“HANAAA….!”
Teriakan melengking itu mengalihkan perhatian Hana, gadis yang sedang menyeduh teh itu. Hana menatap Rita, yang berdiri di depannya dengan tatapan mata berbinar. Seolah dia baru saja memenangkan togel 4 angka dan mendadak kaya raya dan ingin mengatakan padanya bahwa dia ingin resign dari kantor detik ini juga. Hana jadi was-was jika tebakannya tadi benar, masalahnya dia pun ingin sekali resign dari kantor penuh dengan kata-kata mutiara ini. Setiap pagi, sebelum memulai pekerjaan, semua karyawan di sini pasti akan selalu mendengarkan makian dari atasan mereka.
Entah salah-satu saraf atasan mereka putus atau otaknya bermasalah, setiap pagi sosok itu pasti akan menyemprot mereka dengan kata-kata mutiaranya yang tidak pernah kehilangan stok.
“Apa?” ujar Hana, setelah menyeruput teh nya tadi. Tapi baru saja beberapa teguk dia minim, gelas itu sudah berpindah di tangan Rita dan meneguknya hingga kandas, menyisakan cangkirnya saja. Bahkan, kurang ajarnya Rita. Setelah menghabiskan teh Hana, dia menarik tangan gadis itu dan membuat tangan Hana seperti penampungan sisa-sisa.
“Ahh…udah legah Han, oh iya, tadi gue mau bilang apa?”
Bego. Hana membatin dalam hati, tidak tega jika harus mengatakannya langsung pada sang sahabat.
“Lo teriak-teriak, mau bilang apa? Jangan bilang lo dapat togel 4 angka, dan ingin resign dari kantor!”
“Babi, bukan! Jadi….” Rita tersenyum lebar sembari menatap Hana, saking lebarnya, Hana sampai terlihat takut jika bibir Rita akan robek. Tidak lucu jika Rita jadi mirip Harley quinn. Saking tidak lucunya, Hana hanya menyipitkan mata dan menatap Rita dengan penuh kesabaran.
“Apa Rita!, plis jangan bego pagi-pagi gini, gue masih ada deadline laporan buat bos!”
“Hana…Album butter gue udah nyampe dong, dan…dan gue dapat albumnya V. Lihat…lihat, Oh My God! Roti sobeknya V loh Han, inalilahi banget gak sih? Semalam gue sampai gak tidur karna lihatin packnya V. Rahim gue panas, anjir, bayangin V jadi ayah dari anak-anak gue nanti buat gue beneran gak bisa tidur sampai sekarang!”
Hana ikutan menatap foto hot salah satu aktris korea selatan itu. Rita tidak berbohong, potongan roti sobek dengan tampang begitu sempurna membuat Hana ikutan tidak bisa berpaling barang sedikitpun. Yaampun, hot-nya V BTS ini bahkan mengalahkan bos mereka. Perhatian Hana tertuju Rita, dia terlihat ingin marah, tapi tidak bisa. V BTS terlalu berpengaruh buruk pada kesehatan mental Hana, dia malah ikutan membalik album terbaru BTS itu, menggigit bibir bawahnya menatap semakin hot-nya gambar mereka. Nasib jadi fangirl tapi tidak modal seperti Hana, hanya bisa memandangi kesenangan temannya yang sanggup untuk membeli album ini. Hana jelas tahu berapa uang yang di keluarkan Rita untuk membelinya, saking Hana tau harganya. Ia menatap Rita yang bisa-bisanya pamer karena bisa membeli album semahal ini, namun lupa daratan.
Hutang Rita pada Hana masih bertumpuk, dan bisa-bisanya Rita masih tidak sadarkan diri? Dasar makhluk sialan, umpat Hana dalam hati. Dia lekas meninggalkan Rita di meja pantry dengan albumnya itu.
***
“Bájingan, jadi lo belum dapat kabar apa-apa mengenai kasus itu?”
