9

1194 Kata
"Apa kamu menyesal karena saya orangnya?" satu pertanyaan Kak Affif yang ngebuat gue hampir mukul orang sembarangan lagi. "Kenapa Kakak nanya kaya gitu? Nayya gak pernah nyesal untuk semua keputusan yang udah pernah Nayya ambil, ini pilihan Nayya dan Nayya akan ngambil tanggung jawab penuh untuk pilihan Nayya sendiri jadi harus menyesal kenapa?" tanya gue mencoba sebiasa mungkin. Gue gak mungkin menyesali pilihan gue untuk menikah, karena pada dasarnya alasan gue memilih menikah juga hampir sama dengan Kak Affif, karena gue juga percaya kalau jodoh itu gak akan tertukar, kalau memang Kak Affif maka selamanya akan kaya gitu jadi gue harus menyesal kenapa? Lagian gue juga capek dengan cinta sebelah pihak gue. "Apa kakak menyesal setelah tahu Nayya orangnya?" tanya gue balik, ya bagaimanapun yang namanya dijodohkan itu tetap berbeda, pasangan yang kita nikahi bukan karena pilihan hati kita sendiri. "Insyaallah tidak" jawab Kak Affif setelahnya kembali natap gue. "Saya tidak pernah menyesal dan tidak akan pernah insyaallah" gue hanya terdiam takjub dengan jawaban Kak Affif, terlihat tulus dan penuh keyakinan. Gue mulai menggenggam botol minum yang diberikan Kak Affif tadi sembari sedikit menyunggingkan senyuman, mungkin memang Kak Affif orangnya, lelaki yang akan melengkapi iman gue, yang akan membimbing gue menjadi pribadi yang lebih baik, semoga. Setelah hening sesaat, Kak Affif kembali melajukan mobilnya sampai kita berhenti disebuah rumah yang terlihat cukup mewah, beneran ini rumah Kak Affif? Gimana bisa seorang mahasiswa biasa punya rumah semewah ini? Gue yang gak bisa menutupi rasa gak percaya gue sampai gak sadar kalau Kak Affif udah turun dari mobil menyisakan gue yang masih terpaku ditempat dengan raut wajah kebingungan, beneran yang terjadi dihidup gue ini hampir gak bisa gue percaya, semuanya beneran berasa beda. "Ini rumah kita" ucap Kak Affif membukakan pintu mobil sebelah gue, gue hanya tersenyum canggung sembari melangkah turun. "Saya tahu semuanya tidak akan mudah, mungkin ada banyak hal yang ingin kamu tanyakan, tanyakan dan akan saya jawab semampunya, jangan sungkan dan insyaallah semuanya akan terasa lebih baik seiring kebersamaan kita" Kak Affif tersenyum sekilas seiring setelah ucapannya, Kak Affif memang terkesan dingin tapi setiap kata yang diucapkannya itu penuh makna, setiap ucapannya selalu saja sukses membuat gue merasa jauh lebih nyaman, terlihat tenang dan selalu terkesan dewasa. Gue juga membalas senyuman Kak Affif setulus mungkin, gue melangkahkan kaki mengikuti Kak Affif masuk ke rumahnya dan gue semakin terpaku melihat keadaan dalam rumah yang akan gue tempati sekarang, rumah ini sangat jauh berbeda dari rumah yang gue tempati dulu, baik rumah Bunda ataupun rumah Om Hanif. "Kamar kita ada diatas" ucap Kak Affif mulai menaiki tangga mendahului gue. "Jangan ngelamun" dan lagi-lagi Kak Affif menyunggingkan senyumannya untuk gue, senyuman yang terlihat sangat menenangkan, gue bahkan ikut tersenyum hanya karena melihat tatapannya, mungkin senyuman seorang Affif akan menjadi senyuman terfavorit gue mulai sekarang. "Kenapa?" tanya Kak Affif karena sadar dengan tatapan yang gue layangkan, gue hanya menggeleng dan kembali tersenyum untuk pertanyaan Kak Affif. "Ini pertama kalinya Nayya ngeliat Kakak tersenyum dan itu berkali-kali Kakak lakukan didepan Nayya, biasanya nunduk terus" jawab gue mencoba sejujur mungkin. "Saya memang hanya akan melakukannya didepan kamu, kamu halal untuk saya sekarang" balas Kak Affif yang gak kalah jujur menurut gue, apa ini sikap Kak Affif yang selama ini gak pernah orang tahu? Seorang Affif yang terkenal dingin dan jarang berinteraksi dengan perempuan manapun bisa bersikap semanis ini. . . . Subuhnya gue bangun karena sentuhan seseorang di pipi gue, perlahan gue mulai mengerjapkan mata dan hampir aja gue balik mukul Kak Affif kalau gak ditahan sama Kak Affif lebih dulu, aslian kebiasaan gue mukul orang kalau lagi kaget udah gak tertolong, Kak Affif bisa jadi sasaran empuk kalau terus kaya gini. "Maaf Kak, Nayya gak sengaja" sesal gue gak enak masih dengan tangan gue yang digenggam Kak Affif. "Kebiasaan yang cukup ekstrim" ucap Kak Affif dan tertawa kecil setelahnya, lah malah ketawa? Bukannya kesal atau marah tapi ini malah ketawa? Kak Affif sehat? "Kakak ketawa?" tanya gue ngerasa aneh. "Jadi saya harus marah? Apa dengan marah kebiasaan kamu akan berubah? Saya akan selalu ngegenggam tangan kamu setiap subuhnya, jangan takut karena kamu gak akan mukul saya lagi" Kak Affif melepas genggamannya dan mengusap kepala gue sekilas, gue lagi-lagi cuma bisa melongo gak percaya, Kak Affif terlalu berbeda dari Kak Affif yang selama ini gue kenal. "Sampai kapan kamu akan berhijab didepan saya?" tanya Kak Affif ketika berdiri di ambang pintu kamar mandi. Gue hanya terdiam gak tahu harus ngejawab apa, gue memang masih mengenakan hijab di depan Kak Affif, semalem tidur aja berhijab, panas-panasan gue jabanin, gue masih canggung gak jelas, tidur aja kudu nenangin hati cukup lama, padahal cuma tidur doang. Selama Kak Affif di kamar mandi, gue juga bangkit dan mulai beberes diri, dengan penuh pertimbangan, pada akhirnya gue memberanikan diri untuk gak berhijab di depan Kak Affif, udah halal juga kan? Selama ini seberapa dekatpun gue sama Mas Affan, gue tetap berhijab walaupun ala kadarnya, gue gak berhijab cuma di depan Mas Abi sama Bunda, kalau nambah Kak Affif satu orang harus dibiasain juga deh kayanya, gue gak mau Kak Affif tersinggung dan mikir aneh-aneh nanti. "Udah?" tanya gue canggung dan berdiri tepat didepan pintu kamar mandi, Kak Affif yang baru keluar cukup terpaku mendapati gue berdiri tepat dihadapannya. "Kenapa? Udah belum?" ulang gue lagi karena gak kunjung dapet respon apapun dari Kak Affif, ini Kak Affif kenapa? Ngelamun apa gimana? "Kayanya belum, saya harus wudhu lagi setelah ini" dan tetiba Kak Affif meraih wajah gue dan mengecup kening gue cukup lama. Gue yang menyadari Kak Affif mengecup kening gue cukup lama ikut meraih tangan Kak Affif yang masih menangkup wajah gue sekarang, gue raih tangannya dan gue turunkan perlahan. "Subuh dulu Kak, tar telat" ucap gue dan sedikit mendorong tubuh Kak Affif balik masuk ke kamar mandi, ya Allah kalau setiap subuh kaya gini, bisa sport jantung setiap subuh, Affif Ahmad Pratama kelakuannya beneran diluar bayangan. "Saya shalat subuh di mesjid" ucap Kak Affif tersenyum kecil, senyum lagi? Terus aja Kak, senyumin aja terus sampai Nayya gak tahu harus ngapain lagi. "Kakak hati-hati" balas gue yang diangguki Kak Affif, gak lama setelahnya gue masuk ke kamar mandi dan Kak Affif juga berangkat, subuh pertama terpisah tapi masih terasa cukup mengesankan. . . . Selesai shalat subuh, gue juga langsung turun ke bawah untuk nyiapin Kak Affif sarapan, tapi jujur aja sampai didapur gue jadinya bingung sendiri, ini mau masak apa? Gue gak bisa masak. Saatnya mbah google dan eyang youtube segera dimanfaatkan, ngetik menu sarapan pagi yang sehat dan klik, yang muncul ribuan, mau masak apaan? Gambarnya keliatan enak semua, ngeliatnya aja jadi laper mendadak "Ngapain?" dan bruk, hampir lagikan, please jangan ngagetin bisakan? Tangan gue belum bisa diajak kompromi. "Kakak ngagetin" ucap gue mengenggam tangan Kak Affif gemetaran. "Maaf" balas Kak Affif dengan tangan masih setiap mengusap pelan punggung tangan gue. "Mau nyiapin sarapan buat kakak, tapi_ "Tapi?" tanya Kak Affif natap gue penuh minat. "Tapi Nayya gak bisa masak" cicit gue jujur, malu? Banget, tapi ya mau gimana lagi? Memang kaya gitu kenyataannya. Kak Affif ngambil alih dapur dan gue cuma bisa merhatiin dengan seksama, Kak Affif bisa masak? Paket lengkap banget. "Kamu bisa belajar pelan-pelan jadi jangan terbebani untuk hal apapun"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN