?"
"Mr, William." semua temannya tertawa.
Livia menipiskan bibirnya, tentu saja Livia tahu siapa Mr, William, pilot playboy yang sering dia dengar desas desus tentangnya, dimana tak ada pramugari yang lolos dari pesonanya, tapi tentu saja tidak dirinya.
"Aku gak tertarik." tentu saja Livia tidak tertarik, sebab dia memiliki lelaki paling tampan yang pastinya sudah menunggunya.
"Aku duluan, ya." Livia melambaikan tangan ke arah teman- temannya dan bergegas menghampiri seorang pria yang menunggunya di depan sebuah mobil.
"Hai, sayang." Senyuman itu bersambut dengan pelukan hangat dari pria yang paling dia cintai.
"Kamu nunggu lama?" Nathan menggeleng lalu segera membawa Livia masuk kedalam mobilnya.
****
"Kamu langsung pulang?" tanya Nathan saat mulai melajukan mobilnya.
Livia mengangguk "Iya, kangen sama orang rumah juga." sepanjang jalan Nathan tak melepas genggamannya.
"Sayang, kapan kamu kasih tahu mereka tentang hubungan kita?" Livia terdiam. "Kamu tahu kan, Mama, Papaku mau aku segera menikah."
Livia nampak berpikir lama "Nanti ya, aku bicara dulu sama Mbak-ku."
"Jangan bilang ini karena Luna?"
Livia menggeleng "Gak cuma belum siap aja."
"Tapi, aku yakin Luna juga pasti seneng kok, kalau tahu kita pacaran."
Livia mengangguk "Semoga. Oh iya, kamu nepatin janji kamu kalau mau ajak Luna jalan- jalan kan?"
"Iya, seperti kata kamu," jawab Nathan.
"Aku ngerasa bersalah gak bisa datang waktu ulang tahunnya kemarin."
"Kan karena tugas, jadi aku yakin Luna ngerti kok." keduanya asik berbincang dan tak menyadari di belakang mereka sebuah mobil mengikuti, hingga mereka tiba di sebuah rumah besar dimana Livia tinggal selama 19 tahun ini.
"Aku masuk dulu, ya." Livia memberikan kecupan di pipi Nathan, lalu keluar secepat kilat.
Nathan yang awalnya tertegun, segera keluar dan menarik Livia ke dalam pelukannya, dengan gerakan cepat Nathan menempelkan bibir mereka dan memberikan lumatan kecil hingga terdengar terikan dari seseorang yang Livia kenal.
"Via!" Jelas Livia terkesiap langsung mendorong Nathan manjauh.
"Mbak," ucapnya gugup, bagaimana tidak, dia tak pernah bilang jika memiliki kekasih dan sekarang justru ketahuan berciuman di depan rumah mereka.
Nadhira mengepalkan tangannya, mengabaikan Nathan yang menyapanya Nadhira menatap Livia dengan tajam. "Masuk, Kamu!" ucapnya tegas.
Livia meremas tangannya "Biar aku yang bilang sama tante Nadhira," ucap Nathan, dia juga khawatir dengan melihat amarah di wajah Nadhira
Livia menggeleng "Enggak, aku bisa jelasin."
"Kasih tahu aku nanti, oke?" Livia mengangguk, lalu membawa kopernya masuk.
Livia menyusul Nadhira memasuki kamarnya dimana kakak tirinya itu masuk lebih dulu.
Melihat Nadhira menahan amarahnya membuat Livia sedikit takut, selama ini Nadhira tak pernah marah padanya, apakah kesalahannya sangat fatal?
Tentu saja dia baru saja membuat pemandangan memalukan di depan rumah mereka.
Livia menghela nafasnya dia akan menjelaskan tentang hubungannya dengan Nathan, dia yakin Nadhira akan mengerti.
Selama ini Livia menyembunyikannya, karena merasa belum siap jika keluarganya tahu dia memiliki kekasih.
"Mbak sebenernya..."
Plak...
Baru saja akan bicara Livia merasakan tamparan di pipinya.
"Apa yang salah dengan didikanku Livia, selama ini aku menyayangi kamu seperti anakku sendiri, tak pernah membedakan antara kamu, Luna bahkan Gio. Tapi kamu justru akan menjadi duri di hati anakku?" Livia tertegun lalu mendongak menatap Nadhira.
"Maksud Mbak, apa?" Livia sungguh tak mengerti.
"Jangan berpura-pura, apa kamu ingin menjadi seperti Mama kamu, merebut lelaki orang. Kamu tahu Luna mencintai Nathan, tapi kamu menggodanya?"
Livia tertegun "Luna ..." lidahnya terasa tercekat mendengar ucapan Nadhira barusan.
Luna mencintai Nathan?
Bagaimana bisa?
"Mbak, aku gak tahu kalau-"
"Kamu memang sama seperti Mama kamu, gak tahu terimakasih, harusnya aku gak pernah bawa kamu dulu." dunia Livia terasa hancur sekarang, wanita yang dulu jadi penyelamatnya, kini memakinya bahkan menghina ibunya, dia tahu selama hidupnya Elisa, mamanya sangat jahat pada Nadhira, tapi apa salahnya hingga menanggung kesedihan dengan di tinggalkan, dia bahkan tak sepenuhnya bahagia, meski selalu mendapat apapun dari Nadhira dan Aarav, sebab tetap saja hatinya kesepian, di balik tubuh Luna yang harus selalu dia sanjung.
"Apa salahku, aku mencintai Nathan, Mbak-"
"Salah, kamu salah!" lagi ucapan Livia terpotong "Kamu ada juga udah salah, Mbak gak bisa bayangin gimana sakitnya Luna kalau tahu kamu berciuman dengan Nathan!"
Apa yang salah dengan itu, lagi pula Nathan kekasihnya?
"Mulai sekarang jauhi, Nathan! Jangan sampai Luna salah paham!"
Biasanya tak kentara saat Nadhira terlihat lebih menyayangi Luna, namun hari ini kakaknya itu menunjukkannya.
"Kenapa harus aku? Kenapa harus selalu aku yang mengalah?" Livia mendongak menatap mata Nadhira yang tertegun. "Selama ini aku selalu berkorban apapun untuk Luna, kenapa sekarang juga harus aku? Kenapa gak Luna aja yang menjauh dari Nathan?!"
Plak..
Nadhira benar-benar kehilangan kendali dan lagi- lagi menampar Livia.
"Kamu!" Tangan Nadhira bergetar, dia juga tak ingin melakukan ini, tapi jelas dia harus meluruskan sikap Livia. "Benar memang, buah jatuh gak jauh dari pohonnya." Nadhira terkekeh "Dulu mama kamu menghancurkan keluargaku, dan sekarang kamu akan menghancurkan hubungan Luna dan Nathan!" Nadhira berjalan ke arah laci dan meraih sebuah buku, membukanya hingga menemukan sebuah lipatan kertas di dalamnya. "Lihat ini, surat dari Mama kamu! Harusnya aku kasih ini dari dulu, biar kamu tahu diri sedikit Via!" Nadhira melemparkan lipatan kertas tersebut ke wajahnya.
"Aku berharap setidaknya itu bisa merubah watak ibumu dalam dirimu!" setelah itu Nadhira meninggalkan Livia sendiri, tangannya bergetar hingga saat lipatan kertas itu terbuka, air matanya yang sudah meleleh semakin deras mengalir.
Livia menggenggam tangannya dan memeluk surat terakhir dari Elisa, wanita itu benar-benar meninggalkannya dengan cara bunuh diri, karena menyesali perbuatannya, tapi dia lupa dia meninggalkannya sendiri hingga dia lebih merasa sakit sekarang.
Livia terus menangis dia bahkan tak ragu menangis dengan kencang seolah meluapkan kesakitan yang selama ini dia pendam.