“Dhav, ini data yang udah gue cari. Emangnya ada apa sih sama data ini? Gue dengar lo mau make jasa buat masalah lu?”
Dhava mengalihkan perhatiannya dari layar komputer, lalu menatap Matth yang baru saja memasuki ruangannya. Sosok itu lekas berdiri dan meminta data yang baru saja di berikan oleh Matt. “Bukan make jasa, lebih tepatnya memanfaatkan keadaan.”
“Dasar lo ya, pantas aja gue lihat Christian ngomong sama bokap lo di bawah tadi. Jadi, lo yakin mau make kekuasaan bokaplo buat manfaatin dia?”
Dhava mengangguk dan tersenyum sinis, Christian, lelaki itu sudah beberapa kali menolak kerjasama dengannya untuk alasan yang tidak jelas. Hal itu membuat Dhava merasa kesal dan tertantang. Akhirnya dia menggunakan kekuasaan ayahnya untuk menundukkan Christian. Tidak ada seorangpun yang bisa menentang perintah seorang Dhava. Lagipula, jika ada yang mudah, kenapa harus yang susah?
“Kerjaan hari ini gue serahin ke lo Matt, gue benar-benar butuh hiburan kali ini!”
“Club?”
Dhava hanya menggeleng, “Gue mau makan, ya kali cari hiburan mesti ke club. Ogah bangat gue, lo ikut?”
“Ya kali nolak yang gratis bos, tunggu saya boss!” teriak Matt lekas mengambil kunci mobil dan mengekori Dhava ke luar ruangan. Sekarang memang sudah waktunya makan siang dan Matt tahu kemana tempat yang bagus jika makan dengan bosnya.Beberapa karyawan yang sedang mengantri turun lekas memberikan jalan pada Dhava dan Matt.
Kacung yang baik.
Tatapan Dhava tertuju pada tiga serangkai yang juga menyisikan jalan untuknya, Hana dan gengnya. Dhava sesekali melirik gadis itu, dia terlihat begitu santai dan sama-sekali tidak merasakan intimidasi darinya. Padahal, sebagai besar karyawannya akan selalu merasa salah tingkah jika diperhatikan olehnya. Namun entah kenapa, gadis satu ini berbeda, batin Dhava sembari mengembalikan tatapannya.
“Anjir, lo diliatin pak Dhava loh tadi Han, nyadar gak sih?” Rita berbisik pelan, takut jika dia akan kedapatan sedang ngegibah lagi. Namun nyatanya, Dhava mendengar suara itu. Dia kembali mencuri pandang ke arah Hana. Namun wajah datar gadis itu lah yang menyambut Dhava. Seketika itu juga, sebuah seringai muncul di wajah Dhava. Dia bergeser dan berdiri di sebelah Hana. Ting—bertepatan saat pintu lift terbuka.
Dhava dan Matt masuk lebih dulu, namun sama-sekali tidak ada tanda-tanda ada yang ingin bergabung dengan mereka. Membuat Dhava terlihat kesal. Ia menatap Matthew dengan tatapan mémbunuh. Matt lekas ketar ketir dan ikutan keluar. Menarik tangan siapapun yang bisa dia jangkau dan kebetulan atau kesialan, tangan Hana yang dapat.
“Arghh!” teriak Hana terkejur ketika tangannya tiba-tiba di tarik. Manik bulat Hana semakin membulat tak kala melihat pintu lift sudah tertutup dan dia berakhir bersama dengan Dhava dan juga Matt yang hanya memasang cengirannya.
Hana menghela nafas, dia paling kesal jika sudah berhubungan dengan dua makhluk di depannya. Tapi, pertanyaan pentingnya, kenapa Hana harus ditarik masuk ke dalam lift? Tapi dia tidak ingin banyak tanya atau bertanya. Karena Hana hanyalah kacung, suruhan dan tidak memiliki kuasa untuk menentang di mulut pedas yang kini tengah menatapnya sejak tadi. Hana sedikit salah tingkah, ya jelas salah tingkah. Siapa yang tidak akan ketar-ketir jika di tatap oleh cogan keturunan sultan coba? Hana memang tidak mengerti banyak mengenai hubungan yang lebih dalam seperti perkataan kedua temannya—Rita dan Serena.
