Prolog

387 Kata
Hari ini adalah hari pertamanya mengajar di SMA Nusa Bangsa, sekolah yang tiga tahun lalu menjadi tempatnya menjajaki masa remaja, dan kini ia kembali lagi ke tempat ini sebagai salahsatu tenaga pengajar. Perempuan itu tampak sibuk dengan ponselnya. "Iya. Gue udah nyampe nih, tunggu!" Ia kembali sibuk mencari sesuatu dalam tasnya. "Perasaan, habis di print, udah gue masukin ke tas deh. Aduh kemana ya?" Perempuan itu masih mencari sesuatu dari banyaknya barang di dalam tasnya. "Maaf, Kak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seseorang dari arah belakang. "Em. Oh enggak!" Perempuan itu tersenyum kaku dan terus melanjutkan kesibukan pada tasnya. "Haduh, gawat kalo beneran ketinggalan, gimana gue ngomongnya pas amanat nanti?" gumamnya. "Kak?" Anak lelaki itu masih berdiri di tempatnya. Meski ia diacuhkan oleh perempuan yang memakai jas almamater kampusnya itu. "Lah, kamu masih di situ?" tanya perempuan itu heran. "Kakak kayaknya kebingungan, deh. Kenapa, Kak? Ya, memang, Kakak harus maklum sih. Soalnya, sekolah ini luasnya tujuh lapis langit empat atmosfer,” cengir anak lelaki itu. "Yeu, ngelawak!” dengus Perempuan itu. “Eh, kamu tau tempat print di mana?" lanjutnya bertanya. "Koperasi, Kak. Tapi bukanya nanti setelah upacara," jawab anak lelaki itu. "Mampus gue!" Perempuan itu menepuk dahinya. Anak lelaki itu menatap wajah perempuan di depannya hingga pandangan mereka bertemu. Namun, karena canggung keduanya kembali memalingkan wajah. "Kertas yang isinya amanat buat nanti upacara kayaknya ketinggalan. Masa, saya harus baca dari handphone? Kan gak sopan," curhat gadis itu. "Mana handphonenya, Kak?" Anak lelaki itu mengulurkan tangannya. "Eh, buat apa?" "Biar saya yang print keluar. Kakak pasti gak tau." "Huh, gue juga hafal kali. Anak ini gak tau aja gue juga alumni sini. Tapi kalo lagi mendesak gini apa boleh buat?" batin perempuan itu. "Kak, kok bengong? Upacaranya sepuluh menit lagi lho." Anak lelaki itu membuyarkan lamunannya. "Oh oke." Dengan ragu, gadis itu menyerahkan ponselnya. Ia mengembuskan napas kasar setelah anak lelaki itu berlalu dari hadapannya. "Manis juga tuh anak," gumamnya. “Siapa, Kak?” “Oh nggak.” Perempuan itu melonjak saking kagetnya. Anak lelaki itu cepat sekali, sampai ia tak sadar memuji anak itu dihadapannya. “Nih, Kak.” Anak lelaki itu menyodorkan beberapa lembar kertas kepada perempuan itu dan pergi sebelum perempuan itu mengucapkan terimakasih. “Jantung gue…” Perempuan itu memegangi dadanya yang berdetak jauh dari normal setelah anak lelaki itu pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN