Sore ini Clara buru-buru menuju rumah Yoga, dia akan membuat perhitungan untuk laki-laki kampret itu. Bisa-bisanya dia selama ini menikmati kado pemberian darinya untuk Raihan, tetapi berpura-pura polos seolah tidak tau menahu bahwa yang dilakukan itu berdosa sekali, dasar teman laknat.
Setelah mengucapkan salam kepada mama Yoga, Clara langsung menuju kamar sahabatnya itu. Clara teringat percakapan antara Raihan dan dirinya tadi siang di sekolah, setelah resmi menyandang status sebagai sepasang kekasih.
"Sorry, kalau tau kamu yang mengirim ini semua buat aku, aku enggak bakalan ragu-ragu buat nembak kamu dari dulu. Aku pikir semua itu buat Yoga, kan juga banyak yang ngirimin kado buat dia." Raihan memegang kedua tangan Clara.
Meskipun Clara juga yang bersalah, karena semua kado pemberian darinya tidak ada satu pun yang di tulis atas nama dirinya. Hanya inisial saja yang tercantum di sana, itulah yang mengakibatkan Raihan tidak sadar jika semua pemberian berinisial itu, untuk dirinya . Tapi, Yoga si manusia kampret itu tau kalo kado-kado itu, buat Raihan bukan buat dirinya.
"Untungnya kemarin aku nggak sengaja dengar percakapan kalian di depan kelas, yang bikin aku nggak mau menunda lagi buat ngomong perasaan aku ke kamu."
Clara benar-benar tidak berkutik, ia bingung harus berbicara apa saat berada di dekat Raihan seperti saat ini. Herannya sekarang, si Yoga yang malah memenuhi isi dalam otaknya.
Mungkin karena makhluk itu terlalu menyebalkan, sehingga otak bawah sadarnya selalu berjalan tanpa diperintahkan untuk
mencari cara membalas kelakuan si robot es agar tidak lagi-lagi mengerjai dirinya.
"Aku terlalu cemen buat deketin kamu dari dulu, aku takut kamu itu sebenernya malah sukanya sama Yoga," tutur Raihan lagi sambil menatap mata Clara dalam.
Clara hampir muntah saat Raihan menyangka jika dirinya menyukai Yoga. Itu tidak akan pernah terjadi, bahkan di dalam mimpinya sekali pun.
"Kamu beneran mau jadi cewek aku, kan Ra?"
"Yogaaaaaa!! Teman laknaaat!!! Berani-beraninya, ya lo ngaku kalau kado selama ini buat Raihan itu buat lo...," teriak Clara bersungut-sungut sambil membuka pintu kamar Yoga dengan paksa.
Dia tidak bisa membayangkan, jika Raihan sampai tidak mengetahui kebenarannya selama hidupnya, maka dia tidak akan pernah bisa dekat dengan Raihan. Memikirkannya saja begitu mengerikan bagi Clara.
Memiliki sahabat seperti Yoga bikin jiwa pembunuhnya semakin membara. Ingin sekali memasukkan laki-laki itu ke dalam kantong kresek, lalu melemparkannya ke rumah Eca biar habis sekalian masa depannya. Dasar teman solimi, tidak berperikemanusiaan yang adil dan beradab!
Keenan yang sedang duduk di pinggiran kasur miliknya, menoleh malas, hanya menatap Clara sekilas.
Menyebalkan sekali, karena malah dia yang kelihatan lebih garang dari pada dirinya.
"Lo ... jadian sama Raihan?" tanya Yoga sinis.
Nah, benarkan? Malah laki-laki itu yang kelihatan lebih marah.
Tapi dasarnya Clara, wanita itu malah senyam-senyum eror, pertanyaan Yoga tiba-tiba mengingatkannya dengan pertemuan antara dirinya dengan Raihan. Akhirnya dia bisa juga dekat dengan cintanya dia. Bahkan ia sampai lupa tujuan awal menemui temen kampretnya itu adalah untuk melabraknya, saking asyiknya membayangkan senyum Raihan.
Yoga melempar kepala Clara dengan bantal, karena tidak suka dengan ekspresi yang ditunjukan oleh sahabatnya. Melihat kedua pipi clara yang tiba-tiba bersemu merah, sepertinya dia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh perempuan itu.
Clara yang tidak siap dengan serangan Yoga, mengaduh manja dengan ekspresi yang seolah kesakitan.
"Geli gue, lihat tampang lo!!"
"Muka gue gelitikin lo emang, Ga? Atau maksud lo muka gue lucu?" tanya Clara sok polos.
"Muka lo nyebelin!!"
"Masak sih? Padahal kata Raihan gue cantik, lo...," tutur Clara sembari memegangi kedua pipinya.
Yoga berdecak. "Lo ... lo beneran jadian?" Yoga kembali memastikan.
Clara tersenyum jumawa. "Iya dong gue gak jomblo lagi. Sudah naik kasta gak kayak Elo!"
Yoga kembali tercekat. Ia diam beberapa saat lalu kembali berusaha bersikap seperti biasanya. "Palingan putus entar!"
"Enak aja!"
"Kenapa mau sih Raihan sama elo?"
"Karena gue cantik lah...."
"Lo, gak punya kaca?"
"Punya lah ... gue tadi uda ngaca dan gue emang cantik."
"Kaca beneran?"
"Lo kenapa sih?" Clara mulai sebal dengan tanggapan Yoga yang selalu menyebalkan. Tidak bisakah sahabatnya itu ikut senang juga dengan kesenangannya?
Yoga beranjak dari duduknya, lalu menghempaskan tubuhnya di ranjang dengan membelakangi tubuh Clara. ia membuang napasnya yang tiba-tiba terasa begitu berat. "Pulang lo! Gue mau tidur!" usir Yoga. Mendadak suasana hatinya menjadi kacau. Dia tidak tahu apa penyebabnya.
Clara malah ikut melompat menjatuhkan tubuhnya ke punggung Yoga. Wanita itu memandangi langit-langit kamar Yoga.
"Addduh...!" teriak Yoga teredam, Yoga lalu menghentakkan punggungnya dengan kasar, mengakibatkan seseorang yang berada di atasnya jatuh tersungkur dari ranjang. Menyadari jika hentakannya sepertinya terlalu keras, ia duduk melihat keadaan Clara berniat membantu Clara.
Clara meringis, mengusap punggungnya yang sakit, karena jatuh dari atas ranjang yang lumayan sekali tingginya. Laki-laki itu memang gak punya hati, apalagi ampela. Pantesan jomblonya menahun.
"Jahat banget sih, pantesan jomblo!"
Gerakan tangan yang akan berniat menolong Clara seketika terhenti, Yoga mencebik. "Sok-sokan, baru juga pacaran lagaknya ... palingan besok Raihan tobat, lalu minta putus."
"Mulutnyaaa...."
"Lagian gue juga walaupun jomblo, jomblo terhormat."
"Iya-iya gue hormat ini...," balas Clara sambil menggerakkan tangan kanannya untuk hormat ke arah Yoga.
Yoga duduk sambil menatap lekat mata Clara. "Gue bisa pilih cewek mana pun yang gue mau," ucapnya penuh percaya diri. Selama ini Yoga sadar betul jika teman perempuannya banyak yang menunjukkan ketertarikkan secara terang-terangan. Dia juga mengetahui, ada yang sampai membentuk grup entah apa itu untuk mendiskusikan apa saja tentang dirinya. Meskipun sebenarnya Yoga tidak nyaman dan cenderung takut dengan semua itu.
Clara menganggukkan kepalanya layaknya orang bijak yang seolah memaklumi perkataan sahabatnya.
"Gue jomblo emang berniat jomblo! Kalau gue mau besok gue bisa aja pacaran."
"Iya ... iya ... iya ... percaya kok."
"Raaaaaaaa!"
"Hahahahaha...."
Clara benar-benar tertawa puas melihat ekspresi konyol Yoga.
"Beneran Ra, lo ngeremehin gue!"
Kali ini Clara berusaha menahan tawanya. "Iya-iya gue percaya kok."
"Males gue sama lo!"
Yoga kembali menghempaskan tubuhnya di ranjang dan menutup kepalanya dengan bantal.
Clara mencebik. "Ngambekkan kayak cewek!" ejeknya. Ia lalu duduk memandangi sahabatnya yang tengah dalam posisi tengkurap di ranjangnya, lalu menggoyang-goyang bahu Yoga kasar.
"Ga ... Yoga ... Ga ... sini Ga, bentaran ayo bangun...," pinta Clara.
"Ogah! Pasti mau aneh-aneh, kan?"
"Suudzon aja sih lo sama gue, beneran sini bentar..."
Yoga akhirnya beranjak juga dari tidurnya, ia menatap sahabatnya malas. "Apa?" Tanyanya lalu, tanpa suara.
"Lo denger sesuatu gak?"
Yoga mengangkat salah satu alisnya, mulai penasaran.
"Sini, masak gak denger sih?"
Yoga mendekat menggerakkan dagunya, makin tambah penasaran.
"Ini...."
"Ap--"
"Duuuuuuuuuuuuuut...!"
"Anjiiiir lo kentuuut? Ra ... awas lo!"
"Hahahahahha...," tawa Clara, lalu lari sebelum Yoga membalas perbuatannya. Ia kabur menuju rumahnya dengan cara melewati balkon kamar Yoga yang berhadapan langsung dengan kamarnya.
"Kenapa sih berisik-berisik?" tanya mama Siska dari bawah.
"Ma! Clara ... Maaa! Kentut sembarangan, baunya masyaAlaah ... ganggu orang tidur aja tuh anak! Jangan biarin dia masuk rumah lagi, Ma!" teriak Yoga bersungut-sungut. Ia akhirnya turun dari kamarnya yang ada di lantai dua dan terpaksa tidur di sofa ruang tamu, untuk menghindari bau yang mematikan.
Mama siska malah ikut tertawa terbahak-bahak, melihat kejengkelan dari anaknya.
Salah apa dia? Sampai punya sahabat seperti Clara....