Part 1

1027 Kata
Adzillia menggeliat saat pintu kamarnya diketuk tanpa irama oleh seseorang yang ia yakini adalah sahabatnya, Meizana. "Zii bangun!" Benar saja, suara cempreng ciri khas Meizana mulai berkumandang dari balik pintu kamarnya.  "Berisik!" Adzillia menutup telinganya dengan guling yang sejak semalam ia peluk. Ia harus menyelamatkan gendang telinganya dari polusi suara yang diciptakan sahabatnya itu.  "Adzillia Salsabilla Rawnie, bangun!" Sahabatnya itu kembali berteriak dan kali ini suaranya lebih tinggi dari sebelumnya. "Astaga, ini anak gadis kenapa kalau tidur kayak kebo sih!" Protesnya tanpa sadar kalau dirinya sendiri juga seperti itu.  "Adzillia!" Kali ini teriakan Meizana berhasil membuat Adzillia beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah gontai menuju pintu kamar. "Berisik!" Ujar Adzillia kesal. "Bisa gak sih kalau rusuh tuh jangan pagi-pagi buta kayak gini?" Meizana berdecih. Ia memutar kedua bola matanya malas lalu menangkup kedua pipi Adzillia dan memaksa gadis itu melihat ke luar kamarnya. "Lo lihat tuh, matahari udah nongol." Adzillia mengerjap lalu menepis kedua tangan sahabatnya itu dari kedua pipinya. "Ya terus kenapa kalau mataharinya udah nongol?" "Kenapa?" tanya balik Meizana seraya berkacak pinggang, "Lo emang gak masuk kantor hari ini?" "Gak." jawab Adzillia cepat. "Ngapain hari minggu begini gue ke kantor?" "Hari minggu kepala lo, hah!" kata Meizana seraya melayangkan satu tangannya ke kepala Adzillia. "Aish!" Adzillia mengusap dikenakan seraya mengerucutkan bibirnya. Sahabatnya itu benar-benar laknat. Gak ada prihatinnya sama sekali sama orang yang baru putus cinta. "Kepala nih, Zaa. Bukan bola basket." "Gue juga tahu itu kepala, bukan bola basket. Kalau bola basket udah gue dribble dan gue lempar itu kepala daritadi ke ring." balas Meizana asal, "lagian lo baru diputusin Angga yang gantengnya di bawah standar aja udah bego plus pikun." "Bego? Pikun?" "Iya bego dan pikun." tegas Meizana, "hari senin lo bilang hari minggu." "Hah?" Adzillia menatap Meizana dengan tatapan tidak percaya. "Tuh kan. Sekarang bukan cuma bego dan pikun. Lo juga jadi budeg gara-gara ----" "Demi apa Zaa, apakah sekarang hari senin?" potong Adzillia cepat. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan sahabatnya itu. Masalahnya sahabatnya itu hobi paling mengerjai dirinya. "Terserah lo deh kalau gak percaya," ujar Meizana, "yang pasti gue udah bangunin lo ya." sambungnya sebelum berbalik meninggalkan Adzillia yang masih diam di tengah pintu kamarnya. "Sekarang hari senin," gumam Adzillia pada dirinya sendiri. Itu masih tidak yakin dengan apa yang disetujui oleh sahabatnya itu. Sampai akhirnya dia teringat pada penampilan Meizana. Mana mungkin sahabatnya itu mengerjainya dengan sangat totalitas, memakai baju kerja di hari minggu.  "Mampus gue telat!" pekik Adzillia saat tersadar jika apa yang dikatakan sahabatnya itu benar.  *** Seperti biasa, Anky menghabiskan waktu di pagi hari sebelum berangkat ke kantor dengan sedikit berolahraga di teras belakang rumahnya. Di mulai dari pemanasan lalu push-up, lunges, squat, crunch dan pull-up, ia memulai aktivitasnya. Jadi tidak heran jika tubuh Anky tampak begitu tegap dan atletis dibandingkan beberapa pengusaha muda seumurannya. "Sarapannya sudah siap, Tuan." Anky menghentikan kegiatan olahraganya, lalu berbalik melihat ke arah wanita setengah baya sambil tersenyum dan bertanya, "Ibu sudah sarapan?" Wanita setengah baya itu menganggukkan seraya membalas senyum Anky. "Kalau begitu, saya akan mandi dulu sarapan." Anky menyambar handuk kecil yang ia letakkan di sofa belakang lalu membawa keringat yang sejak tadi mengucur. "Oh iya," Anky menghentikan langkahnya tepat di hadapan wanita setengah baya itu, "hari ini jadwal ibu check-up kan? Nanti biar Mang Darto yang antar ibu ke rumah sakit." Wanita setengah baya itu tersenyum. "Terima kasih, Tuan." Ucapnya. Ia sangat beruntung mendapatkan majikan yang sangat memperhatikannya. Anky membalas senyum wanita itu sambil berkata, "seharusnya saya yang berterima kasih, karena ibu sudah mau merawat dan menjaga saya sampai sekarang. Seperti seorang ibu yang menjaga anaknya." Lagi-lagi wanita itu tersenyum. "Itu sudah menjadi tugas saya sebagai kepala assisten rumah tangga keluarga Timara Tuan." Dalam sepersekian detik, Anky terdiam menatap wajah renta wanita tua itu. Wajah yang dulu tampak lebih cantik dan segar dibandingkan sekarang. Wajah yang selalu tersenyum tulus padanya. "Ibu jangan bekerja terlalu berat," ucap Anky mengingatkan sebelum berbalik menuju kamarnya. *** Adzillia berhasil menyelesaikan rutinitas paginya hari ini dengan sangat cepat. Jika biasanya ia mandi dapat menghabiskan waktu sekitar lima hingga dua puluh menit, tidak untuk saat ini. Lima menit. Ia hanya menghabiskan waktu lima menit. "Masa bodohlah. Mandi bebek-mandi bebek deh gue. Daripada telat," gumamnya, "lagipula mandi bebek atau gak, gue masih kelihatan cantik kok." sambungnya seraya memoles sedikit bedak di wajahnya.  "Sempurna!" pungkasnya seraya berdiri dan memperhatikan penampilannya di cermin. Walau hanya mengenakan kemeja putih yang dilapisi oleh blazer dan celana panjang hitam serta make-up yang sangat natural, ia masih terlihat cantik. Dalam sepersekian detik Adzillia tersenyum, melihat kecantikannya saat ini terpampang nyata di dalam cermin. Adzillia berdecak kesal saat melihat jam di tangannya. "Kenapa sih waktu rasanya cepat banget berlalu kalau lagi begini?" Secepat kilat ia menyambar tas miliknya yang sejak tadi sudah ada di atas ranjangnya lalu berlari menuju halte busway yang tidak begitu jauh dari kostnya. Hanya perlu waktu kurang dari tiga puluh menit, Adzillia sudah tiba di halte yang harus tepat di depan gedung Timara Coorporation. Dengan langkah tergesa, ia menyusuri koridor halte menuju kantornya seraya merapalkan doa agar ia tidak terlambat.  "Zii," sapa Stella yang sudah duduk manis di balik meja resepsionis. Jika biasanya Adzillia akan berhenti setelah Stella menyapanya, tidak untuk saat ini. Kali ini ia hanya membalas sapaan Stella dengan lambaian tangan sambil terus berlari menuju lift. Tapi, kesialan tampaknya belum mau menjauh darinya. Setelah semalam ia diputuskan oleh Angga dan hari ini ia kesiangan, kali ini kesialan menimpanya saat langkahnya hampir sampai di depan lift. Adzillia menabrak punggung seseorang yang tampaknya sudah sejak tadi berdiri di depan lift.  "Awh." ringisnya saat bokongnya mendarat dengan sukses di atas lantai. Seraya mengusap bokongnya, Adzillia dengan samar melihat sepasang kaki berputar ke arahnya.  "Lain kali kalau mau lari-lari di lapangan, jangan dikantor." Suara bariton terdengar di telinga Adzillia.  "Maaf." Dengan menahan rasa sakit yang menjalar di bokongnya, Adzillia beranjak dari lantai. "Aku sedang buru-bu ----" ucap Adzillia terhenti saat pintu lift terbuka dan laki-laki itu berbalik memasuki lift. Dalam sepersekian menit, Adzillia menatap laki-laki itu. Begitu pula dengan laki-laki itu. Mereka saling bertukar sampai akhirnya pintu lift tertutup.  Adzillia menghembuskan nafasnya perlahan. Entah kenapa ada perasaan akrab menyeruak dari dalam dirinya saat ini setelah melihat laki-laki itu. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN