Aku mematut diri di depan cermin, memastikan lagi tidak ada bagian wajahku yang terlewat untuk dipoles. Sesuai perjanjian, akhir pekan ini aku akan pergi bersama Pak Farhan untuk menghadiri acara keluarga besarnya. Mengingat Pak Farhan yang totalitas dalam membantuku meyakinkan Oma kemarin, membuatku ingin memberikan kesan yang baik juga di hadapan keluarganya.
“Nay, kamu ada janji sama Farhan?” Mama bertanya padaku yang masih sibuk dengan riasan.
“Iya, Ma. Hari ini Mas Farhan mau ngajak aku ke acara keluarga besarnya.” Oh, Gosh! Menggelikan sekali memanggil Pak Farhan dengan embel-embel “Mas”. Aku tidak terbiasa dengan itu.
“Oh, hari ini acaranya? Ya udah, kamu cepat siap-siap, Farhan udah nunggu tuh di depan.”
“Iya Ma.”
Aku mengakhiri riasanku dengan mengoleskan lipcream berwarna nude ke bibir. Setelahnya aku menyambar clutch berwarna gold di atas kasur, lalu pergi menemui Pak Farhan yang sudah menunggu.
“Nunggu lama ya, Pak?” Pak Farhan menoleh, seperkian detik dia hanya diam menatapi wajahku, membuat aku jadi salah tingkah.
“Ada yang salah dengan dandanan saya, Pak? Apa ini terlalu berlebihan?” Aku bertanya karena Pak Farhan tak kunjung memberikan respon.
Dia berdeham pelan, seakan sadar dari keterdiamannya. “Enggak kok, itu cocok buat kamu.”
Aku tersenyum jahil, bertanya pada Pak Farhan, “Saya cantik nggak, Pak?” Sambil menaik-turunkan alisku menggoda.
Wajah Pak Farhan memerah. Dalam hati aku tertawa gemas. Ternyata modelan kaya Pak Farhan ini bisa juga menampilkan wajah malu-malu. Lucu sekali Bos galakku ini.
“Cantik kok,” jawabnya.
“Yang bener Pak?” Aku masih belum puas menggoda Pak Farhan.
Dia menyerah dan beranjak dari duduknya, mengajakku untuk segera berangkat. “Sudah ayo, kita berangkat. Kita sudah terlambat ini.”
Dalam hati aku tertawa puas karena berhasil mengerjainya.
“Saya mau pamit sama Mama dan Papa kamu dulu, kamu tunggu di sini saja.” Aku mengangguk, membiarkan Pak Farhan masuk ke dalam rumah untuk berpamitan pada kedua orang tuaku. Kalau dipikir-pikir kenapa sekarang keadaannya seperti terbalik ya? Aku merasa malah Pak Farhan seperti tuan rumahnya di sini. Lihatlah, alih-alih menyuruhku masuk dan memanggil Papa dan Mama, justru Pak Farhan malah dengan santainya masuk ke dalam rumahku untuk berpamitan sendiri.
“Ayo kita berangkat.” Pak Farhan kembali dari dalam rumah. Di belakangnya, Mama ikut membuntuti untuk mengantar kami berdua sampai teras rumah.
“Hati-hati ya.”
Aku melambaikan tangan ke arah Mama yang dibalasnya dengan lambaian tangan juga. Mobil Pak Farhan melaju meninggalkan pekarangan rumahku dan butuh kira-kira setengah jam untuk kami sampai di rumah keluarganya.
“Ini rumah Bapak?” tanyaku.
Pak Farhan mengangguk sebagai jawaban. Mobilnya melewati gerbang tinggi bercat putih yang dijaga oleh security.
“Malam Den,” sapa security keluarganya.
“Malam juga Pak Hadi, semuanya sudah datang?”
“Udah Den, Nyonya besar, nyonya muda dan yang lain sudah berkumpul di halaman belakang.”
“Oke, makasih ya, Pak.”
Kami turun dari mobil dan berjalan menuju halaman belakang tempat keluarganya berkumpul. Aku takjub ketika melihat halaman belakang rumahnya disulap menjadi garden party dengan pesta barbeque di tengah halaman.
“Jangan gugup, rileks aja,” ucap Pak Farhan mencoba menenangkanku.
“Eh, Farhan udah dateng, Sama siapa nih? Jangan-jangan kamu perempuan yang digendong Farhan waktu di acara perusahaan?” Seorang perempuan muda dengan rambut sebahu mendekati kami.
Aku tersenyum canggung. Sebenarnya aku agak risi jika diingatkan lagi dengan kejadian itu. “Kenalin Mbak, saya Ginaya.”
Perempuan itu mengibaskan tanganya, “Jangan panggil Mbak, kayanya kita seumuran deh. Oh ya, kenalin, aku Rika, sepupu dekatnya Farhan. Eh, aku kenalin sama yang lain yuk, Nay.”
“Eits, Ginaya mau dibawa kemana.” Pak Farhan menahan tangan Rika yang hampir menyeretku untuk mengikutinya.
“Ya elah pinjem bentar Han, ngga bakal gue gigit kok. Yuk, Nay.”
Aku pasrah saja ketika tanganku diseret Rika bergabung dengan orang-orang yang tak kukenal.
“Tante Wanda, liat deh, siapa yang Rika bawa.”
Semua orang menoleh, menjadikanku pusat perhatian. Aku tersenyum kikuk, memberi salam pada mereka semua lewat senyuman.
Seseorang mendekatiku. Wanita berumur 40-an dengan wajah khas orientalnya. Melihat dari wajahnya aku bisa menebak dia Mamanya Pak Farhan. Aku jadi tahu dari mana turunan wajah Pak Farhan yang tampan itu. “Jangan-jangan kamu Naya, ya?” tebak wanita itu. Aku hanya bisa menjawab dengan anggukan, “Iya Tante, kenalin saya Ginaya, kary … eh, maksud saya pacarnya Farhan.”
Wanita itu menutup mulut dengan ekspresi tak percaya. Selanjutnya dia memelukku dengan hangat. “Ya ampun, akhirnya hari ini datang juga. Sudah lama keluarga Farhan menantikan momen ini. Akhirnya ada juga seorang wanita yang datang dikenalkan ke keluarganya.” Aku rasa ini terlalu dramatis. Memangnya separah apa sih, kehidupan percintaan Pak Farhan sampai keluarganya seperti mendapat tender besar hanya karena kehadiranku.
“Jangan panggil Tante ya, panggil Mama aja. Anggap aja ini keluarga kamu sendiri. Jangan sungkan.” Tante Wanda membawaku bergabung bersama yang lain. Aku bersyukur karena mereka menyukaiku dan aku tak perlu khawatir soal pandangan mereka terhadapku. Ternyata bayanganku soal keluarga Pak Farhan terlalu berlebihan. Kukira akan sedikit sulit beradaptasi dengan mereka, tapi keluarganya benar-benar ramah dan menyambutku dengan baik, membuatku tak lagi canggung lagi.
“Jadi Ginaya juga kerja di Cahaya Group?” Seorang wanita yang kukenal sebagai tantenya Farhan – Ibu dari Rika, bertanya kepadaku.
“Iya Tante, kebetulan saya ini staff-nya Pak Farhan.”
“Oh, jadi kalian berdua terlibat cinta lokasi begitu?” Tante Wanda ikut menimpali.
“Bisa dibilang begitu Tan.”
Tante Wanda mengibaskan tangannya. “Mama kan udah bilang jangan panggil Tante, panggil Mama aja. Pantas saja Farhan ngga mau dikenalkan dengan wanita manapun, ternyata ada seorang wanita di kantornya yang membuatnya jatuh cinta.”
Semua orang tertawa menanggapi perkataan Tante Wanda, kecuali aku yang hanya tersenyum kecil.
“Mama bersyukur banget Farhan bisa ketemu sama kamu. Sebelum ini, Mama sempet khawatir kalau Farhan akan menghabiskan hidupnya untuk membujang selamanya. Dia sama sekali tidak ada tanda-tanda punya ketertarikan khusus dengan seorang wanita. Mama jadi ngeri membayangkannya.”
Aku baru tahu kalau Pak Farhan adalah anak tunggal di keluarganya. Pantas saja Mamanya sebegitu khawatirnya dengan dia. Mamaku saja yang mempunyai anak tiga masih mengkhawatirkan aku yang masih belum menikah sampai saat ini.
Obrolan kami berlanjut, mulai dari membahas hal yang penting sampai tidak penting. Aku bersyukur karena Tante Wanda dan Tante Dona – Mamanya Rika, memiliki selera humor anak muda, jadilah kami nyambung-nyambung saja saat berbicara.
“Habis ini kamu Mama kenalin sama Neneknya Farhan, ya. Beliau ada di dalam sama Budhenya Farhan.”
Aku mengangguk mengiyakan. Tak kuasa untuk menolak. Kami berdua masuk ke dalam rumah utama, menuju ruang tamu. Aku bisa melihat sekitar 4 orang sedang duduk di sofa yang ada di tengah ruangan itu. Di paling tengah ada seorang wanita paruh baya berkecamata yang duduk di sofa tunggal ruang tamu itu. Di sebelah kirinya duduk dua orang wanita seumuran dengan Tante Wanda. Lalu di hadapan dua orang itu duduk seorang wanita seumuranku dengan wajah yang sedikit kukenali. Oh, sepertinya aku pernah melihat wanita ini. Tapi dimana?
“Ibu, kenalin, Bu. Ini Ginaya, pacar Farhan yang waktu itu ada di pesta perusahaan.”
Mata wanita paruh baya itu menyipit ke arahku, membenarkan letak kacamatanya yang agak merosot ke bawah.
“Oh, jadi ini wanita yang menghebohkan keluarga Abasstiawan. Kemari Nak, Nenek mau mengobrol banyak sama kamu.” Aku mendekat, duduk di sebelah wanita seumuranku yang tak asing wajahnya.
“Nama kamu siapa?”
“Ginaya Nek. Ginaya Pramesita,” jawabku.
“Kamu benar pacarnya Farhan?”
Aku mengangguk patah-patah. “I-iya, Nek.”
“Syukurlah kalau berita itu benar. Nah, Naya, sekarang kamu harus mulai mengenal keluarga Farhan. Karena lambat laun, keluarga Farhan juga akan jadi keluarga kamu juga.”
Sekarang aku baru menyesal dengan keputusanku tempo hari. Aku merasa ini sudah terlalu jauh dan sudut hatiku merasa bersalah karena membohongi orang-orang baik ini.
“Di sebelah kananku ini adalah anak tertuaku. Budhenya Farhan, Budhe Lina. Kalau yang di sebelahnya itu, yang tepat berhadapan denganmu namanya Tante Rina, dia anak dari sahabatku sewaktu dulu dan kami sudah menanggap keluarganya seperti keluarga sendiri.” Aku terseyum kepada mereka berdua.
“Nah, terakhir yang di sebelahmu itu, dia Karenina. Anak dari Tante Rina dan merupakan sahabat Farhan sejak kecil. Mereka berdua sudah lama berteman, dari sejak mereka bayi. Jadi, untuk selanjutnya kamu jangan salah paham kalau Farhan agak memberikan perhatian khusus pada Karenina.”
Wanita di sebelahku, yang bernama Karenina terseyum ramah. Melihatnya dengan jarak sedekat ini, aku jadi ingat dimana aku pernah melihatnya. Tidak salah lagi, dia wanita yang terkena tumpahan orange juice-ku minggu lalu di acara perusahaan. Ya ampun, bagaimana aku bisa tidak mengenalinya.
“Hai, sepertinya sebelum ini kita pernah ketemu. Kamu ingat?” tanyanya ramah.
Aku mengangguk, “Ah, ya, saya ingat. Sebelumnya saya belum meminta maaf secara benar kepadamu. Saya benar-benar minta maaf atas kejadian di pesta perusahaan. Saya benar-benar tidak sengaja dan tidak bermaksud membuat kekacauan.”
“Nggak pa-pa, santai aja. Oh, ya, kamu ngga perlu bicara terlalu formal. Anggap saja aku ini teman kamu. Tidak usah merasa tidak nyaman.”
“Ah iya, maaf.”
Wanita itu menggeleng. “Nggak perlu minta maaf, itu bukan hal besar kok.”
Aku tersenyum kikuk menanggapinya. Lalu tiba-tiba Pak Farhan datang menghampiriku. Dia berniat untuk mengajakku pulang sekarang.
“Kenapa buru-buru, acara barbeque-nya saja belum dimulai,” ucap Tante Wanda mencegah kepergianku.
“Iya, nih. Tunggu sebentar lagi aja, setelah acara barbeque-nya selesai. Lagian kami masih kepo sama pacarmu ini, masih pengin ngobrol banyak.” Karenina mendukung argumen Tante Wanda.
Pak Farhan terlihat menghela napas, dia menatapku untuk meminta persetujuan. “Ngga pa-pa, aku bisa di sini lebih lama lagi,” ucapku menjawab tatapannya.
“Baiklah, setelah acara barbeque-nya selesai, kita pulang.”
Aku bertahan lebih lama lagi di rumah Pak Farhan sampai acaranya selesai. Di halaman belakang rumahnya, ternyata para pria sudah siap dengan daging panggangnya. Karenina dan Tante Wanda mengajakku untuk duduk bersama di kursi yang sudah disediakan.
“Yang di sebelah itu Papanya Farhan, nanti kamu harus kenalan dengannya.” Tante Wanda menunjuk seseorang yang tengah berdiri dan sibuk mengipasi daging. Aku cukup mengenal dengan beliau, karena beliau sering bolak-balik pergi ke kantor.
Acara berjalan cukup lama. Aku menghabiskan banyak daging panggang yang sengaja disiapkan oleh Pak Farhan. Dia memberikan semua daging hasil panggangannya kepadaku. Oh, jangan lupa dengan Papanya, mereka berdua berebut memberikan hasil panggangnya kepadaku. Sehingga aku mau tak mau menghabiskan daging mereka berdua agar adil.
“Yuk, pulang.” Pak Farhan berdiri dari duduknya dan mengajakku pulang.
“Lain kali ajak Naya ke sini lagi Han. Mama ngga keberatan kok kalau harus ngadain acara kayak gini lagi.”
Aku menggeleng, “Jangan Ma, Naya malah jadi ngerepotin Mama nantinya. Mama ngga perlu bikin acara cuma buat bikin Naya dateng ke sini.”
“Jadi kamu mau main ke sini kalau ada waktu luang?” tanya Tante Wanda sumringah.
“Eh … iya Ma, Naya usahakan,” ucapku tak yakin.
“Udah Ma, jangan membebani Naya kaya gitu, dia sibuk di kantornya, jadi ngga bisa terus-terusan main ke sini.”
Tante Wanda mendengus, “Kamu kan Bosnya, jadi kamu bisa atur jadwal kerjaan Naya supaya ngga terlalu sibuk.”
Pak Farhan menyerah, dia berhenti mendebat Mamanya dan memilih untuk mengajakku pulang. “Farhan pamit nganterin Naya dulu.”
“Hati-hati, ya”
Aku menyalimi Tante Wanda dan semua orang yang ada di situ. Setelahnya aku berbalik menyusul Pak Farhan yang sudah menunggu di mobil.
“Maaf ya, kalau keluarga saya buat kamu ngga nyaman,” ucap Pak Farhan ketika kami berada di mobil.
“Nggak kok, Pak, mereka semua baik sama saya.”
“Kamu ngga usah merasa terbebani dengan perkataan Mama tadi. Janji kamu udah lunas dan urusan dengan keluarga saya, nanti biar saya aja yang mengurus.”
Aku mengangguk, “Iya Pak.”
***