Bruk—tubuh lelaki tadi terpental beberapa meter kebelakang, tendangan freestyle yang baru saja Dhava berikan pada salah satu anak buahnya itu terlihat masih tidak cukup untuk melampiaskan kekesalan lelaki itu. Dhava mengambil salah satu kursi yang berjejer di belakangnya, mereka sedang berada di gudang, tempat dimana Dhava biasa melakukan kesukaannya ini. Prang—kursi itu terbelah dua, bersamaan dengan sosok anak buahnya itu yang kembali terjatuh dan membentur tanah. Darah segar meluncur dari mulut sosok itu. Dhava menginjakkan kakinya di atas kepala sosok itu dan berdecak.
“Aku menghabiskan uangku, agar kau bisa menyelidiki kasus itu. Tapi bájingan akan tetap menjadi bájingan, sampah sepertimu memang tidak seharusnya bekerja untukku. Aku tahu kau tidak melakukan apa yang sudah aku perintahkan, selama ini aku tahu, bájingan!”
Arghh…sosok yang berada di bahwa Dhava berteriak histeris kala pijakan di atas kepalanya makin menguat. Seolah tuli, Dhava menekan kepala sosok itu hingga darah mengalir di bawah kakinya. Dhava tersenyum sinis, menatap sosok itu dengan tatapan penuh kemarahan.
Pintu gudang terbuka, sosok lelaki berambut pirang masuk. Lelaki itu sempat terkejut menatap sosok Dhava yang menginjak sosok di bawah itu. Matthew, lelaki berambut pirang itu menutup pintu gudang dan berjalan mendekati Dhava. “Bos, data yang lo minta udah gua masukin. Apa mau sekarang saja atau nanti?”
Dhava menekan sosok tadi, lalu menatap pada para anak buahnya yang berada di belakang. “Bereskan bàjingan tidak berguna ini, kasus ini akan aku serahkan pada yang lain!”
Anak buah Dhava di belakang lelaki itu mengangguk. Membuat kaki Dhava terangkat dari atas kepala sosok tadi. “Aku akan melihatnya di kantor saja Matt! Pastikan mereka tidak buka mulut mengenai hal ini, jika tidak, maka kepalamu yang akan aku jadikan sebagai ganti!”
“Menyeramkan sekali, ayolah Dhav, kita ada rapat di kantor hari ini. Bokap lo nanti bisa merepet jika tahu kita masih tidak berada di kantor!”
“Bokap?” Dhava menatap Matt sembari menaikkan lengan bajunya dan mengurangi ikatan dasinya yang terasa mencekik lehernya. Tatapannya masih tertuju pada Matt, sekretaris pribadinya itu. Raut wajah lelah terlihat jelas di wajah Dhava, membuat Matth merasa bersalah karena memberikan semua tanggung jawabnya pada Dhava—bosnya. Padahal, aturannya semua itu adalah pekerjaannya, namun karena dia cuti dan baru kembali hari ini, membuat Dhava harus mengerjakan semuanya sendiri selama beberapa minggu terakhir ini.
“Ya, tadi gue ketemu sama bokapnya bos. Katanya dia mau liburan sama nyokap bos, setelah rapat besar!”
Shit, Dhava mengumpat lalu lekas mengenakan dasinya dengan benar dan menurunkan gulungan bajunya. Matt membuka pintu mobil, Dhava lekas. Dhava jelas tahu apa maksud dari ayahnya itu harus ikutan rapat kali ini. Padahal tanggung jawab perusahaan sudah berada di tangannya.
Mobil hitam Dhava memasuki parkiran perusahaan, dia lekas turun tanpa menunggu Matt untuk membuka pintu baginya. Begitu sosok itu turun dari mobil, bagai sebuah magnet yang menarik perhatian, hal itulah yang terjadi sekarang. Dari pegawai yang berada di lobby, bahkan sampai office boy pun teralihkan oleh ketampanan sosok CEO itu.
Setelah Dhava dan Matt memasuki lift dan menghilang. Para karyawati itu langsung berkumpul, menyempatkan diri untuk saling berbagi perasaan apa yang baru saja hinggap di mereka. Yang tidak mereka ketahui, Dhava melihat mereka dari lift berlapis kaca itu. Sebenarnya Dhava sangat tahu bahwa dirinya sering dijadikan bahan gosip ria para karyawatinya. Tidak hanya para karyawati, sampai office boy pun pernah ia pergoki sedang mengelus fotonya di layar ponselnya. Entah apa yang sedang di lakukan lelaki itu, Dhava hanya bergidik ngeri membayangkan apa yang sedang dilakukan office boy itu. Jika dirinya yang hot ini di bicarakan oleh para kaum hawa, Dhava masih sedikit bangga. Dan masih merasa, LAKIK!
Ini, sampai sesama jenis pun mendambakan dirinya. Benar-benar tidak ada akhlak.
***
“Lu tau Han, V-BTS masih kalah jauh loh sama pak Dhava!”
Rita yang baru saja duduk di kursi kubikelnya kembali memancing bahan gosip lagi. Hana memutar bola mata malas, dia sudah merasa muak untuk membicarakan laki-laki, terlebih jika itu adalah bosnya sendiri—Lord Dhava yang Agung. Sosok yang paling dia benci selama hidup. Hana masih ingat dengan jelas rahang lelaki itu yang tidak pernah merasa lelah jika sudah memberikan kata-kata mutiara itu setiap pagi.
“Betul gak Ser?”
Serena, salah satu karyawati sejenis dengan Rita, mengangguk antusias. Padahal dia baru saja tiba dan duduk di kubikelnya, tidak tahu apa yang sedang di bicarakan oleh Rita dan Hana, tapi dia sudah mengangguk-angguk saja ketika di tanya. Biar apa? Biar kelihatan pintar dong, sudah jelas sekali niat terselubung di dalam siasat Serena.
“Lo tau gak apa yang lagi kita bicarin? Mangut aja lo!” kesal Hana
“Pasti kalian lagi bicarain pak Davakan?”
Ting…Suara keras Serena tiba-tiba terhenti ketika mendengar pintu lift yang terbuka. Lokasi meja mereka yang memang dekat dengan pintu lift, membuat perhatian sosok yang baru saja keluar itu menatap tajam ke arah tiga gadis ratunya penggosip itu. Tatapan Dhava menajam, melihat 3 karyawatinya itu menatapnya dengan raut wajah terkejut membuat dia yakin bahwa ketiga manusia penggosip itu sedang menjadikannya bahan gosipan lagi.
Sebenarnya Dhava heran, kenapa para kaum hawa itu bisa sekali menggosip dalam keadaan apapun dan dimanapun berada. Di tempat ekstrem seperti toilet, pasar, jalan, lift dan dimanapun mereka berada, pasti akan sangat nyaman untuk menggosip. Dhava melangkah masuk, dan berjalan luruh memasuki ruangannya. Tatapannya tidak lepas dari sosok gadis dengan rambut pirang yang juga sedang menatapnya.
Dia Hana.
Dhava menatap gadis itu selama beberapa menit, lalu menggelengkan kepala.
Begitu masuk di ruangannya, Dhava lekas duduk di kursi rapat. Beberapa orang sudah hadir di dalam rapat kali ini. Dan yang menarik perhatian Dhava kali ini adalah sosok lelaki paruh baya yang sudah duduk di kursi yang seharusnya menjadi miliknya. Dhava menatap sosok lelaki paruh baya itu sebentar lalu mengalihkan perhatiannya.
Rapat mulai, semua berjalan dengan lancar. Dhava melakukan yang terbaik, para penanam modal itu juga setuju dengan kerjasama yang di ajukan olehnya. Beberapa produk yang akan launching juga menerima kesepakatan yang benar. Setelah rapat, Dhava memerintah Math untuk mengantar mereka keluar dan memberikan jamuan terbaik. Sekarang hanya tertinggal Dhava dan sosok lelaki paruh baya itu.
Perhatian Dhava tertuju ke luar. Memperhatikan sosok gadis bernama Hana itu.
Ini memang sedikit konyol, Dhava sama-sekali tidak pernah tertarik untuk memperhatikan orang lain. Karena biasanya semua perhatian sangat mudah dia dapat. Dimana Dhava berpijak, maka di situlah ia menjadi magnet yang akan menarik semua perhatian. Baik muda, anak-anak dan bahkan orang tua sekalipun. Dibandingkan dengan wanita yang selalu mendekatinya, Hana tidak ada apa-apanya. Perbandingannya bagaikan bumi dengan langit. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari gadis itu, maksudku fisiknya.
Hanya otak jeniusnya yang membuat gadis itu masih bertahan di kantor ini dengan gaji yang termasuk cukup tinggi.
Sayangnya, otak jenius itu sangat polos mengenai hal intim. Pernah sekali, ketiak Dhava makan di kantin kantor. Dia tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan sosok gadis itu dengan dua gadis yang menjadi sahabatnya. Dhava bahkan sampai terkejut ketika Hana ternyata tidak tahu menahu mengenai seks dan yang sejenis dengan bagian intim. Saking polosnya gadis itu, membuat Dhava ingin sekali mengujinya.
Apakah Hana benar-benar polos atau pura-pura polos, padahal nyatanya dia adalah ahli di bidang itu.
“Kau memperhatikan gadis itu sejak tadi, apa yang sedang kau rencanakan padanya saat ini? Jangan mencoba untuk memecatnya, dia adalah karyawan ayah yang paling ayah banggakan. Sekalipun kau sudah memegang kendali perusahaan ini, tapi kau tidak bisa memecatnya!”
Dhava berbalik dan menatap sang ayah.
“Aku tidak memperhatikan siapa-siapa. Lagipula, apa tujuan ayah datang kemari? Perusahaan baik-baik saja di tanganku ayah, tidak perlu merasa khawatir mengenai perusahaan. Aku bahkan bisa menaikkan keuntungan kita dalam waktu beberapa bulan. Ketampananku tidak akan mampu di tolak oleh siapapun!” seru Dhava penuh dengan percaya diri.
Daniel tertawa, sikap percaya diri dari putranya itu benar-benar menurun darinya. Daniel duduk dan menatap Dhava, putra satu-satunya itu lekas duduk di sebelah sang ayah. Tidak banyak bertanya.
“Ayah tahu, dan ayah tidak datang karena masalah perusahaan. Namun karena ada sesuatu hal yang mengganggu pikiran ayah!”
Dhava mulai menatap Daniel dengan serius, “Apa yang sedang ayah pikirkan?”
“Begini, kau sudah berusia 30 tahun nak. Ayah mulai bosan terus dipaksa oleh ibumu untuk membujukmu menikah. Ayah tahu kau pasti tidak akan setuju, tapi kau harus cepat memberikan ibumu cucu nak. Jika tidak, ibumu tidak akan memberi ayah jatah!”
Uhuk—Dhava tersedak minuman yang sedang dia minum, Dhava lekas mengambil tissue dan menatap ayahnya dengan kesal dan penuh dengan rasa jengkel. Ayahnya memang secinta itu dengan ibunya. Entah apa yang dilakukan ayah sehingga ibu sampai seperti ini. Aku menghela nafas.
“Aku akan mencari ibu menantu, tapi tidak sekarang, masih banyak yang harus aku kerjakan ayah. Tidak ada waktu untuk memikirkan makhluk rumit itu sekarang!”
“Hahahah!” Daniel tertawa lepas dan menepuk punggung putranya. Sikap Dhava memang tidak berbeda jauh darinya. Daniel bangkit berdiri dan mengambil jaketnya, “Ayah tahu, sekarang ayah pergi dulu. Sebaiknya kau cepat memberikan kemauan ibumu, nak!”