TIGA

944 Kata
Selly melangkahkan kakinya masuk ke dalam sebuah ruang pertemuan. Ruangan itu tak terlalu besar. Memang ruangan yang dirancang khusus untuk pertemuan-pertemuan kecil. Seorang pria dan wanita paruh baya bangkit dari kursinya saat Selly berjalan masuk ke dalam ruangan itu. “Apa benar, kamu bersama dengan putra kami saat penembakan itu terjadi?” Wanita paruh baya itu membuka suaranya saat Selly berdiri tepat di hadapannya. “Sudah, Ma.” Pria paruh baya yang Selly yakini sebagai suami dari wanita itu memeluk istrinya—berusaha menenangkan. “Gimana aku bisa sabar, Pa? Meskipun Edgar bukan lahir dari Rahim aku, dia tetap aku anggap sebagai anakku sendiri.” Entah mengapa meski wanita paruh baya itu menangis, Selly merasa tangisan itu tidak tulus. “Aku tau kamu juga sayang sama Edgar. Dia putraku satu-satunya. Aku juga terpukul dengan kematiannya, Za. Tapi tolong. Kamu harus bisa lebih kuat dari aku,” ujar pria itu. Selly terdiam, berusaha mengerti dan membaca situasi yang tengah terjadi. “Apa ada yang putra kami katakan? Kamu siapanya?” Wanita itu meraih tangan Selly, sedikit meremasnya dengan mata yang masih sedikit berair. “Saya bukan siapa-siapanya, Bu. Saya cuma pekerja di Klab itu,” jawab Selly jujur. “Apa kamu lihat siapa yang menembak putra kami?” tanya wanita itu lagi. “Kondisi Klab saat itu ramai, Bu. Penerangan di Klab juga tidak cukup baik. Saya tidak tahu dan tidak melihat sama sekali siapa yang menembak putra Anda.” Selly tidak berbohong. Ia memang tidak tahu siapa yang menembak Edgar Santoso itu. Namun satu hal yang Selly tahu, wanita di hadapannya itu malah terlihat lega mendengar ucapannya. “Apa kamu butuh sesuatu? Saya yakin kasus anak saya membuat klab tempat kamu bekerja tutup. Atas nama Edgar, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya.” Kini giliran pria paruh baya itu yang angkat bicara. Meski rautnya terdengar santai, Selly masih dapat mendengar nada kesedihan dalam kalimat pria itu. “Saya tidak butuh apa-apa, Pak. Saya harap kasusnya cepat selesai,” ujar Selly dengan senyumnya. Ia berharap jika senyumannya itu akan memberi sedikit energi positif pada pria itu. Pasangan suami istri itu hendak mengajak Selly untuk makan malam namun gadis itu menolaknya. Ia tidak ingin berada di tengah-tengah duka saat hidupnya sudah cukup sulit. Gadis itu pun memutuskan untuk kembali ke kosannya. “Saya kira Anda tidak akan datang.” Suara seorang pria terdengar saat Selly keluar dari gedung Santoso Building. Selly menolehkan kepalanya dan mendapati sosok Adam tengah berdiri tak jauh darinya. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan sebelum melanjutkan langkah kakinya. “Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan,” ujar Adam. “Bukannya tugas gue udah selesai? Gue udah jawab semua pertanyaan lo dan gue juga udah dateng kesini. Apa lagi yang mau lo tanyain?!” Gadis itu sudah benar-benar lelah hari itu. “Kita bisa ngobrol sambil makan. Saya yang traktir,” ujar Adam lagi. Mendengar kata traktir, Selly tentu mengubah jalan pikirannya. “Ayo, cepet! Gue enggak bisa lama-lama.” Selly menghampiri Adam yang tak percaya jika tawarannya itu akan langsung disetujui oleh Selly. ***** Adam tercengang saat ia melihat betapa lahapnya Selly dalam menyantap makanannya. Mereka datang ke sebuah restoran sederhana atas usul dari Selly. Gadis itu