Suasana sekolah hari ini begitu heboh, bisik-bisik terdengar dari semua kalangan. Dari junior dan senior. Tidak ketinggalan guru-guru dan siswa.
Berita tentang Bisma yang mampu menyelesaikan ujiannya menyebar dengan cepat.
"Gue denger Bisma yang badung itu ternyata pintar, ada yang bilang Bisma oon, tapi kemarin terbukti kalau Bisma ternyata cerdas," ucap seorang anak lelaki dengan antusias.
Beberapa siswa berkumpul mendiskusikan kabar angin yang terlanjur menyebar.
Grasak-grusuk terdengar hingga ke telinga Bisma.
"Justru gua denger kebalikannya, woi. Dia itu paling bego beneran. Di sekolah lamanya bahkan dia pernah nggak naik kelas," timpal siswa yang mengenal siapa Bisma sebenarnya.
"Jangan fitnah, deh. Dia itu pinter plus ganteng, anak Band dan populer. Bagi gue sih. Orang lain yang jelek kin dia tuh, syirik doang."
"Lo ngomong gitu karena lo ngefans sama dia."
Bisma yang menguping sedari tadi, mengepalkan tangan dengan kuat.
"Bukannya bagus jika dia pintar lalu di mana anehnya?"
Geng Bisma muncul dari arah lain, Riki dan kawan-kawan membubarkan kumpulan itu.
"Woy! Cari masalah lu pada, ha! Kalau lo nggak tahu siapa dia, lebih baik lu diem aja, deh. Dari pada berabe sama keluarga lo pada." Gertakan Riki membuat yang lain bungkam.
"Bisma itu bukan seperti apa yang kalian pikirkan. Kalian nggak tahu aja, siapa Bo ...."
Bisma keluar sebelum identitas sebenarnya di bongkar oleh Gengnya. Hanya guru dan anak pejabat yang satu kantor dengan sang Ayah yang tahu siapa Bisma sebenarnya.
"Ehem," deheman Bisma membuat nyali teman-temannya menciut.
"Eh, lo baru datang, kita baru aja ...." Riki tidak sempat menyelesaikan ucapannya.
"Gua ada perlu sama kalian," ucap Bisma.
Tatapan pemuda itu terlihat tidak biasa.
Nasib tidak berpihak padanya. Niat hati membuat para anak pejabat viral karena keterlambatan. Eh, malah dia yang kena apesnya gara-gara Zui.
Mendadak lorong menuju ke kelas menjadi hening. Bisma mengepalkan tangan menahan kekesalan yang bersarang di hatinya.
"Ada perlu apa? Omongin aja sekarang."
Bisma akan mendekati Gengnya. Namun,
Zui muncul di hadapan. Gadis itu baru tiba dan asyik mendengarkan lagu dari headset, fokus Bisma teralihkan.
Zui sesekali berdendang saat mendengarkan lagunya, gadis itu asyik membaca sebuah novel by Arrayan Uwais yang berjudul Gadis Centil.
Zui menyukai tokoh Rena yang menjadi pemeran utama dengan empat sahabat lelaki yang sangat menyayanginya.
Bisma menatap lekat ke arah Zui, sayangnya gadis itu tidak menyadari raut tegang pada wajah Bisma.
Entah dorongan dari mana, Bisma reflek dan menarik tangan Zui menjauh. Buku bersampul seorang gadis memakai topi itu terjatuh begitu saja dari tangannya.
Geng Bisma menatap ke arah mereka.
Zui linglung dan menarik headset agar terlepas dari telinga.
“Apa-apaan sih?” Gadis itu menyentak tangannya hingga terlepas.
Bisma menoleh dan berhadapan langsung dengan Zui, semua murid melihat ke arahnya. Rizuka tertegun melihat kenyataan bahwa Bisma yang ada di hadapannya.
“Lo ikut gua atau kita bicara di sini di depan semua orang,” ucapnya.
Sorot mata pemuda itu membuat Zui menelan salivanya dengan susah payah.
“Emang lo mau bicara apa? Nggak lihat jika sebentar lagi kita akan masuk!” tekannya.
Rizuka gemetar, sebagai perempuan dia sangat enggan berdekatan dengan mahluk bernama lelaki sedekat ini.
“Gua mau ngomong, ikut nggak!”
Bisma menarik lengan Zui menjauh, Rizuka berusaha lepas dari cekalan tangan. Tapi. Nana dan Duwi dengan cepat datang menolongnya.
"Lepas nggak! Apa-apaan sih, kasar banget jadi cowok, heran." Nana menatap Bisma geram.
"Lo, berdua kalau nggak tahu apa-apa mending diem, deh. Gua nggak ada urusan sama lo pada."
"Eh, kutu kupret, Zui temen kita. Kalau lo berurusan sama dia, artinya lo juga berurusan sama kita," ketus Nana.
Bisma sangat kesal saat ini. Rizuka gemetar melihat pemuda itu.
"Lepas nggak! Lo nggak ada hak megang-megang gue!" ucap Rizuka memberanikan diri.
Mereka menjadi tontonan untuk kesekian kali.
"Lo pikir gue seneng megang-megang lo, ha! Najis banget gua, kepedean tahu nggak lo. Udahlah, bicara dengan kalian buang-buang tenaga saja, dasar kaleng rombeng."
Rizuka dan Gengnya menganga setelah mendengar julukan yang disematkan Bisma pada mereka.
"Eh, kutu kupret, bulu babi, jelek, jambul landak, ngeselin lo emang!" Nana nyerocos karena kesal.
"Nana," tegur Duwi dan Zui bersamaan.
Emosi yang tertahan sejak tadi, kembali berkobar mendengar ucapan Nana. Bisma berbalik menemui mereka. Nyali Nana menciut setelah melihat raut wajah Bisma.
"Tolong, kita bisa bicara nanti aku janji," ucap Zui melindungi sahabatnya.
Bisma yang hampir meledak kembali tenang setelah melihat mata Zui.
"Bagus, ntar saat istirahat! Jangan kabur, lo!"
Rizuka mengangguk lemah.
Bisma pun berlalu dan pergi saat itu juga. Teman bandnya ikut bubar bersamanya.
"Lo, sih, Na. Makanya lain kali jangan buat gaduh, gimana tadi kalau dia benar-benar mukul elo." Duwi memperingati Nana setelah Bisma menghilang dari hadapannya.
"Yah, Wi. Bukan salah gue, dong. Lo lihat kan, dia tuh ngeselin."
Zui memeluk Nana demi menenangkan sahabatnya itu.
"Udahlah, sebaiknya kita hindari mereka. Thank you ya udah datang."
"Sama-sama, Zui. Sebaiknya lo jangan jauh dari kita, jangan sampai Bisma melakukan hal yang tidak-tidak."
Rizuka mengangguk, dia sangat mengerti kekhawatiran sahabat-sahabatnya. Dalam hati kecilnya, Zui penasaran kenapa Bisma meminta untuk bicara.
Ting ting ting
Lonceng sekolah berbunyi, pelajaran pertama pun segera dimulai. Semua siswa memasuki kelas begitupun dengan Bisma dan Rizuka. Pandangan mereka kembali bertemu, Zui segera membuang pandangan menolak bersih tatap dengan lelaki itu.
Bisma terlihat mengerikan dengan sorot matanya yang tegas.
**
Di kantor walikota menjadi riuh, seperti halnya di sekolah. Berita itupun menyebar dengan cepat.
Mahendra-Ayah Zui memilih diam tidak ikut larut dalam kehebohan para staf.
"Pak Bram udah tahu belum, ya. Kabar terbaru tentang putranya," sahut salah satu dari karyawan yang ada di sana.
"Bapak dengar juga, berarti bukan hanya saya yang tahu, ya," timpal Pak Adri.
Beberapa staf mulai berkumpul dan membahas masalah ini.
"Sangat mengejutkan, apa jangan-jangan semua hanya setingan, ya. Kali aja anak Pak Bram itu memang benar-benar oon, mereka hanya berusaha menutupi kekurangan anak bungsu mereka," ucap Pak Syamsul enteng.
Tidak ada rasa hormat sama sekali untuk Bram yang sedang tidak berada di tempatnya.
"Putra sulung Pak Bram kan memang cerdas, Pak. Bisa aja kan si bungsu juga cerdas."
Tawa kecil menggema.
"Ha ha ha, kalau benar. Berarti anak bungsunya itu memang sengaja mempermalukan ayahnya dengan terus tertinggal."
Mahendra fokus mengerjakan tugasnya, keanehan itu memang menyisakan tanya. Apalagi mereka tahu bagaimana Bram sangat tidak menyukai putranya jadi bahan obrolan di kantor.
Bram mempunyai seorang mata-mata yang siap melaporkan segalanya. Obrolan apapun yang menyinggung dirinya dan keluarga di ketahui dengan pasti.