Namun Hana juga pecinta spesies oppa-oppa atau mahluk-mahluk tampan. Enak saja gitu di pandangi, buat mood baik. Dan sosok di depannya ini adalah mirip dengan kategori yang tadi dia sebutkan. Sayangnya, dan nilai minus paling besarnya, sosok di depannya ini memiliki mulut yang amat teramat pedas, ego yang tinggi dan sialnya, dia adalah bos Hana. CEO dari perusahaan tempat sekarang ia bekerja.
“Kenapa?”
“Eh?” Hana yang sejak tadi memikirkan banyak hal tiba-tiba terkejut tak kala Dhava berjalan mendekatinya dan mengapit tubuhnya di atas lift. Matt yang berdiri di depan pintu bahkan sampai membulatkan matanya, terkejut.
“Kenapa kamu itu selalu saja pura-pura jual mahal, Hana? Padahal, aku tahu kamu memang ingin satu lift denganku”
Kening Hana berkerut mendengar suara berat Dhava yang sedikit tidak masuk akal. Siapa yang ingin satu lift dengan setan coba? Hanya temannya yang tidak waras itu saja yang selalu memuji sosok iblis berwujud malaikat ini. Hana melangkah menghindar, beruntung tangan Dhava yang hendak menahannya bisa ia lalui dengan mudah. Hana berdiri di sebelah Matt, menatap Matt dengan tatapan bertanya.
“Kenapa kamu menghindar? Aslinya aku masih penasaran, apa memang benar kamu itu sepolos apa yang aku dengar selama ini, atau kamu itu adalah sosok yang liar ketika….!”
“Maaf pak? Jika Anda ingin melecehkan saya dengan cara menghina, tolong lihatlah derajat Anda. Seorang CEO melecehkan anak buahnya, aku rasa itu akan menjadi skandal nantinya. Lagipula, apapun yang saya lakukan di luar sana, tidak ada hubungannya dengan Anda. Bapak Dhava yang terhormat.!”
Ting…Pintu lift terbuka dan bersamaan dengan itu, Hana melihat kesempatan untuk pergi. Namun beberapa karyawan terlihat menatap mereka. Hana menghela nafas, bisa saja nanti dia mencetak rekor gadis paling nekad di kantor ini. Tapi Hana tidak peduli, dia lekas melangkah keluar dan meninggalkan Dhava dan Matt yang masih berada di dalam lift.
Sebuah seringai di wajah Dhava terbit, “Dia lumayan juga ternyata, nice!” guman Dhava lalu segera keluar dari lift.
***
Sejak mulai makan, Hana menekuk wajahnya. Selain karena di cecar oleh pertanyaan dari Rita dan Serena yang mempertanyakan apa hubungannya dengan pak Dhava, dia juga sedang tidak mood karena di tatapan oleh banyak orang. Sialan, hanya karena si mulut pedas itu, reputasi Hana jadi sedikit menurun. Hana menghela nafas kesal, lalu mulai memakan mienya yang baru saja datang.
Beberapa meter di depan mereka, Dhava dan Matt duduk sembari memakan makanan mereka. Setiap gerakan dari mereka tidak pernah luput dari tatapan kaum hawa yang sudah mengibas-ngibas wajahnya, bahkan beberapa dari mereka ada yang sengaja memasang kipas, biar adem.
“Ituloh Ser, jakung nya pak Dhava biking gemes gak sih? Aihss, ingin rasanya jari ini menyentuh dan meraba-rabanya!” Rita mulai lagi dengan segala fantasy liarnya. Dia bahkan rela tidak makan hanya untuk menatap lelaki itu—Dhava Subhan, atasan mereka yang menyandang gelas bujang terpanas tahun ini. Di usia 30 tahunnya, atasan mereka itu bukannya semakin menua atau mulai kehilangan ketampanannya. Ini malah semakin panas, dan cocok sekali masuk daftar pria terpanas majalah musim ini.
