Bram mendapatkan laporan dari orang kepercayaannya, Pak Adri dan Pak Syamsul memang selalu mencari kesalahan dalam keluarganya. Namun, bukan itu yang menjadi fokus Bram saat ini. Dia hanya kesal pada Mahendra yang selalu sok baik.
Apapun yang dilakukan Mahendra selalu terlihat buruk baginya.
Tiba di rumah, Yuliana dan Arga tidak tahu jika Bram pulang malam itu juga. Bram telah bersiap memberi pelajaran pada putranya. Bel di tekan dengan membabi buta setelah Bram keluar dari mobil.
Ting tung ting tung.
Arga dan Mamanya sedang bersantai di depan televisi saat bel terdengar nyaring.
“Siapa, ya?” tanya Yuliana pada putranya.
Arga mengedikan bahu karena tidak sedang menunggu tamu.
“Temen Bisma mungkin, Ma. Soalnya ayah kan pulangnya minggu depan,” tebak Arga.
Bibi melewati mereka dan segera membukakan pintu, wajah yang mengeras di baliknya membuat Bibi mundur satu langkah.
“Bapak sudah pulang,” ucap si Bibi kikuk.
Bram memasuki rumah tanpa bicara, langkah yang terdengar pasti membuat Yuliana dan Arga menoleh bersamaan.
“Di mana dia?” tanya Bram.
Arga yang bingung segera bangkit setelah melihat amarah di wajah Ayahnya.
“Maksud kamu siapa, Mas?’ tanya Yuliana pelan.
Bram melempar tas kerjanya ke sofa dan segera naik ke lantai dua, Yuliana dan Arga segera mengejar langkah lelaki itu.
“Siapa lagi jika bukan anak sialanmu itu!”
Bram dengan cepat tiba di depan pintu kamar Bisma.
“Mas, ada apa? Sebaiknya kita bicarakan dengan baik terlebih dahulu. Jangan langsung marah-marah kayak gini dong, Mas.”
Bram menggedor pintu dengan kuat.
Dor dor dor.
Arga ikut tegang, tidak biasanya sang ayah pulang tanpa memberi kabar.
‘Apa sebenarnya yang telah di lakukan Bisma,’ batinnya.
“Bisma! Keluar kamu atau Ayah dobrak pintu ini!” sarkasnya.
Bisma yang sedang bersantai terlonjak kaget mendengar suara Ayahnya.
“Kok bisa, bukannya Ayah ada di luar kota?” ucap pemuda itu.
“Ayah sedang tidak main-main, Bisma. Jangan buat amarah Ayah semakin menjadi!”
Yuliana mulai panik, dia sangat takut akan nasib putranya saat ini.
“Bisma, sayang. Buka, Nak.”
Bisma pun melangkah perlahan untuk membuka pintu. Pemuda itu tadinya sedang memikirkan pertemuannya dengan Zui yang tidak jadi gara-gara Geng Zui yang pintar mencari cara untuk menghindar.
Klik.
Saat kenop pintu terputar dari dalam, Bram dengan terburu-buru mendorong pintu itu hingga kepala putranya terbentur papan pintu.
Plak.
“Ahh.” Bisma terjatuh dan meringis.
Pemuda itu memegang kening yang terluka.
“b******k!” Bram memukuli putranya dengan beruntun.
Yuliana dan Arga yang melihat hal itu segera melerai mereka.
Bug, bug, bug.
“Ayah, apa yang Ayah lakukan?” Arga memegang kuat lengan Ayahnya.
“Lepas! Ayah akan memberinya pelajaran.”
Yuliana segera memeluk Bisma yang terluka.
“Ada apa ini? Kenapa Mas sekasar ini. Dia putra kita, Mas.”
Bisma tertunduk menghadapi kemarahan Bram.
“Kau tahu apa yang telah di lakukan anakmu ini? Dia sengaja membuat aku malu!”
Arga dan Yuliana masih tidak mengerti dengan apa yang di katakan Bram.
“Katakan apa yang terjadi di sekolahmu kemarin!” Bram mencengkram baju putranya.
Bisma di paksa bangun, luka di wajahnya tidak membuat hati Bram melunak.
“Mas, kumohon. Biarkan dia menjelaskan semuanya sendiri. Jangan menyiksanya seperti ini.”
Bram mendorong tubuh Bisma dan berakhir di ranjang, Arga semakin takut melihat ekspresi sang Ayah.