memberitahu Adam jika restoran yang tengah mereka datangi adalah restoran favoritnya. “Lo mau nanya apa?” tanya Selly pada Adam setelah selesai menyantap hidangannya. Gadis itu berbicara dengan Adam sambil mengaduk-aduk Es Krim yang ada di gelas Milkshake Coklatnya. “Gimana menurut Anda tentang pasangan suami istri Santoso?” tanya Adam. Selly menghentikan gerakan tangannya yang tengah mengaduk Es Krim itu. “Gimana apanya?” tanya Selly setelah berdehem untuk menghilangkan serak yang tiba-tiba saja menghampiri tenggorokannya. “Saya sedikit curiga dengan Erenora Chaiza. Dari data yang saya punya, wanita itu adalah ibu sambung mendiang Edgar Santoso. Saya sudah bicara dengan atasan saya tentang hal itu. Tapi sepertinya beliau menutup mata dan telinganya untuk kasus ini,” jawab Adam. Tidak hanya Adam yang merupakan seorang polisi. Selly yang baru pertama kali bertemu dengan Chaiza itu juga merasakan hal yang sama. Namun Selly tidak ingin terlibat terlalu jauh. Gadis itu tidak ingin terlibat dengan urusan orang kaya. “Gue pikir, dia biasa aja. Lo enggak terlalu kejam? Curiga sama orang yang lagi berduka?” Selly bertanya dengan nada santainya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tak terlibat lagi dengan kasus apa pun. Dalam hati, Selly mengutuk Roy karena membiarkannya terlibat dengan masalah di klab miliknya meski Selly memang ada di sana saat kejadian itu. Adam terdiam. Rahangnya terlihat mengeras. Selly tahu jika dirinya sudah keterlaluan. Namun ia bukan lah Adam yang memang berkecimpung dalam dunia penuh masalah. Selly tidak ingin merusak nama Hersye yang ada di belakang namanya. Menjadi penari striptis saja sudah membuatnya merasa sangat bersalah pada Christian. Karena alasan itu pula Selly meminta Roy untuk membiarkannya menggunakan topeng selama bekerja. “Saya antar pulang kalau sudah selesai makan,” ujar Adam meski pria itu masih terlihat kesal dengan ucapan Selly. “Udah selesai, kok.” Selly menenggak habis Milshake Coklatnya yang masih tersisa sebelum ia meletakan gelasnya dengan kencang di atas meja hingga pengunjung restoran yang lain melihat ke arahnya. “Ayo.” Adam menghela napasnya kasar sebelum bangkit dari kursinya dan membayar tagihan dari makanan dan minuman yang mereka pesan. Adam pun mengantarkan Selly pulang. “Sampe sini aja. Jalannya sempit,” ujar Selly saat mobil yang Adam kendarai itu berada di dekat gang kosannya. “Selena Hersye,” ujar Adam memanggil Selly saat gadis itu hendak membuka pintu mobilnya. “Apa?” Selly mengurungkan niatnya untuk turun dan menolehkan kepalanya ke arah Adam yang duduk diam di kursi kemudinya. “Klabnya tutup tiga bulan. Cari kerjaan yang layak kalau tidak mau terlibat lagi dengan kasus seperti ini.” Adam berbicara sambil menatap lurus ke netra milik Selly. “Udah, ceramahnya?” Selly mendengus sebelum membuka pintu mobil yang ada di sebelahnya. Gadis itu lalu membantingnya dengan kasar hingga Adam memejamkan matanya saat suara kencang dari pintu mobil yang ditutup itu masuk ke telinganya. “Dia pikir, gue mau hidup kayak gini?! Tau apa dia tentang gue?!” Selly tentu saja marah. Menurutnya, ia hanya menari untuk mencari uang. Gadis itu tahu jika dirinya memang salah karena menjual tubuhnya. Namun tak pernah sedetik pun Selly biarkan pria-pria nakal mencicipinya. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN