1. Invisible Red Thread (1)
Chapter 1 :
Invisible Red Thread (1)
******
SEBUAH tirai berwarna merah tua yang tergantung di pintu masuk rumah panggung itu tersibak. Pintu rumah itu tidak tertutup, tetapi sebagai gantinya, tirai merah tua itulah yang menutupi bagian dalam rumah itu. Airell membuka tirai yang tidak terlalu tebal itu dan menemukan Eric, kakak kandungnya, tengah duduk bersandar pada tiang kayu penopang atap rumah seorang tabib yang tengah mereka kunjungi.
Eric memiliki warna rambut yang sama dengan Ai, yaitu warna vermillion. Akan tetapi, berbeda dengan Ai yang rambutnya dicepol dua, rambut panjang Eric hanya ia kepang satu di belakang. Warna mata mereka juga sama, yaitu warna biru laut. Warna rambut dan mata mereka ini terbilang begitu langka, terutama di negara yang tengah mereka tempati. Namun, mereka meneruskan gen dari ibu kandung mereka. Wajah mereka cukup mirip.
Sebelah kaki Eric terjuntai dan sebelahnya lagi ia angkat hingga lututnya berada di di depan dadanya. Lengan kanan Eric yang diperban itu tampak bertumpu pada lututnya yang terangkat, kemudian ia menoleh tatkala mendengar suara tirai yang tersibak.
Eric lantas menemukan Ai di sana; gadis itu tengah berjalan mendekatinya.
“Halo, Sayang,” sapa Eric, ia tersenyum sangat manis kepada Ai hingga matanya tertutup seolah ikut tersenyum. Ia terlihat luar biasa polos, seperti tak berdosa atau tak bersalah sama sekali.
Mendengar sapaan dari kakaknya itu, Ai justru berdecak kesal. Alisnya bertaut dan ia langsung berkacak pinggang di depan Eric. “Sayang?! Bisa-bisanya kau masih bercanda, Kak! Lihat lenganmu itu! Bisa tidak, sih, sekali saja kau pulang dalam keadaan normal? Kalau begini, bisa-bisa besok kau datang padaku dengan anggota tubuh yang sudah terpotong! Untung saja tabib tadi bisa mengobatinya, astaga!”
Mendengar ocehan dari adiknya itu, Eric masih tersenyum manis. Ia suka sekali mendengar ocehan dari Ai. Adik kesayangannya.
Eric lalu memiringkan kepalanya, matanya kini membulat polos. “Eehh? Aku tidak sedang bercanda kok, Sayang.”
Sontak saja Ai menganga. Ia heran bukan main; matanya melebar. Astaga. Eric memang selalu bisa membuatnya pusing tujuh keliling. Dia mengenal Eric, tetapi di sisi lain, ia juga tidak mengerti dengan jalan pikiran Eric. Meski mereka hanya bergantung pada satu sama lain selaku saudara sedarah yang tersisa, Ai terkadang masih tak habis pikir dengan Eric.
Mereka berdua sejak kecil diasuh oleh Gin Shuuji, seorang pemilik bar di Edo. Mereka menjadi anak angkat Gin, tinggal bersama Gin, diurusi oleh Gin, tetapi pada suatu hari, Eric pergi untuk mengasah kemampuan berpedangnya. Bertahun-tahun yang lalu, kakak laki-laki Ai itu pergi bertualang sendirian; dia mengasah ilmu pedangnya sekaligus memperkuat dirinya.
Eric jarang mengunjungi Ai. Namun, delapan puluh persen dari kunjungan-kunjungan yang Eric lakukan itu adalah kunjungan yang tak terduga. Kunjungannya hampir selalu di malam hari. Kakak kandung Ai itu terkadang tiba-tiba datang dan mengetuk jendela kamar Ai malam-malam. Kelakuan anehnya itu kontan membuat Ai melompat kaget dari kasur; Ai kira ada seorang stalker atau penjahat kelamin yang mau mencelakainya. Kadang-kadang juga, Eric tiba-tiba terlihat tengah duduk di atap rumah Gin tatkala Ai sedang membuang sampah di halaman rumah. Maksudnya, sampah-sampah yang telah dikumpulkan di dalam plastik. Dengan senyuman manisnya itu, Eric terlihat melambaikan tangannya pada Ai dari atap—di bawah bintang-bintang—hingga membuat Ai terkesiap dan nyaris terjatuh ke belakang. Kalau saja Ai sempat terjatuh, niscaya ia akan menimpa tumpukan plastik-plastik sampah yang bau itu. Kunjungan dari Eric hampir selalu aneh dan tak terduga.
Seperti hari ini. Sekitar dua jam yang lalu, Eric datang padanya dengan membawa lengan yang terluka parah. Lengan pria itu berdarah-darah. Wajah Ai langsung pucat, dengan panik ia langsung menarik Eric untuk pergi ke rumah seorang tabib. Namun, Eric justru kelihatan baik-baik saja; pria itu terus tersenyum seakan tidak merasakan sakit sama sekali. Dia malah terlihat senang karena Ai khawatir padanya dan menarik lengannya untuk dibawa ke rumah seorang tabib. Lengan berototnya yang terluka parah itu agaknya belum mampu membuatnya mengerang kesakitan.
Mengingat Eric yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran—buronan polisi—Ai sebetulnya tidak terlalu heran. Kakaknya itu sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini.
Akan tetapi, tidak bagi Ai. Melihat Eric terluka sudah cukup untuk membuatnya panik bukan kepalang. Mungkin bagi Eric reaksi Ai itu terlihat lucu dan imut, tetapi bagi Ai hal itu sanggup membuatnya kalang kabut.
Lihatlah lengan Eric sekarang. Lengan itu dipenuhi dengan perban. Oke, sebenarnya Eric sering terlihat memakai perban. Dia terkadang sampai memenuhi kedua lengannya, jemarinya, lehernya, hingga wajahnya, dengan perban. Ini sering ia lakukan karena ia adalah pembunuh yang paling dicari oleh Shinsengumi, korps kepolisian negara yang dibentuk oleh Shogun Tokugawa untuk menjaga keamanan Edo. Dia sering menutupi wajah atau anggota tubuhnya agar dapat menyamarkan eksistensinya. Akan tetapi, sekarang perban di lengan kanannya itu jadi tebal sekali karena darahnya akan merembes ke luar apabila tidak ditutup dengan benar.
Mendengar jawaban Eric, Ai pun menghela napas. Ia memijit keningnya sejenak, kemudian ia melangkah lagi, semakin mendekati Eric. “Ya ya ya, terserah Kakak saja. Ayo kita pulang. Kalau kedepannya aku melihatmu pulang dengan terluka parah lagi, Kak, aku akan membunuhmu sekalian.”
Eric tertawa. Wajahnya yang tampan itu terlihat semakin menawan tatkala tengah tertawa lepas. Ai tak mau melihat wajah kakaknya yang tengah tertawa itu; dia tak mau kagum dengan wajah tampan kakaknya karena ia sekarang sedang merasa kesal. Dia harus menunjukkan kekesalannya pada Eric.
Ai pun menarik sebelah lengan Eric yang tak terluka, mengajak Eric untuk berdiri dan pergi dari rumah tabib itu. “Ayo pulang, Kak.”
“Oke, Sayang,” ujar Eric, kemudian pria itu berdiri dan Ai harus mendongak untuk melihat sosoknya. Ia bertubuh tinggi dan tegap. Dadanya bidang dan tubuhnya berotot. Meskipun Ai kini sudah besar, ukuran tubuhnya sebagai seorang gadis tentu kalah jauh dari Eric.
Eric menggenggam tangan kanan Ai dengan erat tatkala mereka menuruni tangga rumah panggung tersebut. Satu per satu tangga mereka lewati…hingga akhirnya mereka sampai di tanah lapang depan rumah tabib tersebut. Eric tak melepaskan tangan Ai sedetik pun; ia menggenggam tangan lembut milik adiknya itu dengan posesif, meremasnya dengan penuh kasih sayang dan penuh dengan kerinduan.
Ai sudah terbiasa dengan perlakuan dari kakak kandungnya ini. Sebenarnya, semakin Ai dewasa, semakin Ai sadar bahwa perlakuan Eric padanya terasa agak berbeda dengan perlakuan normal seorang kakak kepada adiknya. Namun, apabila Ai menyelisiknya sekali lagi, mungkin saja Eric bersikap seperti itu karena mereka hanya memiliki satu sama lain. Mereka tidak memiliki keluarga kandung yang lain lagi. Gin adalah keluarga mereka, tetapi dia bukan keluarga kandung.
Tatkala sudah berjalan cukup jauh dari rumah tabib tersebut, mereka melewati sebuah jalan tanah yang cukup luas. Jalannya sedikit berdebu—hanya sedikit—karena cuaca tadi siang yang amat panas. Saat ini cuacanya tidak terlalu panas berhubung sudah sore, tetapi jalanan itu masih sedikit berdebu.
Ai dan Eric berjalan berdua di jalanan yang luas dan sepi itu. Sebetulnya, Ai bersyukur saat ini tidak ada orang yang melewati jalan itu karena bisa gawat apabila orang itu melihat Eric dan mengenali wajah atau rambut pria itu. Akan tetapi, karena suasananya sepi, Ai jadi bisa mendengar suara sekecil apa pun.
Ini termasuk suara angin, suara napas Eric, suara langkah kaki mereka berdua, dan suara napas Ai sendiri.
Namun, tiba-tiba saja, dalam waktu kurang dari satu kedipan mata, sesuatu terjadi.
Tepat di belakang Ai.
Semuanya terjadi terlalu cepat, bagaikan sekelebat angin. Helaian rambut Ai tampak bergerak—akibat terkena embusan angin yang sekelebat itu—dalam waktu sepersekian detik, menandakan bahwa ada pergerakan dari samping tubuhnya.
Eric.
Benar. Itu adalah gerakan cepat Eric; Eric telah melepaskan genggaman tangan Ai dan pria itu bergerak ke belakang tubuh Ai dalam waktu yang supercepat bagaikan secepat kilat. Ai belum sempat mengedipkan matanya ataupun bernapas; mata Ai terbelalak,
…karena ia mendengar ada suara tusukan katana dari belakang tubuhnya. Suara tusukan katana yang terdengar tengah merobek perut seseorang. Menusuk hingga menembus daging dan organ tubuhnya. []
******
Characters: https://jihanseptiveliaa.blogspot.com/2025/02/sadistics-lover-characters.html