“Katakan apa yang terjadi, Bis. Jika kau bersalah sebaiknya minta maaf.”
Arga memberi isyarat pada Bisma agar tidak membuat Ayah mereka semakin murka.
Bram tiba-tiba saja ambruk dan memegang dadanya. Sesak itu menekan dadanya.
“Ayah!” Arga mulai ketakutan.
“Mas,” ucap Yuliana.
Bisma gemetar di tempatnya. Sadar diri, jika kekacauan ini adalah ulahnya.
“Arga, segera bawa Ayahmu ke Rumah Sakit. Jangan sampai penyakit jantungnya kumat.”
“Baik, Ma.”
Arga membantu Bram bangun dan memapahnya bersama dengan sang Mama. Langkah menuruni tangga makin pelan, takut jika tergelincir dan akan jatuh bersama.
“Makanya, Mas. Kalau marah di kontrol,” ucap Yuliana lagi.
Mereka kini tiba di parkiran, sang supir yang stay di luar segera membuka pintu mobil.
“Cepat, bawa ke Rumah Sakit,” ucap Arga dan duduk di kursi bagian depan.
Yuliana sudah berada di samping sang suami.
"Tenanglah Mas, kita akan segera berangkat.”
Mobil langsung melaju meninggalkan rumah, Bisma tertunduk sedih atas apa yang baru saja terjadi.
Bisma menyalahkan Zui atas kejadian ini.
“Andai cewe rese itu tidak mengatakan apa-apa, tentu hal ini tidak akan terjadi.”
Bisma menyentuh wajahnya yang sudah bonyok.
“Apes banget nasib gue hari ini, huh."
Pemuda itu memilih diam di rumah, dia tidak ingin membuat penyakit jantung Ayahnya semakin menjadi jika nekat menyusul.
**
Bram tiba di rumah sakit dan di larikan oleh perawat, Arga dan Mamanya mengikuti kemana brangkar akan di bawa pergi.
“Tolong selamatkan suami saya,” ucap Yuliana.
Bram melewati pintu dan mereka terpaksa harus menunggu di luar.
“Kami akan memeriksanya, Bu.”
Tangis Yuliana jatuh membasahi wajahnya, wanita itu bingung kenapa suaminya begitu marah.
“Ma, ayo duduk di kursi,” bujuk Arga.
Yuliana menolak dan tidak ingin mendekat.
“Apa sebenarnya yang terjadi, Ga. Kau cukup dekat dengan adikmu, coba jelaskan semuanya.”
Arga menggeleng, Bisma tidak mengatakan apa-apa padanya.
“Ma, dua hari ini Arga selalu di kantor dan jarang sekali bertemu dengan Bisma. Bagaimana mungkin Arga tahu tentang apa yang menimpa Bisma. Lagi pula, Ayah tahu dari mana? Kita saja orang rumah nggak tahu apa-apa, kan.”
Yuliana meremas kepala yang berdenyut, masalah selalu saja hadir dalam lingkup keluarganya.
“Tolong kamu atasi masalah ini, Ga. Mama nggak mau, jika Ayahmu sadar kita belum tahu apa masalahnya.”
Arga berat meninggalkan Yuliana sendirian.
“Tapi, Ma.”
“Pergilah, Ga. Mama sangat penasaran dengan apa yang terjadi, pulang dan temui Bisma sekarang.”
Titah Yuliana membuat Arga patuh.
“Baik, Ma. Arga akan balik lagi nanti.” Arga memeluk Yuliana sebelum pergi, supir di tugaskan menunggui di rumah sakit. Kunci mobil di serahkan ke Arga.
“Hati-hati, Den. Jangan ngebut,” ucap sang supir.
“Terimakasih, Mang.”
Arga melangkah pulang, baju kemeja pemuda itu di sinsingkan hingga ke siku. Arga adalah pribadi yang sangat di hormati Bisma.
Tiba di parkiran, Arga langsung meluncur mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Tidak butuh waktu lama baginya untuk tiba di rumah, Arga langsung melangkah keluar dan memasuki rumah.
“Bisma! Di mana kau?” panggil Arga.
Bibi yang bekerja di rumah itu berkumpul di ruangan tengah setelah melihat kedatangannya.
“Bisma! Turun.”
Emosi Arga kian meletup menunggui adiknya itu.
“Di mana dia, Bi?”
“A-ada, Den. Ada di kamar,” ucap si Bibi takut.
Arga terpaksa menyusul naik ke kamar sang adik.