Seisi rumah makan itu tidak ada yang melepas perhatiannya dari Dhava, seolah mereka akan kenyang hanya dengan melihat bujang panas itu. Tangan Dhava bergerak dan melepas dasinya dan dua kancing baju teratasnya. Lengan bajunya juga sudah di gulung lipat ke atas.
“Nanggung gak sih Han? Gak sekalian aja tuh semua kancingnya di lepas. Siap banget buat bantu ngelepasin, sekalian modus megang!” Rita menyikut lengan Hana yang sama-sekali tidak peduli.
“Lo salah nyenggol tangan orang Rit, Hana mah gak bakal pernah tertarik tuh sama pak Dhava. Dia itu cinta semati sehidupnya di RM BTS loh, padahalkan V dan Jungkook lebih tampan. Heran aja sama selera anak satu ini!”
“Ya Ampun…ya ampun, lengan kekarnya pak Dhava itu loh. Bikin ngiler, serius deh, andai nanti suami hamba se-hot itu, rela mah gua di ranjang tiap hari. Gak apa-apa, serius gue, iya gak Ser?” Rita semakin liar dan tidak terkendali. Bahkan beberapa lelaki teman sekantor kami kami yang mendengar percakapan Rita bergidik ngeri.
Hana ikutan menatap ke arah Dhava, namun sepertinya itu adalah sebuah kutukan. Karena tepat saat itu juga, Dhava melirik ke arah meja mereka dan membuat Rita dan Serena berteriak histeris. Bahkan beberapa orang lain yang sedang makan menatap ke arah meja mereka dengan tatapan tajam. Hana lekas mengalihkan tatapannya dan kembali makan dengan tenang.
“Gue baru ingat!” Ujar Hana begitu melihat notif yang masuk di ponselnya
“Ingat apa? Jangan bilang selama ini ingatan lo hilang dimakan hiu Han!”
“Bukan bego, gue baru ingat kalo abang gue balik hari ini. Gue gak tahu kenapa dia tiba-tiba mau bekerja di sini, tapi kata dia ini urusan penting!”
“Wait…maksud lo bang Christian?” seru Rita heboh sendiri
Hana mengangguk dan semakin membuat Rita mabuk kepalang, Dhava bahkan sudah teralihkan dari pembicaraan Rita dan Serena tadi. Bukan rahasia lagi jika sahabat Hana itu sangat terobsesi dengan para pria tampan dan salah satunya adalah abang Hana sendiri.
“Han, kamu itu cantik banget loh. Gue aja iri sama cantik luar dalamnya Hana, bis….”
“Gak bisa , gak boleh dan gak mau. Ogah aja gue nanti punya ipar kayak lo, ponakan gue mesumnya segimana lagi? Udah-udah, gak ada yang bahas abang gue lagi di sini, nyesel gue ngasih tahu lo pada semua. Dasar!” kesal Hana menyudahi acara makannya dan membayar lebih dulu.
Meninggalkan Rita dan Serena yang saling menatap satu sama lain, tatapan Rita amat begitu kecewa. Namun bukan Rita namanya jika mudah menyerah. Gadis pecicilan dengan tingkat kepedean akut itu lekas berlari mengejar langkah Hana yang sudah mulai jauh.
Sementara Dhava kembali melirik kepergian gadis itu, dugaannya benar. Gadis itu memang tidak tertarik padanya. Padahal dia sudah rela-rela untuk membuka dasi dan dua kancing baju teratasnya. Namun sama-sekali tidak berhasil menarik perhatian gadis itu. Matthew menggelengkan kepalanya sembari memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya. Jarang-jarang sekali Dhava mau memanggang untuknya. Jika bukan karena untuk menarik perhatian gadis itu, Matt yakin dia akan berakhir di ruang kerja dengan segudang tugas jika hal ini terjadi.