DUA

988 Kata
Seperti yang Roy katakan, Selly pergi ke Nora Salon keesokan harinya. Seorang pegawai menyambutnya dengan lemah lembut sebelum ia tahu jika tujuan Selly datang kesana untuk bekerja. “Tunggu disini.” Nada bicaranya berubah ketus sebelum pergi meninggalkan Selly sendirian dan memanggil bosnya. “Ada yang bisa saya bantu?” Seorang gadis cantik seusia dengan Selly datang bersama dengan pegawai tadi. “Saya kenalan Roy,” ujar Selly pada gadis itu. “Apa kamu bisa ngerias?” tanya gadis itu dengan senyuman yang terpatri di wajah cantiknya. Selly ikut tersenyum dan menganggukan kepala. “Loriiiiiii.” Gadis itu berseru dan seorang pria lemah gemulai datang berlari ke arahnya. “Ada apa?” tanya pria yang dipanggil Lori itu. “Dia temennya Roy. Ambil dia dan jadiin dia asisten. Ngerti, kan?” Setelah pria yang gadis itu panggil Lori menganggukan kepalanya, gadis itu menoleh ke arah Selly. “Kamu ikut aja sama dia.” Selly pun menuruti perintah gadis itu dan mengekori pria bernama Lori tersebut. “Namanya Keira. Dia anak pemilik salon ini. Jaga sikap kamu dan jangan bikin dia kesel,” ujar Lori saat mereka sudah berada jauh dari gadis tadi. “Apa kamu beneran bisa ngerias?” tanya Lori setelah Selly hanya diam dan memperhatikannya yang sedang merapikan Beauty Case itu. “Bisa,” jawab Selly mantap. “Coba sebutin semua yang ada di sini.” Lori membuka Beauty Casenya dan membiarkan Selly untuk menyebutkan isinya satu persatu. “Ini Primer, buat base. Ini Moiturizer, buat base juga. Ini Foundation, Concealer, Corrector, Blush On, Contour, Highlighter, Eye-shadow, Brow Pencil, Mas—” “Oke, enggak usah dilanjut. Aku percaya,” ujar Lori memotong kalimat Selly. Gadis itu tersenyum lebar. “Biarpun kamu tau apa aja yang kamu sebutin tadi, aku enggak akan ngebiarin kamu megang klien. Tugas kamu adalah bantu aku selama aku lagi ngerias klien. Ambil ini, ambil itu. Aku harap kamu enggak ngeluh setiap aku suruh. Aku enggak suka orang yang begitu.” Lori berujar dengan serius. “Kamu tenang aja. Aku ini pekerja keras. Sekedar ngambil-ngambilin barang, aku enggak akan ngeluh.” Selly tersenyum meski wajahnya pegal. Jika boleh jujur, gadis itu memang tak menyukai saat seseorang menyuruhnya terus menerus. Namun pekerjaan ini, selain mendatangkan uang untuknya, pekerjaan ini juga menjadi perkerjaan paling normal yang pernah ia lakukan selama empat tahun mengadu nasib di Ibukota. Jadi, Selly tak ingin menyia-nyiakan kesempatannya untuk merasakan hidup normal seperti itu. “Coba kamu rias muka aku.” Lori duduk di kursi yang ada di dekatnya. “Oke.” Selly mengambil sebotol moisturizer. Namun ia mengurungkan niatnya saat tangannya hendak mengaplikasikan cairan itu ke wajah Lori. “Kenapa?” tanya Lori. “Jenggot kamu … aku bingung cara riasnya,” jawab Selly. “Diemin aja. Urus kulitnya.” Lori berdehem sedikit sebelum menyuruh Selly untuk melanjutkan perintahnya. Selly terlihat menahan tawanya namun ia melakukan apa yang Lori suruh. Setelah mengaplikasikan moisturizer, Selly menuangkan primer di ujung jarinya lalu mengoleskannya pada daerah T di wajah Lori. “Kulit kamu bagus,” ujar Selly saat ia mengambil beberapa botol foundation untuk di cocokan dengan warna kulit Lori. “Perawatan, dong.” Lori terdengar senang mendapat pujian dari Selly. “Pake yang itu, N303. Kulit aku tone-nya Netral.” “Oke.” Selly terlihat bersemangat dan mengaplikasikan foundation cair itu di wajah Lori. Beberapa waktu berlalu, Selly akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. “Gimana?” “Lumayan. Tapi terlalu light. Aku tetep enggak akan ngizinin kamu dandanin klien.” Lori menatap lurus ke arah Selly yang terlihat kecewa mendengar ucapannya. Lori mengakui di dalam hatinya jika riasan Selly memang bagus. Namun ia tak ingin Selly mengambil alih pekerjaannya dengan membiarkan Selly merias klien. “Sekarang kamu rapiin lagi, ya. Masukin lagi semuanya ke Beauty Case. Susun yang rapi. Cuci lagi brush dan beauty blendernya.” Lori bangkit dari kursinya, meninggalkan Selly yang menghembuskan napasnya kasar. Selly baru saja menyelesaikan tugas pertamanya sebagai asisten Lori saat ponselnya berdering kencang. Sebuah deretan angka muncul di layar ponselnya. Gadis itu cepat-cepat mengangkat panggilan itu sebelum seniornya yang lain menendangnya keluar karena suara deringan ponselnya yang terlalu berisik itu. “Hallo?” Selly mengangkat panggilan itu di luar salon. “Apa benar saya berbicara dengan Saudari Selena Hersye?” Suara seorang pemuda di seberang sana berusaha memastikan dengan siapa ia tengah berbicara sekarang. “Iya. Saya sendiri. Ada apa?” Selly menjawab dengan kerutan di dahinya. “Saya Davidio Adam. Keluarga dari Pak Santoso ingin bertemu dengan Anda. Apa Anda ber—” “Ada perlu apa mereka mau ketemu sama gue? Bukannya udah jelas? Gue cuma penari striptis di klab itu dan gue enggak kenal siapa itu Santoso!” Tentu saja Selly kesal. Ia tak ingin namanya terseret pada kasus pembunuhan itu. “Saya juga tidak tahu. Saya hanya menjalankan perintah dari atasan. Kalau Anda berkenan, silahkan datang ke Santoso Building sore nanti. Sebaiknya Anda berkenan.” Adam memutuskan panggilan itu setelah selesai berbicara. Pria itu tak memberikan ruang pada Selly untuk berbicara. “Apaan sih, tuh polisi?! Seenaknya aja jadi orang!” Selly mennghentakan kakinya sebelum memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celana jeansnya. ***** Mengikuti apa yang Adam katakan meski gadis itu masih kesal, kini Selly tengah berdiri di depan gedung Santoso Building. Gedung itu menjulang tinggi. Terlihat beberapa wartawan masih ada disana. Selly melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung itu. Seorang petugas keamanan menghampirinya. “Anda mau apa kesini?” tanya petugas keamanan itu. Pria itu mengira jika Selly adalah salah satu dari wartawan yang menunggu kemunculan keluarga Santoso. “Saya mau ketemu keluarga Santoso. Saya dihubungi seorang polisi dan saya disuruh datang kesini.” Mendengar jawaban Selly, pria itu pun berbicara dengan seseorang di Walkie-Talkie yang ada di bahunya. “Tunggu disini,” ujar pria itu setelah menggiring Selly ke lobby gedung Santoso Building. “Anda ada dimana-mana,” ujar seorang pria yang tak sengaja melihat Selly tengah duduk di sebuah sofa. “Uang ganti ruginya kurang.” Selly menjawab asal saat ia menyadari jika pria yang berbicara padanya adalah pria yang sama dengan yang menabraknya semalam. Pria itu menggerakan kepalanya ke arah Selly, memberi kode pada asisten yang berdiri di sebelahnya untuk menghampiri Selly. “Silahkan datang kesini untuk uang ganti rugi yang kurang,” ujar asisten pria itu pada Selly yang menerima kartu nama milik pria itu. Pria itu pun pergi meninggalkan Selly yang tengah membaca deretan namanya pada kertas kaku itu. “Gabriel Auriga. CEO Cygnus Alpha Company.” Selly mendengus saat membaca jabatan milik pria itu yang tersemat di kartu namanya. “Harusnya gue bilang kurang aja semalem!” “Mbak Selena, mari ikut saya.” Seorang wanita muncul dan menarik Selly dari pikirannya akan jumlah uang ganti rugi yang seharusnya ia pinta pada pria bernama Gabriel itu. Selly pun mengikuti wanita itu ke sebuah ruang pertemuan. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN